Jam besuk terakhir sudah selesai.
Dokter-dokter yang bertugas sejak pagi sudah pulang digantikan dokter jaga bersama perawat-perawat dan petugas keamanan shift malam yang sekarang stand by. Kesibukan dan keramaian di Rumah Sakit Pelita Harapan saat malam sudah tidak sesibuk dan seramai pagi atau siang tadi. Banyak ruang sudah digelapkan. Lorong-lorong yang menghubungkan satu bangsal dengan bangsal lainnya pun sepi, hanya terlihat beberapa orang penunggu pasien saja.
“Andini, kalau mau pulang silakan, tugas kamu sudah selesai,” kata kepala perawat pada seorang gadis yang sedang merapikan peralatan periksa. “Iya Bu Ida, sebentar lagi … setelah menyimpan dokumen-dokumen pasien rawat inap dulu ke ruang administrasi, perintah dari Dokter Danar tadi,” jawab Andini seorang perawat magang. Kepala perawat itu mengangguk dan berlalu.
“Din, gimana, betah magang di sini?” tanya seorang perawat senior di sebelahnya. “Betah Kak,” angguk Andini. “Pasti betahlah, apalagi mendampingi Dokter Danar ya? Dokter muda paling tampan di sini itu, cie, cie,” goda perawat senior lainnya. Andini tertawa, “Biasa aja Kak, aku pamit dulu mau ke ruang administrasi ya.” Gadis itu mengambil tumpukan dokumen-dokumen dari atas meja dan berjalan keluar diiringi suara di belakangnya, “Awalnya sih biasa, tapi nanti makin sering ketemu, lama-lama rasanya jadi luar biasa deh, hati-hati loh.” Lalu perawat itu tertawa dengan teman-temannya.
Gadis itu tidak menggubris, ia hanya terus berjalan melewati beberapa ruang periksa yang lampunya telah dimatikan kemudian menyeberangi ruang poli menuju ruang administrasi. Andini adalah seorang mahasiswi akademi keperawatan tingkat akhir yang sedang magang di rumah sakit ini. Tidak mudah untuk menjadi perawat magang di rumah sakit paling besar dan sibuk ini, tapi Andini yang pintar dan memiliki nilai terbaik itu bisa masuk dan diterima bahkan dengan cepat ia sudah diangkat menjadi pendamping seorang dokter muda.
Andini telah sampai di depan ruang administrasi, ia membuka pintunya. Setelah berada di dalam ia menutup pintu dan dikuncinya kembali. Meski lampu di dalam ruangan telah dimatikan, ia tetap bisa melihat dengan baik karena beberapa lampu yang menyala di lorong luar, cahayanya menyemburat masuk melalui jendela-jendela kacanya yang tanpa tirai. Andini membuka lemari arsip khusus pasien rawat inap. Setelah dokumen-dokumen itu ia simpan, matanya tertumbuk pada sebuah lemari besar yang berada di sudut ruangan.
Ia melihat keluar melalui jendela, memerhatikan lorong yang sepi, memastikan tidak ada petugas keamanan ataupun perawat lainnya. Setelah dipastikan aman, ia menuju lemari besar itu dan membukanya, terlihat banyak tumpukan dokumen dalam map-map yang disusun rapi. Andini mengambil setumpuk map secara acak dan membukanya satu persatu. Berisikan surat-surat mengenai kontrak-kontrak kerjasama dengan vendor peralatan medis, farmasi juga daftar peralatan medis yang dimiliki rumah sakit.
Andini mengembalikkan dan meletakkkan kembali semua dokumen itu seperti semula, lalu menutup lemarinya. Ia menarik nafas, ia tidak menemukan yang dicarinya, lalu matanya menyapu ke seluruh ruangan, mencari-cari lagi. Sebuah lemari arsip yang terdiri dari laci-laci yang berada di ruang kepala bagian administrasi itu menarik perhatiannya. Ia menengok lagi keluar jendela, suasana masih sepi. Kemudian ia masuk ke ruang kepala bagian yang dipisahkan oleh sebuah pintu kaca. Ia mendorong pelan pintu kacanya dulu ternyata tidak terkunci.
Lemari arsipnya pun tak terkunci. Hmm, sebuah kebetulan atau kecerobohan? Bisik hatinya. Andini menarik satu lacinya dan memeriksa satu persatu barisan arsip di dalamnya. Tetapi tidak ada seperti yang dicarinya. Ia tarik lagi laci kedua untuk diperiksanya lagi dengan cermat. Andini mendesah, ia tidak menemukan apa yang dicarinya juga. Begitupun di laci-laci lemari arsip lainnya, semua hanya berisikan laporan-laporan keuangan, soal kepegawaian, perpajakan, pembayaran gaji dan lain-lain. Andini berdecak kesal, ia merasa apa yang dicarinya tidak disimpan di ruang administrasi ini. Ia pun memutuskan untuk keluar.