Epiphany

syabrinaaputri
Chapter #4

#4 REIN

"I think what make me happy, i felt about love. without that, i feel my life is nothing. If i've money, work, and anything. But, without love, everything it's nothing."~Rein

Siang ini akan ada acara pameran, sudah lama Mody menanti hal besar ini terjadi. Banyak lukisan dan gambar-gambar yang ia nantikan di Gallery tersebut. Acara pameran hanya terjadi sekali dalam setahun, itu sebabnya Mody merasa sangat exciteduntuk menghadirinya. Dengan semangat, Mody berangkat kerja sembaritersenyum lebar, menyapa karyawan yang berada di kantor. Saat melihat Kiki, ia terdiam lalu mendekati gadis mungil itu dan duduk disampingnya.

“Kamu kenapa, Ki?” tanya Mody sambil memegang pundak Kiki.

“Mod …, kamu tau, nggak?” Kiki memanyunkan bibirnya.

“Kenapa? Kamu lagi sedih?” tanya Mody sambil menaikkan alis.

“Tadi …, Kenan menyapa aku.” Kiki memegang tangan Mody sembari senyum lebar. “Senyumannya sangat indah. Ya ampun, Mod. Pegang deh.” Kiki meletakkan tangan Mody ke dadanya. “Detak jantung aku berdetak sangat kencang.”

Mody menghela napas sambil menggelengkan kepala. “Ampun deh, Ki. Aku kira kamu kenapa, ternyata Kenan?”

Kiki tersenyum geli, mengingat senyum Kenan yang ia dambakan sejak lama, akhirnya terbit juga. “Aku nggak nyangka dia tau nama aku selama ini.”

“Selamat bersenang-senang, Kuy.” Mody tersenyum.

“Loh kok, Kuy?” tanya Kiki dengan muka bingung.

“Iya mulai sekarang aku manggil kamu dengan sebutan Kikuy, biar lebih akrab. Anggap aja itu panggilan sayang aku.”

Kiki tertawa tipis, “Baiklah, okey. Walau agak aneh, tapi aku sukak kok. Aku juga udah anggap kamu sebagai sahabat aku sejak awal ketemu.”

Mody tersenyum. “Ya udah aku kerja dulu ya, banyak laporan yang harus di ketik, di meja aku.” Mody duduk di kursi kerja dan langsung mengerjakan perkerjaan yang diberikan oleh bosnya.

Sembari berkerja, Mody teringat akan gallery. Dilihatnya jam yang ada ditangannya, tak terasa hari sudah siang. Mody langsung berkemas dan mengirim semua laporan ke surel bos. Dengan cepat Mody pergi dan mengendarai mobilnya menuju National gallery Singapore. Pengunjung sangat ramai yang datang, Mody kesusahan melihat lukisan yang terpajang di dinding. Dilihatnya sekeliling gallery yang banyak lukisan, ingin rasanya Mody membeli satu lukisan.

Saat Mody berjalan, ia melihat seorang laki-laki berbadan tinggi, rapi, memakai kemeja kotak-kotak warna biru muda dengan kancing dibuka semua dan didalamnya memakai baju kaos warna putih. “Itu seperti siapa, ya?” tanya batin Mody sambil mengingat nama pria yang ada di hadapannya. Mody mendekati cowok itu lalu menyapa. “Hai, kamu pegawai di kantor, ‘kan? Kenalin nama aku, Mody.”

Hary terkejut dan melihat ke arah Mody, Hary tersenyum tipis mengingat muka Mody yang saat itu tersenyum malu berada di kantin kantor, “Hai…, kenalin nama aku Hary, kamu suka gambar juga?” tanya Hary sambil tersenyum.

“Oh iya nama kamu Hary.” seketika Mody teringat penjelasan sahabatnya yang mungil itu dan tertawa tipis. “Aku suka liat-liat gambar dan lukisan gitu, karena setiap lukisan punya arti tertentu dan aku juga suka makna dari setiap lukisan yang ada. Bagi aku pelukis itu keren bisa menggambar sebagus dan terlihat seperti nyata.Tapi sayang, aku nggak bisa menggambar, Cuma bisa menikmati.” Mody tertawa cengengesan.

Hary tersenyum tipis merasa tersentuh dengan apa yang dikatakan Mody, “Loh kamu kok senyum?” tanya Mody sambil menaikkan alis.

“Nggak pa-pa lucu aja, dari dulu kamu nggak pernah berubah, ya.” Hary tersenyum menatap wajah Mody.

“Dari dulu? Emang dulu kita pernah ketemu?” tanya Mody sambil mengecilkan matanya.

Hary tersenyum tipis. “Oh iya, aku bisa menggambar,“-Hary menatap mata Mody- “Lumayan, bisa sih.”Hary tertawa tipis.

