Danar menutup teleponnya dan segera melompat dari kursinya segera setelah mendengar pemberitahuan dari Andini tadi. Ia berlari keluar dari ruang kerjanya. Menyusuri lorong, berbelok, terus berlari menyeberangi taman kemudian segera masuk ke bagian rawat inap lansia menuju kamar Bu Rosa.
Danar membuka pintu kamar, dilihatnya Andini sedang memeriksa dan berusaha menyadarkan Bu Rosa. “Bagaimana situasinya?” tanya Danar mengambil alih dan segera mengecek Bu Rosa yang masih tampak tak sadarkan diri. “Seratus empat puluh per sembilan puluh, tidak sadarkan diri, luka pada pelipis terbentur ranjang dan luka bekas operasi yang terbuka lagi, tadi sudah dilakukan CPR,” jawab Andini cepat.
“Bu Ros, Bu … apa Ibu bisa mendengar saya?” Danar menepuk-nepuk pipi dan memeriksa pupil Bu Rosa. Ia memegang tangan Bu Rosa yang terasa dingin, memeriksa jantungnya dengan stateskopnya sambil mencek jamnya. “Siapkan defibrilator,” perintah Danar. Andini segera mengeluarkan peralatan kejut jantung atau defibriliator, kemudian ia mengeringkan dada Bu Rosa agar tidak ada keringat seraya melonggarkan pakaiannya.
Danar mengaktifkan defibrilator automatic itu dengan menyalakan tombol on, melepas stiker pad dan menempelkannya satu pada dada sebelah kanan, 5 cm di bawah tulang bahu Bu Rosa dan satu pad lagi di area bawah ketiak dekat perut sebelah kirinya. Danar melakukan CPR lagi dan mengamati hasil CPR pada layar monitor, tampak tulisan ‘Don’t touch patient, analyzing’ pada layar kecil monitor di defibrilator.
Ritme jantung yang dapat dikejutkan terdeteksi, defibrilator itu segera mengisi daya kejutnya dengan otomatis, tulisan ‘shock advised charging’ tampak di layar. Setelah daya terlihat penuh, Danar menekan tombol shock yang segera melepas aliran listrik dan mengejutkan jantung Bu Rosa agar berdetak kembali. Danar memeriksa denyut nadinya lagi, tak lama terlihat gerakan naik turun pelan pada dada Bu Rosa. Ia terbatuk. Andini menghela nafas lega.
Beberapa perawat pria telah datang. “Segera bawa Bu Ros ke ICCU dan siapkan keperluan untuk menjahit lukanya, saya tunggu di sana” seru Danar bergegas. Para perawat pria itu mengangguk dan mendorong ranjang Bu Rosa. Bu Rosa yang telah dipasang masker oksigen itu sempat melihat Andini, lalu melambaikan tangannya. Andini tersenyum dan membalas lambaian Bu Rosa.
Beberapa saat kemudian.
“Gimana kondisi Bu Ros?” tanya Andini pada Danar yang sedang duduk di lorong sebelah ruang ICCU sesaat setelah ia selesai menangani Bu Rosa. Andini menyerahkan segelas air mineral. Danar menerima iar mineral itu. “Kondisinya baik … ritme jantungnya juga sudah kembali normal, untung saja kamu pas cek kesana, kalau tidak, dalam hitungan menit nyawa Bu Rosa bisa lewat,” jelas Danar. Andini duduk di sebelah Danar.
“Ketika saya lewat kamar Bu Ros, saya mendengar suara orang jatuh, saya segera masuk dan melihat Bu Rosa sudah tergeletak di lantai memegangi dadanya,” kata Andini, “lalu luka di dahi dan bekas operasinya itu gimana Mas?”
“Barusan sudah dijahit lagi, tidak apa-apa,” jawab Danar dan menghabiskan air mineralnya. “Padahal berdasarkan hasil cek sebelumnya, tekanan darah Bu Rosa tidak setinggi itu,” gumam Andini, “seperti ada yang mendadak dipikirkannya sehingga membuat tekanan darahnya tiba-tiba melonjak.”
“Oiya Din, mulai besok kamu ikut di tindakan bedah juga ya, untuk jaga-jaga bila dalam kondisi mendadak dibutuhkan. Nanti Bu Ida akan mengatur jadwal dan brief-nya, bisa jadi kamu akan ikut langsung dalam sebuah tindak bedah di kamar operasi, siap?” tanya Danar. Andini terdiam. Mengikuti prosedur tindak bedah ini tidaklah main-main. Tidak sembarang suster magang bisa mengikutinya. Tak disangka ia terpilih! Ini saatnya ia bisa melihat proses operasi seacara langsung. “Gimana Din? Kamu siap?” tanya Danar lagi. Andini mengangguk yakin. “Bagus, kadang dalam kondisi urgent, kita butuh tenaga-tenaga yang siap untuk membantu,” ucap Danar.
Andini menatap Danar, ia melihat dalam kondisi serius, Danar ternyata terlihat sangat berwibawa dan karismatik sekali, seorang pria yang berdedikasi pada pekerjaannya, seorang dokter yang cekatan dan gesit. Dari sisi ini, Andini merasakan kekagumannya pada Danar, tapi hatinya tetap menyatakan bahwa ini adalah kekaguman sebatas profesi, tidak lebih.