Epiphany

syabrinaaputri
Chapter #3

#3 PUISI DAN CERPEN

Rein terjaga dari mimpi buruk, teringat akan kisahmasalalu saatia berada di Jakarta, yang membuatmasa mudanya terasa sia-sia. Masalalu itu selalu menghantui Rein, sehingga iaselalu terjaga dari tidur malamnya. Rein mandi dan langsung turun kebawah untuk olahraga, ia melihat ke kiri dan kanan, sehingga pandangannya mengarah ke rumah Mody, Rein terdiam lama menatap rumah wanita cerewet yang selalu terlihat ceria itu. Tersadar dari lamunannya, Rein pergi masuk kedalam rumah untuk sarapan.

Mauren menyiapkan sarapan berlebih, disuruhnya Mody untuk mengantarkan sarapan ke rumah Rein. Walau merasa malas, tapi Mody tetap menerima permintaan mamanya dengan wajah tersenyum, seolah ia merasa senang hati. Mody berjalan menuju rumah Rein, ia mendengar seperti ada keributan yang terjadi didalam rumah yang besar itu. Mody berdiri di depan pintu rumah Rein sambil mendengar pembicaraan ibu dan anak yang memang terlihat kurang akrab.

"Aku capek selalu seperti ini, Ma! Aku selalu mengerti keadaan Mama sama Papa yang selalu bertengkar saat berada di Jakarta. Aku selalu membela Mama saat Papa marah, walau aku tau, yang salah itu, Mama. Aku tinggalkan kerja aku di Jakarta, demi ikut mama kesini dengan rasa terpaksa, apa itu gak cukup untuk, Mama? Kenapa mama selalu egois dan menyalahkan orang lain atas sikap mama!" emosi Rein tak terkendali, dia hanya bisa marah karena keadaan keluarganya yang tak pernah bahagia.

"Rein! Kamu kok membentak mama seperti ini?"Luna meneteskan air mata dan tersadar apa yang terjadi dalam rumah tangganya itu memang benar sepenuhnya adalah kesalahan dari dirinya, yang tak pernah pengertian.

"Aku hanya lelah dengan keadaan ini, Ma." Rein meneteskan air mata, lalu mengalihkan pandangannya. Rein mengepal tangan, wajahnya yang memerah sangat kesal terlihat jelas. Rein menundukkan kepala lalu menatap ke wajah ibunya, "Sekarang papa udahgak sama kita, seharusnya mama minta maaf dan minta papa kembali bersama kita. Tapi, apa yang mama lakukan? Nothing happened." Rein menaikkan pundak dan pergi duduk didekat kolam renang. Luna hanya bisa menangis dan masuk ke dalam kamar.

Mody terdiam mematung mendengar pembicaraan ibu dan anak itu, ia mengerti kenapa Rein selalu terlihat jutek, karena Rein terpaksa harus datang ke Singapura. Melihat Rein sedih dan sangat emosional, ia merasa kasihan. Ingin kakinya melangkah masuk menemui Rein, tapiia merasa takut, seolah kakinya tak bisa digerakkan. Mody menundukkan pandangan dan memilih untuk pergi saja dari rumah Rein.

Mody membawa kembali makanan yang diberi oleh mamanya, ia masuk kedalam rumah dengan wajah lesu tak bersemangat. Mauren melihat anak pertamanya itu masuk ke rumah, mata Mauren mengarah pada kotak makan yang dipegang Mody,"Loh, Mod. Makanannya gak jadi dikasih?" tanya Mauren dengan wajah kebingungan.

"Oh iya. Ini, Ma." Mody melihat tempat makanan yangia pegang, "Apatu namanya-a."Mody kaku dan bingung harus menjawab pertanyaan mamanya."Kenapa, Mod?"Mauren menaikkan kedua alisnya.

"Iya..., mereka belum bangun, jadi aku bawa lagi makanannya, takut kalau harus membangunkan mereka," jawab Mody masih kaku dan senyum terpaksa.

"Oh yaudah, kamu berangkat kerjagih, sana."

"Iya, Ma."Mody mengambil botol minum dan kunci mobil lalu pergi keluar rumah. Saat ingin masuk kedalam mobil, ia melihat Rein keluar juga dari rumahnya. Terlihat jelas di wajah Rein masih kesal dan marah, Mody melihat ke botol minum yang ia genggam. Mody berlari dan melambaikan tangannya kearah Rein.

Rein terdiam dan matanya mengarah pada gadis tinggi dengan setelan kemeja,celana,taspetak berwarna coklat yang senada dansepatu warna hitam sedang berlari mendekatinya. Nafas Mody ngos-ngosan, ia berlari karena takut Rein akan pergi duluan.

"Hai!" sapa Mody dengan senyum lebar sambil memegang dadanya. Rein melihat bingung diri Mody.

"Ini..., untuk kamu."Mody mengulurkan botol minum miliknya.

"Apa ini?"tanya Rein menunjuk botol minum yang Mody pegang.

