Pelan-pelan Andini membuka matanya.
Ia memegangi kepalanya dan yang pertama dilihatnya adalah wajah Danar yang sedang tersenyum padanya. Andini melihat seorang pria yang sedang berdiri di samping Danar dengan senyum lega. “Ayah?” panggil Andini lemah. “Iya Nak, Ayah di sini,” angguk Ayah. Andini tak mengerti, tangannya diinfus tapi ia berada di dalam kamar di rumahnya.
“Halo, welcome back tough girl,” sapa Danar lalu mengecek semua kondisi Andini. Andini mengernyitkan dahinya. “Sudah jangan banyak berpikir dulu, yang penting sekarang kamu banyak istrirahat, aku tinggal dulu ya … aku harus tugas ke rumah sakit,” kata Danar dan tertawa melihat Andini yang kebingungan. Kemudian Danar pamit pada ayahnya Andini.
Setelah mengantar Danar keluar, ayah kembali ke kamar.
“Gimana kondisi kamu Ni?” tanya ayah.
“Aku baik-baik saja … hanya kecapean … Yah, kenapa aku bisa ada di sini?”
Ayah tersenyum, menjelaskan, “Saat kamu pingsan, Dokter Danar yang bawa kamu kemari dibantu beberapa perawat, karena ruangan di rumah sakit penuh semua, dia memutuskan untuk merawat kamu di rumah saja, dan dia membawakan semua keperluan alat dan obatnya.”
“Tidak seharusnya dia melakukan itu,” Andini geleng-geleng, “berapa lama aku pingsan Yah?”
“Dua hari Ni … dan kau tahu? Selama dua hari itu, Dokter Danar lah yang menjaga dan merawat kamu, dia hampir tidak tidur selama dua hari itu, dia sangat khawatir sama kamu,” jelas ayah. “Siapa suruh,” gumam Andini. “Heh ga boleh gitu Ni … dia sungguh pria yang baik,” kata ayah.
Kemudian ayah bangkit dari duduknya dan mengeluarkan tumpukan dokumen-dokumen dari kolong tempat tidur Andini. Andini terdiam melihat itu. “Kamu harus mengembalikan semua dokumen ini ke rumah sakit Ni, sebelum mereka menyadari dokumennya tidak ada di tempatnya, ini Ayah menyembunyikannya, khawatir Dokter Danar melihatnya saat di sini,” kata ayah. Andini hanya diam tidak menanggapinya.
“Ni, bisakah, kamu hentikan semuanya---“
“Yah, tolong, jangan bahas ini sekarang,” potong Andini.
“Ni, kapan Ayah bisa membahas ini kecuali kamu sedang sakit seperti ini? Karena setiap Ayah mau bicara, kamu selalu pergi.”
“Jadi Ayah mau bahas ini sekarang? Baiklah, apa yang Ayah mau katakan?” tanya Andini kesal. “Ni, lepaskan semua, jangan dicari-cari lagi, ibu sudah tenang di sana,” lirih ayah. “Lepaskan semua? Yah, jangan lupa, kita kehilangan dua nyawa! Yaitu ibu dan adik, ibu dan adik memang sudah tenang, tapi Andini belum Yah!” geleng Andini geram.
“Tapi Ni, apa yang kamu lakukan tidak bisa mengembalikan mereka.”
“Iya, Andini tahu itu, tapi setidaknya Andini tidak diam saja seperti Ayah!”