Aku rindu sekali, sudah dua mingguan aku tidak ke taman belakang sekolah. Dari yang ku dengar sudah ada perubahan disana. Aku penasaran apa benar tempat singgah untuk aku menyendiri punya suasana baru?
Aku datang bukan di jam istirahat seperti yang dulu sering ku lakukan. Aku datang saat pulang sekolah.
Taman belakang sekolah ini sekarang benar bisa dikatakan sebagai taman sekolah. Banyak bunga dari berbagai jenis yang ditanam disini untuk memperindah suasananya. Sepertinya aku tidak hanya melihat lalu pulang. Aku akan disini sebentar mencoba menikmati hawa barunya.
"Ra!" Seseorang memanggil ku dari arah belakang.
"Lo bukannya pulang malah kesini. Lo ngapain?"
Aris lagi, kenapa dia tahu aku disini dan tahu juga kalau aku belum pulang? Hari ini 'kan aku sudah pakai sepeda ke sekolah. Dia juga tidak punya tanggung jawab untuk mengantarku sampai depan rumah. Kenapa dia mencari ku?
Aris memberiku sebatang coklat, untuk apa?
"Lo kalo udah ke taman biasanya lagi ada yang lo rasain 'kan? Katanya coklat bisa naikin mood, lo udah pernah coba?"
Tidak ku ambil coklatnya, karena ada alasan yang tidak bisa ku bantah. "Gimana sama bang Ari?"
Aris menyimpan coklatnya tepat di tanganku dengan terpaksa, "Ra, itu 'kan soal roti dan karena lo sakit waktu itu. Sekarang juga gak ada bang Ari 'kan? Gue tau juga kalo lo suka coklat."
Aku kira setelah dia memberiku tiga lembar roti tawar tanpa selai apapun menandakan kalau dia setuju dengan bang Ari. Oh iya, aku lupa belum bilang terimakasih padahal aku pulang diantar sama dia.
Karena coklatnya sudah ditangan ku, jadi tidak boleh ku kembalikan lagi padanya, "Makasih, coklatnya. Makasih juga kemaren ngasih kotak makan, aku lupa belum bilang makasih kemaren."
Aku duduk di bawah pohon rindang nya sekalian ku makan coklat pemberiannya tadi. Aris mengikuti ku, seperti nya dia juga ingin merasakan hawa baru dari taman belakang ini.
"Ada yang mau diceritain hari ini gak?"
Aku menatapnya bingung, "Maksudnya?"
"Kita 'kan temen. Lo udah bebas cerita ke gue soal apapun. Gue juga berhak bantuin kondisi lo. Lo gak cuman punya bang Ari, lo juga harus tau kalo lo punya gue."
Tiba-tiba segerombolan siswa perempuan berhasil mencuri pandang ku yang langsung tertuju padanya.
Aris langsung sigap, "Kalo lo liat mereka, lo sakit, berarti lo harus pergi sekarang. Ayo! Gue gak mau liat lo nangis terus lari. Kalo sekarang lo udah di taman, terus kalo lo lagi nangis lo lari kemana lagi?"
Aris mencoba menarik tanganku yang disuruhnya untuk berdiri, "Gapapa, kak."
"Gapapa, gimana?"
Segerombolan siswa perempuan tadi sudah menghilang, paling sudah pulang. Entah kenapa, aku tidak merasakan hal menyakitkan itu. Mungkin karena fokusku tidak ke arah mereka. Dan, Aris berhasil memecah pikiran aneh yang biasanya muncul di kepalaku. Aku spontan bilang padanya kalau sekarang ini aku sudah lebih baik, emosiku mulai stabil tapi memang masih sulit dilupakan kenangannya.
Aris bilang dia bingung harus bereaksi apa, karena dia tidak tahu betul masalah apa yang selama ini aku hadapi.
Aku membuka ranselku lalu mencari lembar polaroid yang pernah ku temukan di selipan bukuku. Untungnya benda itu pernah ku pindahkan ke tumpukan lembar berantakan yang ada dalam sketchbook ku.
Ku berikan benda itu padanya. Aku rasa dia memang sudah berhak tahu soal masalahku walaupun sedikit demi sedikit ku ceritakan.