Pagi ini tak sesuai dengan prakiraan cuaca tadi malam, yang seharusnya langit hanya mendung tak ada hujan. Namun manusia tetaplah manusia dan teknologi tetaplah teknologi, tak akan sempurna dan tak akan bisa mendahului yang kuasa. Hujan justru berdatangan dengan deras disertai petir-petir yang bersahutan.
Ara mengemudikan mobilnya secara cepat, sebab ingin mengejar seseorang di Bandara Soekarno Hatta. Ia sangat menyesali kata pisah yang diucapkannya pada tujuh hari yang lalu. Rasanya seperti dejavu dengan kejadian tiga tahun lalu ketika mengejar kekasihnya, Hamzah Pranata Wiraguna yang akan berangkat ke Prancis guna melanjutkan studi S2-nya.
Garis kerutan di wajahnya menunjukkan rasa kekhawatiran yang tinggi, takut tidak akan sampai mengejar waktu. Rasa resah membuatnya beberapa kali memandangi jam tangan berwarna silver model terbaru di tangannya. Sebenarnya ia baru bisa mengemudikan mobil empat bulan yang lalu. Namun, demi bisa bertemu Hamzah yang akan segera kembali ke Prancis hari ini, ia nekat membawa mobil dengan kecepatan penuh. Padahal dirinya belum begitu lancar dan pastinya belum memiliki surat izin mengemudi. Masa bodo jika harus berurusan dengan polisi, yang penting dirinya bisa menemui Hamzah.
Berkali-kali dirinya mendapat klakson dari mobil belakang karena salah mengambil jalur atau nekat menyalip kendaraan yang menghalangi lajunya. Gadis itu betul-betul tidak peduli dengan keselamatannya. Di dalam pikirannya hanya ingin bertemu Hamzah, berharap dapat memperbaiki kesalahannya yang terlalu tergesa memutuskan sesuatu tanpa mencerna semuanya terlebih dahulu.
“Pak, tunggu Ara,” lirihnya.
Lancarnya jalur perjalanan, membuat lima belas menit kemudian gadis itu berhasil sampai ke Bandara Soekarno Hatta, walau dengan detak jantung yang membara sehabis membawa mobilnya sekencang ini. Ditambah lagi situasi sedang turun hujan deras. Dalam hatinya terus berdoa agar waktunya tepat.
Tangannya berusaha mencari payung kecil bercap logo instansi kantor ayahnya yang seingatnya kemarin ia menaruhnya sendiri di dalam kap mobil. “Dimana sih itu payung? Perasaan kemarin Ara taruh di sini.” Gadis itu mencoba mengeluarkan seluruh isi kap mobilnya, tak peduli jika membuat barang-barang di mobilnya menjadi berserakan.
Tak ada waktu lagi. Ara memilih keluar dari mobil dan segera menuju ke dalam. Lagipula hujan juga sudah mulai agak reda, tak masalah baginya. Gadis itu mengunci mobilnya lalu berlari ke dalam bandara.
Dengan cuaca seperti ini, semoga saja pesawat yang akan digunakan oleh Hamzah mengalami delay. Ia melihat papan keberangkatan internasional. Pesawat yang akan menuju ke Prancis akan berangkat pada pukul 9 pagi dan kini waktu baru menunjukkan pukul 8, seharusnya Hamzah masih berada di bandara ini.
Ara berlarian mengitari tiap sudut bandara sambil mengingat-ngingat maskapai apa yang akan digunakan Hamzah. Seingatnya, diperjumpaan terakhir mereka, Hamzah berkata akan pergi pada pagi hari, namun ia tak menyebutkan detail waktu dan maskapai yang akan digunakan. Khawatirnya, pria itu menaiki pesawat yang lebih pagi dari ini. Gadis itu berusaha untuk berpikiran positif. Tak ada di dunia ini yang mustahil jika takdir sudah berkehendak.
Rasanya Ara ingin sekali menghubungi Hamzah. Namun seluruh kontaknya, baik nomor telepon, instagram bahkan twitter sekalipun sudah diblokir. Ralat, bukan diblokir, tepatnya memblokir dirinya sendiri. Pada hari sebelum mereka berpisah, Ara meminjam handphone Hamzah untuk memblokir seluruh kontaknya agar pria itu tak bisa lagi menghubunginya. “Tolol emang!!” ucapnya merutuki diri sendiri.
