Ku beranikan diri untuk menyuarakan isi dalam kepalaku ini. Rasa nya memang berat tapi ku yakin Ibu akan selalu mendengar tentang apa yang aku katakan.
"Bu, kenapa harus Nara yang terima semua ini? Apa salah Nara sama dunia? Kenapa Nara..."
"Nara ini bicara apa? Gak mungkin dunia berlaku seperti itu."
"Kenyataannya begitu, Bu. Dan, masa lalu yang membawa itu semua. Sekarang, bahagia menjadi sulit di dapat untuk Nara. Kemana perasaan baik-baik aja itu pergi?"
"Nara... Nara kadang gak sanggup buat ngerasain ini semua, Bu. Tapi... Nara 'kan..."
Entah kenapa tiap suara yang ku keluarkan rasanya banyak geratan yang mengikuti. Mungkin karena banyak ketakutan jika aku bisa bertanya yang aneh-aneh ke Ibu soal ini dan jauh dari jalur pembicaraan yang akan menuju ke arah sana. Dan, pasti tujuan dalam semua perkataan itu tentang bagian diriku yang sekarang ini, yang sudah hilang dari asalnya.
"Ra, bahagia itu milik semua orang. Dan, mungkin sekarang adalah titik dimana Nara harus melihat kebahagiaan itu datang dan dirasakan di sisi yang lainnya."
"Dunia punya cara buat kita tahu letak dimana kita harus mengerti nya. Karena dia juga sudah mengerti kita terlebih dulu, makanya dunia berlaku seperti itu. Dan, masa lalu setiap orang itu beragam, semua orang pun mengalaminya. Bukan cuma bahagia tapi kekecewaan pasti ada di masa itu."
Sesekali kuusap air mata yang dari tadi mengucur deras tanpa henti, "Nara harus apa kalau sudah begini? Nara takut kalau Nara gak kuat buat jalaninnya."
"Bisa Nara! Ibu pernah bilang juga 'kan ke Nara kalau di dunia ini manusia itu berproses, tumbuh dan pasti ada posisi yang dimana kita pun jatuh. Kalau kita dalam posisi yang terakhir itu, sebaiknya kita redam biarkan semua itu mengalir sesaat lalu setelah semuanya di keluarkan kita harus bangkit dan memulai untuk berdiri dari posisi itu."
"Nara berubah, ya, Bu? Seperti yang Bunar bilang, kalau Nara jadi suka melamun?"
"Nara akan tetap menjadi Nara, tidak ada yang berubah. Mungkin kondisinya lain? Pasti Nara sendiri yang punya jawaban 'kan?"
"Sudah sekarang jangan nangis lagi, ya. Tenangin diri Nara, jangan pikirin apapun yang membuat Nara pusing dan sampai sakit, ingat pesan dokter waktu itu 'kan? Bunar gak mau Nara begitu lagi. Nara sudah janji sama Ibu, lho."
"Iya, Bu. Yaudah Nara ke kamar dulu, ya."
Aku beranjak ke kamar dengan kondisi yang masih sama tapi sedikit lebih tenang. Walaupun sebenarnya yang kualami sekarang jauh dengan pembahasan ku tadi dengan Ibu.
Aku ingat pernyataan Ibu barusan kalau, Nara, ya, tetap Nara tidak ada yang berubah. Ya, kalau dari fisik dan juga namanya mungkin, aku memang tetap menjadi Nara, tapi maksudku bukan seperti itu. Nara yang sekarang lain dengan Nara yang kurasakan dulu.