Tiba-tiba Danar merasakan bahunya ditepuk. Ia menoleh dan melihat teman-teman dokternya telah berdatangan bersama perawat-perawat lainnya dan mereka segera turun tangan membantu. “Bro, kami urus yang di sini, lo dan para dokter bedah, handle ruang operasi, cepat!” seru teman sejawatnya itu.
Danar melepas nafas lega. Tepat waktunya di saat ia sudah nyaris putus asa dan keresahan yang dalam. Danar mengangguk.
Maka Andini dan Danar segera berlari untuk kemudian memakai semua atribut operasi secepat yang mereka bisa, tidak ada waktu untuk berlama dan mereka masuk ruang operasi. Terlihat seorang anak laki-laki yang kakinya tadi hancur sedang terbaring lemah di atas meja operasi.
“Anestesi?” tanya Danar. “Sedang proses,” jawab Andini. Di ruang operasi itu hanya ada Danar dan Andini, mereka harus melakukan operasi ini tanpa bantuan siapa pun, karena semua tenaga medis sedang sibuk menangani korban lainnya juga.
“Tanda vital?” tanya Danar. Andini menggeleng, “Lemah.” Danar menarik nafas dan tersenyum melihat wajah anak laki-laki itu yang sedang menatapnya.
“Halo, nama kamu siapa?” tanya Danar ramah memberikan tenang.
“Adi, Dok.”
“Adi umurnya berapa?”
“Sebelas tahun Dok, Papah Mamah mana?” lirihnya.
“Sedang menuju kesini Nak … Adi… Dokter yakin Adi anak yang pemberani, Adi harus kuat ya setelah operasi ini,” kata Danar.
“Dok … kaki Adi jangan dipotong Dok … tolong Dok … Adi ga mau buntung Dok,” mohon anak itu memegang tangan Danar yang telah memegang alat pemotong dan anak itu mulai meneteskan air matanya. Danar dan Andini saling berpandangan, ada gemuruh sedih di dada mereka yang masing-masing mereka tahan. Mereka diterpa dilema.
“Tidak Di, kita ambil yang terbaik ya, yang penting Adi sembuh,” bujuk Danar. Anak itu meronta, memohon dan menggelengkan kepala. Andini mencoba memeganginya. “Jangan Dok … kalau kaki Adi buntung, Adi ga bisa main sepakbola lagi Dok … Adi mau jadi pemain sepakbola Dok …” jeritnya lirih dengan air mata yang terus menetesi pipinya.
Andini mencoba menahan desakan kesedihan dalam dadanya yang meluap-luap mendengar itu, berkali-kali ia mengusap matanya agar air matanya tidak sempat jatuh. Andini mengusap-ngusap bahu Adi memberinya kekuatan. “Adi tetap bisa jadi pemain bola kok … Adi nanti bisa jadi pemain timnas Indonesia,” ucap Danar memberikan semangat dalam kegetiran.
Tak lama semua tanda vital anak laki-laki itu tiba-tiba berhenti. Grafik denyut jantung terlihat lurus di monitor. “Kesadarannya menurun drastis Dok,” pekik Andini. Danar dan Andini segera bertindak cepat, mengupayakan semua cara, berusaha sekuat tenaga, mengambil semua tindakan untuk mengembalikan detak jantungnya. Alat kejut jantung itu pun digunakan dengan upaya tak menyerah. Tapi anak laki-laki kecil itu tak bergerak.
Semua tampak berjalan dalam gerak lambat. Kesedihan membeku dalam ruang operasi. Kristal airmata menggantung di langit-langit ruang berbau anyir darah dan anestesi. Danar berteriak-teriak memanggil nama Adi dan terus berusaha menyelamatkan bocah laki-laki itu. Melihat Danar bertindak over reaktif membuat Andini segera memeluk Danar dan menariknya menjauh dari ranjang di mana anak laki-laki itu telah terbaring diam dengan wajah pucat bersemu biru dengan tangan terkulai.
Nyawa sudah terbang direngkuh kedamaian yang lembut sebagaimana pelukan ibu.
“Dokter! Adi sudah ga ada! Dokter sadar!” teriak Andini memeluk Danar yang terus menggapai dan mau terus mencoba itu. “Tidaaak! Kita harus menyelamatkannya! Dia mau jadi pemain sepakbola Din!” sambat Danar. “Kita tidak bisa menyelamatkannya Dokter … lukanya terlalu parah,” bisik Andini mencoba menenangkan Danar dalam pelukannya. Kemudian ia merasakan Danar tidak meronta lagi. Tubuh Danar melunglai. Rubuh dalam pelukan Andini. Mereka berdua terduduk di lantai yang dipenuhi genangan darah.
Andini merasakan bahunya basah. Danar sedang menangis sesunggukan dalam pelukannya, air matanya mengalir. Hatinya ikut menyusut haru melihat pria setangguh Danar bisa sesedih ini. “Manusia macam apa yang tega membunuh anak kecil dan orang yang tidak tahu apa-apa Din? Manusia macam apa yang tega menghancurkan impian anak-anak dengan bom?” lirih Danar geram. Andini tidak bisa menjawabnya, ia hanya bisa memeluk erat Danar. Dari ujung matanya pun mengalir air mata.