“Ibu pasti sedang berpikir, dari mana Andini tahu Ibu punya anak ya?” terka Andini. Bu Rosa mengangguk karena selama di rumah sakit ini ia malah mengatakan sebaliknya. “Bu, ini jaman modern, mencari data pasien itu hal yang mudah … begini Bu, kami semua, para suster dan dokter yang merawat Ibu di sini, sayang sama Ibu … tapi apa pun yang terjadi di rumah, tidak bisa mengubah cinta yang sebenarnya, putra-putri Ibu dan cucu-cucu Ibu, mereka yang lebih membutuhkan Ibu,” beber Andini.
“Mereka ga mau mengurusku … mereka semua sibuk … tidak ada yang perhatikan aku,” ucap Bu Rosa merajuk, “jadi aku mau di sini saja … di sini aku banyak teman … juga ada suster cantik dan dokter ganteng yang perhatiin aku.” Andini tersenyum, “Ga kok Bu, mereka juga mau mengurus Ibu … itu hanya kesalahpahaman aja, lihat siapa yang datang menjenguk ….”
Bu Rosa menoleh pada pintu kamarnya. Muncullah putra dan putrinya beserta cucu mantunya lengkap. Bergetar jemari Bu Rosa dalam genggaman Andini, hati Andini turut bergetar haru juga jadinya. “Siapa yang memberi tahu mereka?” heran Bu Rosa. Lalu muncul Danar di belakang keluarga Bu Rosa itu melempar senyum.
Bu Rosa memeluk Andini. “Terima kasih SusCan … aku pun sebetulnya rindu mereka, itu yang membuat aku suka kepikiran jadi tensi … tapi aku keras kepala tidak mau menghubungi mereka lebih dulu … terima kasih sudah mengingatkan aku dan menghubungi mereka,” bisiknya di telinga Andini. Andini mengangguk.
Kemudian Andini menarik dirinya, beringsut keluar kamar dan memberikan kesempatan bagi keluarga Bu Rosa untuk saling melepas rindu. Berhamburan cucu mantu dan putra putri Bu Rosa memeluk ibu juga nenek mereka. Dalam air mata yang menitik, Bu Rosa memandang pada Danar dan Andini yang berdiri di pintu kamar, kemudian bibirnya mengucapkan pelan, “Thank you.” Danar dan Andini mengangguk untuk kemudian meninggalkan kamar Bu Rosa.
Mereka berjalan keluar dari ruang rawat inap lansia dengan hati yang senang telah mempertemukan Bu Rosa dan keluarganya itu.
“Itu sebuah ide yang bagus Mas, untuk mencari keluarga Bu Rosa dan menghubungi mereka Mas” kata Andini. “Makasih Din … karena aku pikir tidak mungkin Bu Ros itu hidup sendirian, berhari-hari di sini tidak ada yang menjenguknya … aku yakin, dia pasti punya famili yang sedang mencarinya … ternyata betul … mereka hanya salah paham, ibunya pikir keluarganya ga mau merawatnya, keluarganya pikir ibunya keras kepala dan tidak mau dirawat mereka,” senyum Danar.
“Itulah mengapa sebagai anak kita harus banyak mengalah, orang tua yang sudah sepuh ya kadang begitu, tapi sudah selayaknya kita tetap rawat mereka dan kita dengarkan segala keluh kesah serta kebawelannya … dulu pun kita begitu saat kecil pada orang tua ya, bawel dan ngerepoti …” timpal Andini. Danar tertawa dan manggut-manggut.
“Oiya Din, ini dokumen tolong bawa dan masukkan ke dalam lemari di ruang arsip khusus dokter ya … biasanya Bu Ida yang aku titipi ini, tapi dari tadi dia ga keliatan … ini kuncinya,” ujar Danar menyerahkan setumpuk dokumen dan kunci pintu. Ruang arsip khusus dokter? Batin Andini. Andini terkejut karena tidak semua perawat atau pegawai rumah sakit boleh memasuki ruang khusus itu.
“Ga apa-apa, kalau ditanya, bilang saja aku yang suruh … aku sudah ditunggu di ruang praktik soalnya,” jelas Danar melihat keraguan pada mata Andini. Andini akhirnya mengangguk dan menerima dokumen serta kunci itu.
Ketika mereka berpisah di bangsal, Andini memanggil, “Mas ….” Danar menghentikan langkahnya lalu memutar badannya, “Iya?” Andini memeluk dokumen itu di dada, dengan sedikit ragu dan malu berkata, “Kata teman … film komedi itu masih diputar di bioskop loh.”