Sembari menunggu Aris membawa roti bakar yang sudah di pesannya. Aku hanya diam, karena tadi ia sudah mewanti-wanti ku untuk tidak pergi kemana-mana.
Tahu tidak? Sebenarnya setelah aku dan Aris selesai di area lukisan yang mendunia itu dan mencari objek lain di pamerannya, hampir saja episode itu datang, untungnya hanya hampir.
Ceritanya begini, objek yang kita datangi adalah stand karya seni rupa tiga dimensi yang Aris pilih. Dan sudah pasti tempatnya ramai sekali.
Ketika itu, Aris sangat penasaran barang seni apa yang sedang dilelang sampai orang-orang di sini berebut untuk memilikinya. Aku ikut di tariknya sampai berdesakan, aku bilang aku tidak mau tapi dia tidak mendengar suaraku lalu aku terpisah karena aku terlepas dari genggaman tangannya.
Aku terdorong kesana kemari, aku tidak bisa keluar dari sana. Kepalaku pusing lagi, nafasku sesak lagi, Aris sudah hilang dari pandangan ku, aku tidak tahu lagi apa yang bisa aku lakukan saat itu.
"Ra!"
Akhirnya aku mendengar suaranya.
"Lo gapapa 'kan? Ra, lo denger gue? Ra, jangan nangis lo gak sendirian, ada gue disini."
Aku dengar, tapi aku sedang ingin menenangkan pikiran ku terlebih dahulu.
Aris membawaku ke bagian belakang dari antrian yang berdesakan tadi.
"Oh, jadi ini yang tadi ngehambat saya di pelelangan tadi!" Seorang Ibu-ibu datang menghampiri kita dengan langsung memaki.
Aris menimpali, "Maksudnya Ibu apa, ya?"
"Mas, karena pacarnya mas halangin jalan saya untuk lebih dekat ke stand itu jadi saya gak dapet guci yang sama mau. Makanya mas kalo punya pacar dijagain, pake nangis di tengah-tengah kerumunan lagi. Kalo gak mau desek-desekan gausah ikutan!"
Ketika itu, aku tidak meladeni ucapan Ibu nya tapi bukan juga aku tidak mendengarnya. Semua kata-katanya tadi langsung masuk ke dalam pikiranku ketika aku sedang merasa kalut.
"Maaf, Bu. Soalnya tadi saya terpisah sama dia. Dia kayak gitu karena dia itu punya anxiety."
Aku sempat tidak percaya kalau dia bilang begitu pada Ibu tadi. Tidak habis pikir, apa yang sedang ia lakukan?
"Anxiety itu apa?"