Malam ini aku sudah tidak sendiri lagi, aku di temani Aris. Ia mengajakku keluar untuk jalan-jalan, sebagai permintaan maaf katanya. Dan, itu terus alasannya. Tidak pernah berubah.
Kita berhenti di salah satu taman, taman ini lebih indah di banding taman sekolah. Banyak lampu kelap kelip dan banyak juga yang datang kesini. Aku tidak suka keramaian dan Aris tahu itu jadi dia mengajakku ke area yang lebih luas dan duduk langsung di atas rerumputan nya.
"Ra, mending sekarang lo cerita di lembar pertama dari sketchbook itu. Di mulai lagi alur cerita bahagianya."
Aku mengeluarkan benda baru itu, baru ku terima satu Minggu yang lalu. Aku melihat langit terlebih dahulu dan ku mulai gambarnya.
Langit malam ini tidak sendirian, diatas sana sudah terlihat bintang yang bertaburan dan tidak lagi ia sembunyikan disisi yang kulihat saat ini.
"Kalo aja bang Ari ada disini, pasti lebih seru 'kan, Ra?"
Ku pandangi gambarku yang sudah selesai dan mengecek ke arah objekku diatas sana, siapa tahu aku salah. Tapi, langit memang benar-benar hanya memunculkan ribuan bintang tidak dengan bulan sabitnya. Kemana dia?
"Udah lama juga aku gak liat dia di sekolah." Ucapku pelan.
"Lo udah maafin dia?"
"Gak tau."
"Bang Ari, tuh, bener-bener ngerasa bersalah banget, Ra. Dia pikir, ya, emang karena dia lo jadi kayak gini."
Aku menutup sketchbook nya lalu ku masukkan kembali ke dalam ransel.
"Jadi, bang Ari ngehindar dari aku?"
"Iya."
"Gue jelasin sama lo gapapa 'kan? Ya, lo harus tau ini, sih. Bang Ari punya banyak alasan untuk ngelakuin ini semua, Ra. Dan, gue udah denger semua ceritanya."
"Apa?"
"Dan, gue nyesel udah bilang yang enggak-enggak soal dia ke lo di hadapan dia secara langsung saat itu. Gue minta maaf, Ra."
Aris menceritakan semua yang dia tahu dari cerita bang Ari. Ternyata bang Ari dulu punya adik perempuan dan sekarang sudah meninggal gara-gara depresi. Usianya sama denganku. Aris tidak bilang karena apa, soalnya dia memang tidak tahu.
Bang Ari saat itu, merasa gagal menjadi seorang kakak. Dia merasa tidak bisa menjaga adiknya dengan baik. Dan dimulai dari situ bang Ari bertekad untuk menjadi seorang psikiater karena dia tidak mau ada orang yang bernasib sama dengan adiknya itu. Namun, cita-citanya hampir di patahkan oleh kedua orang tuanya yang tidak setuju dengan keinginan nya ini.
"Makanya, Ra, walaupun bang Ari nantinya gak jadi psikiater, dia berharap bisa menyembuhkan orang-orang dengan kondisi yang sama."