Suara sirine dari mobil ambulan dan mobil polisi itu terus meraung-raung.
Danar, Andini dan perawat lainnya sampai di ruang IGD dan apa yang mereka lihat sungguh di luar perkiraan. Mereka melihat para polisi dan petugas-petugas ambulan itu sedang membopong tandu serta memapah orang-orang dengan kondisi yang mengenaskan.
Tubuh mereka terkoyak, wajah mereka terluka parah, beberapa tulang mereka dislokasi. Para satpam rumah sakit berdatangan untuk membantu Para perawat bergegas, salah satunya Bu Ida yang bertugas shift malam itu juga sibuk memeriksa beberapa orang yang telah diletakkan di atas ranjang dengan kondisi luka bakar dan luka sobek terbuka di tubuh mereka. Darah menetes dan berceceran di lantai juga di ranjang.
Suara sirine ambulan dan mobil polisi terus meraung memekakkan telinga, mereka terus-terusan pergi kemudian datang lagi ambulan lain membawa korban baru. Suara erangan, jeritan dan teriakan kesakitan memenuhi ruangan IGD.
“Ya Allah,” desis Danar. Andini terpaku, tubuhnya gemetar, ia tidak menduga situasinya akan seperti ini. “Fokus Din! Bantu yang lainnya!” tukas Danar cepat dan segera menghampiri Bu Ida yang sedang menangani pasien dengan luka parah di kepala.
Kalimat Danar menyadarkan Andini yang cepat-cepat menguasai dirinya.
“Sus, Suster, ini ditaro di mana? Semua ranjang penuh!” cetus seorang polisi yang memapah seorang pria dengan dada robek dan darahnya sudah membasahi bajunya. “Tunggu … Pak, ambil semua kasur cadangan dari dalam rumah sakit, dari gudang, dari mana pun, letakkan di lorong-lorong lantai dan baringkan semua pasien yang tidak kebagian ranjang di situ!” perintah Andini pada satpam. Beberapa satpam segera berlari bersama petugas kebersihan mengambil kasur-kasur cadangan untuk melaksanakan perintah itu. Andini sendiri segera memeriksa luka di dada pria tadi.
“Bagaimana situasinya Bu?” tanya Danar. Bu Ida menoleh, wajahnya begitu pucat dan panik, tangannya gemetar, “Ah Dokter Danar, sa … saya,” gugup Bu Ida yang belum pernah menangani situasi sekacau dan separah itu. “Fokus Bu, tenang … gimana kondisinya?” Danar mengulangi. Bu Ida menelan ludah, lalu berkata, “Pendarahan hebat pada kepala, tanda vital baik.” Danar mengangguk dan menggenggam tangan Bu Ida yang penuh darah dan masih gemetar itu memberikan tenang. “Aku tahu ini mengerikan, tapi mereka butuh kita fokus Bu,” tegas Danar.
“Baik Dok, maafkan saya,” lirih Bu Ida.
“Bu Ida, dengar … sekarang siapkan segera kamar-kamar operasi, ICU dan hubungi dokter-dokter atau perawat lainnya yang bisa datang kesini segera, kita ga akan sanggup meng-handle semua ini Bu,” kata Danar. Bu Ida mengangguk cepat dan ia segera berlari ditemani seorang perawat lainnya melakukan apa yang diperintahkan oleh Danar tadi.
“Suster … Suster … saya tidak bisa merasakan kaki saya,” lirih seorang pria yang duduk di lantai dengan darah sudah menggenangi lantainya. Andini menghampiri, melihat beberapa paku besar dan pecahan beling menancap dalam pada betis dan paha atasnya. Andini segera mengambil kain untuk membebat agar darahnya tidak terus mengalir. “Tidak apa-apa Pak, tahan ya, nanti kita cabut semua yang menusuk itu dan akan kita bersihkan---“ Andini belum selesai bicara ketika seorang petugas ambulan berteriak-teriak melompat turun dari kendaraannya sambil menggendong seorang anak laki-laki.