Episode

Perspektifat
Chapter #52

052

Kemarin-kemarin Ibu sempat mengajakku untuk datang lagi ke psikiater. Saat itu aku menolak karena aku belum siap. Ibu memberiku waktu untuk menenangkan pikiran sesuai apa yang aku mau, sekitar satu Minggu. Di waktu-waktu itu Ibu tidak tanya apapun, tidak menggangu, dan tidak bahas soal pembahasan yang akan membuat ku ingat lagi akan kejadian yang lalu.

Waktu ku hari ini sudah habis. Pilihanku untuk meredakan semuanya cukup berhasil. Aku mulai tenang, perasaan ku mulai nyaman dan hatiku tidak sehancur kemarin.

"Sudah siap, Ra?" Tanya Ibu.

Iya, aku harus siap. Terakhir ketika obrolan ku dengan Ibu masih membahas soal kartu diagnosis ku, Ibu bilang kalau ia akan tetap mengajakku untuk datang ke psikiater. Ibu nyatanya bukan tidak percaya dengan kalimat yang tertulis disana, karena Ibu khawatir kondisi yang seperti ini akan berdampak apa di kehidupan ku yang akan datang.

Ini yang ku khawatirkan dari dulu, untuk tidak cerita soal masalah ini. Pasti Ibu akan melakukan segala cara untukku, apalagi ini tentang kondisiku yang kaitannya dengan gangguan mental.

"Kita gak usah datang ke tempat praktek nya. Karena psikiater itu yang akan datang ke sini, ke rumah kita."

Mana mungkin bisa begitu? Dulu, aku harus datang ke tempatnya dan menghampiri lebih dulu.

Ibu tersenyum tipis, "Nara harus bersyukur. Karena psikiater nya itu teman sekolah Bunar dulu. Jadi, Ibu harap Nara gak usah canggung. Bilang yang sebenarnya sama dia."

Pantas saja, psikiater nya teman Ibu ternyata. Dan, selama satu Minggu itu Ibu sering bertanya pada temannya ini tentang apa yang pernah ku ceritakan pada Ibu. Tentang kartu diagnosis, gejala yang aku alami, tentang semuanya yang Ibu tahu dariku dan yang pernah Ibu lihat selama ini.

Psikiater nya sudah datang. Ku lihat senyumnya tidak berhasil mengintimidasi ku jadi aku tidak lemah duluan. Pakaian nya tidak seperti pakaian psikiater yang aku datangi dulu, ini seperti tamu yang biasa Ibu bilang, teman.

Namanya dokter Ana. Setelah Ibu mengenalkan kami, dokter Ana meminta Ibu untuk meninggalkan ruang tengah ini. Karena dia ingin mulai mendengarkan cerita-cerita ku.

Sebelumnya, aku disuruh untuk duduk dengan posisi paling nyaman. Melapangkan hati, dan melebarkan pikiran agar aku lega nantinya setelah selesai bercerita.

Kalau sudah siap, aku diminta untuk menceritakan dari awal masalahnya. Kenapanaku bisa seperti ini dan kejadian apa yang pernah aku alami dan aku rasakan selama ini.

"Kamu sudah tahu anxiety ternyata. Dari mana?"

Dokter ini hanya mengujiku, ya? Bukannya kata Ibu dia sudah tahu ceritaku soal ini?

Aku yang dari tadi menangis ketika bercerita di hadapan nya. Yang tidak pernah ia tahan dan memaksaku untuk terus mengatakannya. Sama seperti biasa, ketika aku tidak sanggup, aku berhenti sejenak lalu memulainya lagi.

Ku tunjukkan kartu diagnosis ku yang pernah di berikan oleh psikiater dulu, "Dari kartu ini."

"Anxiety disorder. Kamu tahu artinya ini apa?"

Aku masih mengatur isak tangis ku sendiri, "Gangguan mental, tentang kecemasan?"

"Kalau dapat kartu ini dari kapan?"

"Dua tahun lalu."

Dokter nya tidak bertanya lagi. Ia hanya memandangi kartu diagnosis itu. Apa ada yang salah disana? Atau sebenarnya gangguan mental yang di diagnosis untukku bukan anxiety?

Aku bertanya-tanya di dalam kepala ku. Dokter ini menjadi diam. Aku harus apa? Bercerita lagi? Atau dia memberikan celah untuk aku menyegerakan tangisan ini?

"Kartu ini asalnya bukan dari psikiater."

Ujar dokter Ana serius.

"Gak mungkin, Nara dapat kartu itu setelah Nara cerita ke psikiater yang ada di Jakarta."

"Kamu dapat ini setelah berapa kali cerita?"

"Satu kali, saat itu juga. Di hari yang sama."

"Dari tangan psikiater nya langsung?"

"Bukan, di titipin sama teman yang mengantarku."

Lihat selengkapnya