Mody menganggukkan kepala, “Iya, aku tau.Kamu pandai melukis.”

“Loh, tau darimana?” Hary berharap Mody mengingat dirinya.

“Dari teman kantor, kalian bertiga ‘kan cukup popular dikantor.”

Mendengar jawaban Mody, Hary merasa putus asa, sembari menghela napas. “Cukup ya?” Hary tersenyum. “Nggak gitu, kami bertiga cuma udah lama berkerja disana, jadi para pegawai pada tau sama kami bertiga.”

Mody menganggukkan kepala, “Oh gitu, kapan-kapan aku mau dong, liat lukisan yang kamu buat.”

“Iya boleh, kapan-kapan aku tunjukkan sama kamu.Oh iya kamu kerja diruangan mana?”

“Aku dibagian ….” Terdengar ponsel Mody berdering dan ia mengangkat telepon dari Tomi, pembicaraan Mody dan Hary menjadi terhenti.

“Halo, sayang? Iya aku lagi di gallery. Kamu di mana? Oh, udah di resto. Ya udah aku kesana, ya.”

Hary menghela napas. “Oh ternyata udah punya pacar,” ucapnya dengan pelan.

Mody melihat ke arah Hary dan tersenyum lebar. “Hary, aku pergi duluan, ya. Besok kita sambung pembicaraan kita yang terputus. Kita ‘kan satu kantor. Bye Hary.” Mody melambaikan tangan.

“Oh iya …” -Mody membalikkan badan melihat Hary- “Aku kerja di ruang Creative, kamu Art, ‘kan?”Mody tertawa, “Aku udah tau.Daa....” sekali lagi Mody mengangkat tangan kanannya dan melambaikannya dengan Hary sembari tersenyum sempurna.

Why she is look so cute,batin Hary.

Mody berjalan dengan anggun, dilihatnya lukisan gambar anak kecil sedang memejamkan mata, diambilnya lukisan itu dan pergi ke kasir untuk membayar lukisan yang ia pegang. Mata Hary tak lepas memandang Mody dan ia mengikuti gadiscantik itu keluar hinggamasuk kedalam mobil.

***

Suasana hening seperti tak ada penghuni. Rumah besar dengan alat perabot yang begitu mewah dan memiliki piano, tapi tak ada gunanya. Rein merasa bosan dengan kondisiyang terus-terusan membuat dirinya merasa kesepian seperti itu. Tidak ada siapa-siapa yang bisa ia ajak cerita, hanya ada dia dan ibunya. Sore yang mendung membuat Rein ingin menulis puisi dan membaca cerita yang di tulis oleh Mody. Terdengar ada suara laki-laki memanggil namanya, Rein berdiri dan membuka pintu.

Melihat siapa yang datang, Rein kaget sembari membesarkan matanya.“Papa!”

Reno tersenyum.“Halo, nak. Long time no see you. I miss you so much. Whereare your mom?”Reno melihat-lihat sekeliling rumah yang alat perabotnya tersusun rapi.

Enggan menjawab pertanyaan Reno, Rein mengalihkan pembicaraan. “Papa pindah ke Singapura? Papa menetap disini, ‘kan?” Rein tak berhenti bertanya karena merasa sangat senang Papa yang ia rindukan kembali dan akhirnya keluarganya bisa berkumpul lagi seperti dulu. 

Reno mengangkat lima jarinya ke arah Rein, “Wait me. Izinkan papa bernafas dulu. Papa baru sampai lo Rein.”

“Baik, Pa.” Rein tertawa tipis dan melihat papanya duduk di sofa. “Mama pergi keluar, gatau kemana.”

Reno melihat ke arah Rein, “Sama siapa? Nggak sama laki-laki lain lagi, ‘kan?” tanya Reno menatap curiga.

Rein menggelengkan kepala, “Aku nggak tau pa.”

Reno menghela napas, “Kemarin Mama kamu menelepon Papa, dia minta maaf atas kesalahan yang ia lakukan. Papa akan menetap disini, kalau mama kamu gak buat ulah.”

Seketika Rein merasa takut jika Papanya akan pergi lagi. Andai Mamanya tidak suka selingkuh dan bisa menahan dirinya. Mungkin ia juga tidak akan terjerumus dalam hal-hal yang kelam. Terdengar hentakan sepatu heels perempuan, Luna pulang dan memanggil nama Rein. Dilihatnya laki-laki umur 55 tahun, hidung mancung, dan badan yang masih terlihat gagah, duduk di sofa sedang menonton tv.

“Mas …, kamu kapan datang ke sini?”

Reno melihat ke arah Luna, “Kamu darimana?Pergi sama siapa?”

Luna terdiam dan mencoba menjawab pertanyaan suaminya dengan baik.“Aku pergi sama teman-temanku, sudah lama kami tidak jumpa.”

Lihat selengkapnya