"Ada yang salah sama orang-orang itu sampe lo kayak gini?"
"Kamu gak bakal ngerti."
Aris yang tiba-tiba menghampiri ku lalu tahu tentang apa yang terjadi barusan. Apa dia sudah mengikutiku dari tadi? Bahkan dia bilang orang-orang tadi, berarti dia melihatku ketika aku di kantin lalu berlari dan sampai di taman belakang sekolah ini? Kenapa aku tidak menyadarinya?
"Dari tadi ngikutin aku?"
"Gue takut lo kenapa-kenapa!"
"Buat apa?!"
"Karena lo pasti butuh gue! Lo harus cerita! Gak seharusnya lo sendirian kayak gini!"
Aku sedang tidak mau diganggu. Aku yang baru saja tenang mungkin kalau dibuat kesal kembali bisa mengubah diriku dalam keadaan yang tidak mau kurasakan itu. Tanganku saja masih keram dan masih sulit untuk di gerakan.
Ia masih disini, "Setiap masalah gak harus ditangisin. Gak perlu lari, yang kayak gitu malah bikin masalahnya terus membengkak di hidup lo!"
Seenaknya saja dia bilang begitu! Kalau bisa ditukar, akan ku tukar jiwa nya dengan jiwaku biar dia bisa merasakan apa yang aku rasakan dengan tidak mudahnya berkata seperti itu. Semuanya sulit, dan pilihanku adalah yang terbaik, walaupun itu semua hanya baik untuk ku saja.
Ia melepaskan tanganku dari genggaman botol air minum, "Mau ngapain?"
"Lo yang ngapain!"
"Emang, kalau orang lagi emosi pasti hawanya panas, gue tau. Tapi, gak gini caranya. Liat, tangan lo sampe keram gini 'kan? Lo ngapain pegang botol ini terus, ini 'kan dingin."
Botol minumku sudah berhasil dia ambil dan sekarang dia pergi entah kemana, kata dia aku jangan pergi sebelum dia datang.
Ia kembali dengan membawa botol minumku yang masih di sandranya juga kotak kecil yang aku tidak tahu isinya apa.
"Mana tangan lo?!"
Mau apa, sih, dia?
Tiba-tiba tanganku di kompres olehnya dengan air hangat yang di bawanya tadi.
Sambil mengompres tanganku ia masih saja menyalahkan ku, "Liat, tangan lo sampe semerah ini."
Aku benar-benar tidak sadar dengan apa yang ku lakukan. Semua itu adalah bentuk spontanitas yang terjadi dalam kepalaku yang langsung aku lakukan.