"Gimana, Ra? Udah punya pilihan?"
Bang Ari ini tidak ada pembahasan yang lebih manis lagi apa? Untuk memulai suatu percakapan di pagi ini?
"Belum, yakin, bang."
Sambil berjalan masuk dan melalui koridor-koridor kelas, aku masih di ikuti bang Ari yang masih berada tepat di samping ku.
"Udah dipikirin konsekuensinya?"
Konsekuensi? Kenapa bang Ari bilang begitu? Apa jangan-jangan...
"Bang, yang waktu itu bang Ari salah ngomong, pasti soal ini, ya? Soal konsekuensi?"
"Ya, iya, sih. Cuman bang Ari tahan aja biar Nara gak kepikiran."
Aku memang tidak tahu maksud dari bang Ari apa, tapi kenapa bang Ari harus melakukan itu padaku? Malah, kalau sudah begini, aku semakin tidak yakin dengan apapun yang akan ataupun sudah aku putuskan.
"Boleh, gak, Nara gak mau denger pertanyaan itu?"
"Kenapa, Ra?"
"Udah banyak pertanyaan yang selalu muncul sendiri di kehidupan Nara dan sulit di cegah. Nara lagi gak mau aja masukin lagi pertanyaan lain dengan sengaja."
"Bang Ari tau, Ra. Tapi, ini adalah salah satu jalannya. Nara gak percaya itu? Masuk ekskul gak seburuk itu, kok."
Gimana bisa aku percaya? Aku belum tahu esok akan seperti apa. Dan, apa jadi nya kalau aku bersikap nekat?
"Nara gak ngerti kalau soal itu, bang."
"Semua keputusan pasti ada konsekuensi dari apa yang kita pilih. Makanya, bang Ari gak nentuin Nara harus masuk ekskul apa 'kan? Karena nantinya pasti yang ngalamin konsekuensi itu, ya, Nara, sendiri. Dan, bukan bang Ari atau siapapun."
Aku tidak tahu. Benar-benar sulit untuk aku cerna. Seperti orang bilang masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tapi aku tambahkan kalimatnya, dan masuk ke dalam otak lalu disaring kalimatnya menjadi berbagai bentuk dan selalu membuat aku pusing.
Aku tidak menatap nya sama sekali, aku hanya berjalan terus sampai ku temukan pemisahan jalan untuk ke kelasku juga kelas bang Ari.
"Yaudah, bang, kita bahas yang kayak gitunya nanti lagi, ya. Nara mau masuk ke kelas sekarang, mau ngerjain tugas piket."
Bang Ari mengangguk kan kepala nya.