Episode

Perspektifat
Chapter #39

039

"Kita jalan-jalan ke luar yuk! Lagian sebentar lagi juga cafe nya mau tutup." Ajak bang Ari.

Aku dan bang Ari jalan duluan karena Aris masih sibuk dengan tali sepatu yang harus diikatnya.

Aku juga tadi ditelepon Ibu, katanya kalau nanti sudah selesai jangan sampai menghubungi nya mendadak. Tapi, bang Ari bilang pada Ibu kalau hari ini dia bawa mobil dan akan mengantarku sampai rumah. Jadi Ibu tidak merasa khawatir dan karena Ibu sudah percaya mereka, tidak kudengar kalimat larangan dari ucapannya. Soal waktu misalnya.

Hari ini aku benar-benar sangat bersyukur. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan. Nara hari ini sedang merasa tenang, mungkin sekarang-sekarang ini kondisiku cukup lebih baik dari sebelumnya. 

Hidup berproses sudah ku rasakan. Kegagalan dari ekstrakulikuler yang dirasa bang Ari bisa membuat ku bahagia sudah diselesaikan karena itu bukan jawaban nya. Lalu bang Ari bilang lagi kalau aku harus berolahraga rutin minimal satu Minggu sekali dan yang ini tidak jadi masalah buatku. Sudah ku lakukan beberapa kali baik sendiri, berdua dengan ditemani salah satu dari mereka juga bertiga kalau waktu kita sama-sama kosong.

Di pinggir jalan sini, tepatnya di bagian trotoar untuk pejalan kaki disediakan bangku-bangku untuk duduk. Dan kami bertiga mencoba merasakan kenyamanan duduk di bangku ini sambil menikmati udara malam.

Aris membuka percakapan, "Bang gue boleh bahas soal itu gak, sih?"

Kemudian Aris pun menatap ke arahku, "Ra, gue udah jadi temen lo. Gue juga pengen tau soal lo. Gue janji setelah lo bilang, gue juga bakal cerita soal gue yang mau jadi temen lo. Lo pernah tanya itu 'kan?"

Bang Ari menanyakan semua itu padaku lewat kode dari matanya. Ku balas juga dengan kode melalui anggukan kepalaku.

"Apa yang buat lo penasaran, Ris?" Tanya bang Ari serius.

"Anxiety itu."

Bang Ari mulai menceritakan semuanya dari awal kita bertemu, "Gue ketemu Nara waktu gue lagi balik ke Jakarta buat ambil berkas yang ketinggalan disana. Dan, gue ngeliat Nara dalam masalah. Gue yakin itu bukan berasal dari fisiknya tapi dari dalam dirinya. Gue bawa dia ke psikiater dan dari yang gue denger dari ceritanya dia itu anxiety disorder."

Aku membiarkan bang Ari yang menceritakan semuanya pada Aris. Aku tahu dia pasti lebih rinci dalam menjelaskannya.

"Anxiety disorder itu adalah gangguan mental yang bisa membuat pengidap nya selalu dihadapkan dengan kecemasan. Lo pernah liat 'kan gimana Nara hadapin itu semua? Lo juga pernah liat kejadian Nara ketika dia lagi berjuang untuk nahan dan lepas dari semua itu?"

"Separah itu, ya, bang? Kadang gue aja yang ngeliat dia kayak gitu, gue ngerasa capek. Apalagi dia, ya?"

Aris melihatku lagi, "Lo gapapa 'kan, Ra?"

"Sekarang dia gapapa. Asal dia lagi gak ngerasain hal itu pasti dia gapapa. Tapi, yang bikin dia sakit, ya, dateng nya dari pikiran dia sendiri."

Lihat selengkapnya