“Pagi Bu Ros, sepertinya sudah sarapan dan lebih semangat lagi hari ini ya?” tawa Danar. “Harus dong Dok,” balas Bu Rosa mengepalkan tangannya. Danar lalu memeriksa nadi kemudian dada Bu Rosa.
Ibu Rosa melirik pada Andini sambil mengangkat-ngangkat alisnya, menggodanya. Andini hanya tersenyum tipis. “Seneng deh kalau pagi-pagi lihat dokter ganteng dan perawat cantik kompak jenguk aku,” goda Bu Rosa. Andini tak menggubris, ia mengganti cairan infus sedang Danar menuliskan hasil periksanya di laporan medis pasien.
“Psst, Dok, sini deh.” Bu Rosa memanggil Danar saat Andini sedang membuang sisa urin ke kamar mandi. Danar mendekat. “Dok, itu Suster Andini jangan sampai lepas,” bisik Bu Rosa. “Hahaha, Ibu nih kayak di film Warkop aja deh,” tawa Danar. “Betulan Dok, kalian berdua tuh …” Bu Rosa lalu mengangkat kedua jempolnya. Danar tertawa lagi. Andini sudah kembali dan menyiapkan tensimeternya. Ia tidak mendengar pembicaraan itu, kalaupun mendengar ia tidak peduli.
“Baiklah Bu Ros, saya tinggal dulu sama Andini ya, saya ada urusan lain, kita lihat satu dua hari ini, kalau kondisi Ibu sudah semakin baik, kami ijinkan pulang,” senyum Danar. “Tapi Dok, aku masih betah di sini,” rajuk Bu Rosa menggeleng, Danar tertawa mendengarnya.
Setelah Danar keluar, Bu Rosa menyolek Andini. “Kenapa Bu?” tanya Andini. “Sus, kamu sama Dokter Danar kan sudah sering bareng, kenapa ga pacaran aja sih?” tanya Bu Rosa. “Ih Ibu apa sih,” geleng Andini lalu mengecek tekanan darah Bu Rosa. “Iya loh, dari pertama aku masuk sini, trus ditangani sama Dokter Danar trus lihat asistennya kamu, kok ya cocok gitu, seneng lihatnya,” lanjut Bu Rosa.
Andini tersenyum memerhatikan angka di monitor alat tensi. “Tekanan darah Ibu normal, artinya bagus … tapi ada kemungkinan hipertensi loh,” kata Andini. “Apa?” Bu Rosa terkejut. “Kalau terus mau jodoh-jodohin saya,” lanjut Andini. Ibu Rosa tertawa, ia sadar Andini hanya mencandainya.
Andini mengambil kursi roda dari pojok kamar dan membantu Bu Rosa turun dari ranjangnya, memegangi tangannya, hingga Bu Rosa duduk di kursi roda tersebut. Andini mendorong kursi itu keluar kamar. Menghentikan kursi rodanya di pinggir taman agar matahari pagi yang hangat bisa menyinari Bu Rosa. Beberapa pasien lansia lainnya yang juga sedang berjemur satu persatu menghampiri Bu Rosa, mereka tertawa dan bercakap-cakap dengan akrab.
Andini sedikit menyingkir untuk memberikan ruang pada para lansia itu. Andini memerhatikan dengan kagum, Bu Rosa adalah seorang lansia yang ceria, suaminya sudah meninggal dan katanya ia tidak memiliki anak. Ia mengurus sendiri semua ketika masuk ke rumah sakit ini, mendapat jaminan dari pensiun suaminya dan ia sudah tiga hari di rumah sakit ini setelah operasi usus buntunya, meski belum ada siapa pun yang datang menjenguk, tapi ia terlihat bahagia saja.
Andini jadi teringat ibunya.
***