“Araaa!” seseorang memanggilnya dari belakang. Gadis itu tersenyum penuh harap.
Kekecewaan kembali muncul di benaknya ketika panggilan itu bukan berasal dari Hamzah melainkan ayah dan kakaknya.
“Kalian ngapain nyusulin Ara? Tadi kan Ara udah bilang kalau bisa kesini sendiri.”
Kekesalannya tak tertahan lagi. Secara tegas, Medina menghujani adiknya dengan beragam kata-kata yang menusuk. “Lo itu baru empat bulan lalu bisa nyetir, gak usah sok-sokan ngebut kayak gitu, apalagi ini lagi hujan deres!”
“Ara nggak mau repotin kalian, Ara mau nyelesaiin masalah Ara sendiri!”
“Tapi cara kamu bawa mobil bikin khawatir, Ra. Ayah, Bunda, sama Kak Medina tidak mau terjadi sesuatu pada kamu.” Pak Sugeng mencoba berbicara lebih tenang dan halus kepada anaknya. Ia tahu perasaan Ara saat ini, jika emosi bertemu dengan emosi, akan semakin kacau.
Ara menundukkan wajahnya, paham akan perasaan khawatir keluarganya. “Ara udah keliling bandara, tapi Pak Hamzah gak ketemu juga, Yah. Apa dia udah berangkat?”
“Kamu sudah coba telepon dia?”
Ara menggeleng tegas. “Ara gak bisa hubungin Pak Hamzah, Yah. Semua kontak Ara udah diblok. Bukan Pak Hamzah yang blok, tapi Ara sendiri yang blok di handphone Pak Hamzah.”
“Si dodol!” umpat Medina pada adiknya. “Yaudah, sini gue coba telepon pakai HP gue. Lo gak blok nomor gue di HP Hamzah kan?” mata Medina mendelik kesal pada adiknya.
“Enggak lah Kak!”
“Ya sudah, kamu tenangin diri dulu. Sambil hubungin Hamzah, kita ke café depan situ gimana?” Pak Sugeng menunjuk sebuah kedai kopi samping minimarket. Jujur saja, Ara tak ada hasrat dan mood untuk minum kopi saat ini. Tetapi ada benarnya juga dengan ucapan ayahnya, ia harus tenang terlebih dahulu. Semoga saja secangkir kopi hangat dapat sedikit menjernihkan pikirannya.
Ara memesan hot creamy caramel latte beserta sandwich tuna, harapnya kedua menu itu dapat sedikit menenangkan hatinya. Ia terus saja melihat jam di tangannya. “Udah coba telepon lagi Kak?” tanyanya pada Medina yang sedang menyeruput minuman iced coffe.
“Gue udah telepon sampai lima kali, lewat WA, telegram bahkan IG, hasilnya nihil Ra, nggak tersambung. Kayaknya HP Hamzah nggak aktif.”
“Terus gimana kak?” Medina membalas dengan menaikkan kedua bahunya.
“Emang lo nggak tahu, dia naik maskapai apa dan jam berapa?”
“Ara nggak tahu kak. Ara cuma tahu dia berangkat pagi ini, nggak tahu pake pesawat apa. Tapi Pak Hamzah seringnya pakai Qatar Airways.”
“Coba gue cek.”
Dengan gerakan cepat, Medina mencari jadwal jam penerbangan melalui web resmi. “Yang jam sembilan nanti Qatar Airways, Ra.” Medina menunjukkan handphonenya kepada Ara. “Kalau dia benar berangkat pakai maskapai itu, ada kemungkinan, Hamzah masih disini.”
“Yaudah, kalau gitu biar Ara cari Pak Hamzah lagi, kalian tunggu aja di sini.”
Gadis itu measukkan ponselnya kedalam tas, kemudian berniat beranjak pergi untuk mencari Hamzah kembali. Batinnya tak tenang jika terus berada di sini. Belum ada selangkah kakinya berjalan, tangan ayahnya berhasil mencegahnya untuk bergerak mencari Hamzah.
Dengan tatapan mata tajam khasnya, Pak Sugeng berkata, “Minuman dan makananmu habiskan dulu! Ayah tidak pernah ngajarin kamu mencampakkan makanan!”
“Buat Kak Medina aja.”