Mody memiringkan bibirnya sambil menyipitkan mata. "Udah ambil aja, ini minuman cokelat kesukaan aku, biar mood kamu lebih bagus di pagi hari."

"Tapi, aku nggak suka cokelat." Rein menggelengkan kepalanya.

Mody menghela napas dan merasa kesal, diambilnya tangan Rein dan diletaknya botol minum miliknya ke tangan lelaki cuek dan jutek itu.

"Udah ambil aja. Aku pergi dulu, ya. Takut telat masuk kerja.Bye!” Mody tersenyum dan berbalik badan membelakangi Rein.

"Eh, tunggu!"panggil Rein sambil melihat botol minum yang Mody kasih. Modykembali berbalikdan menaikkan alis.

"Kanapa lagi?"tanyaModyjutek.

"Makasih, ya,"ucap Rein tanpa ada ekspresi di wajahnya, cemberut tidak,senyumpun enggan.

"It's okay."Mody mengangkat satu tangannya, "Oh iya, Rein."

Reinmenatap ke arah Mody. "Smile!" ucap Mody dengan suara manja sambil memegang dagu dengan kedua tangan sembari tersenyum sempurna.

Rein hanya menaikkan alis. Melihat Rein hanya diam tanpa ekspresi apapun, Mody kembali merasa kesal dan menggelengkan kepalasambil menghela napas dan langsung pergi.

Setelah Mody pergi darinya dan melihat wajah Mody yang terlihat kesal, Rein tersenyum, menggelengkan kepala. Dilihatnya botol minum milik Mody itu sekali lagi, "Warna pink lagi. Dasar cewek." Rein tersenyum dan masuk kedalam mobil.

***

Sore terlihat cerah setelah hujan usai, Mody pulang kerja dan merasa sangat lelah. Seharian dirinya disuruh mengetik tanpa henti, Mody menatap ke arah rumah Rein, merasa penasaran adalah sifatnya sejak lahir.Dilihatnya mobil mersi warna abu-abu milik Reindi depan rumah. Tanpa rasa takut, Mody masuk dan memanggilnamaRein. Terdengar suara cewekmemanggil namanya. Rein merasa bingung mendengar suara cempreng siapa itu, dibukanya pintu rumah dan Rein menghela napassetelah tahu ternyata yang datang adalah Mody.

“Hai!” Mody menyapa dengan senyum yang mengembang. Melihat Rein yang tidak merespon, Mody memiringkan bibirnya dan menatap Rein dengan sinis, tanpa disuruh masuk, Mody langsung saja masuk kedalam rumah warna putih yang mempunyai lima kamar itu.

“Kamu lagi ngelakuinapa?” tanya Mody

“Main game ajani,” jawab Rein cuek, Luna keluar dari kamar. DilihatnyaMody berdiri di dekat meja makan dan Luna langsung menghampiri, menyapa Mody.

Mody tersenyum melihat Luna dan menoleh ke arah Rein, “Eh, Rein kamu…”

“Maa ..., aku pergi dulu ya samateman aku,” ucap Rein memotong bicara Mody. Walau merasa kesal, Mody hanya bisa menghela napas, ingin rasanya dia memukul kepala Rein yang super menyebalkan itu, tapiia tidak berani karena belum merasa akrab. Saat ingin pergi, Rein mendekatkan bibirnya ketelinga Mody.

“Gue nggak suka cara lo menatap gue, yang seakan merasa kasianngeliat gue.”

Mody membesarkan mata dan menahan napas, ia merasa kaget saat Rein bicara seolah tahu apa yang ia rasakan. Tanpa rasa bersalah, Rein langsung pergi dan Mody langsung pamit pulang ke Luna. Mody merasa sangat kesal dan masuk kedalam kamar. 

“Dasar cowok aneh, nyebelin, ngeselin..., hihh gue kesal!” Perasaan yang sangat kesal membuat Mody selalu ingin mengomel tanpa henti. Dibayangkannya wajah jutek Rein, hatinya merasa geli, Mody menunjuk keatas seakan wajah Rein berada diatas kepalanya. Mody menggelengkan kepala sambil menutup mata dan menghentakkan kaki sekali.

“Jangan kesal gitu, nanti lo suka,” ucap Atika yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Mody seperti biasa, Atika tertawa mengolok-olok Mody.

Mody membesarkan matanya. “Ih, mending Tomi kemana-mana.”

“Tapi Rein ganteng kok, Mod. Maco, badannya itu loh cowok banget. Udah tinggi, hidung mancung, bahunya lebar, so cool.”

Mody menatap kearah Atika, “Ih, apaan sih. Eh btw, lo tau Rein yang mana?”

Atika menganggukkan kepala sambil melihat mata Mody, “Gue liat dia tadi waktu mau masuk ke rumah lo, dia berdiri di pagar. Tatapan matanya juga…, duh buat gue salting.” Atika mengingat mata Rein saat menatap wajahnya sekilas.

Lihat selengkapnya