Satu hari lagi telah terlewatkan. Menjalani aktivitas monoton membuat kepalanya sedikit pusing ketika membuka mata dipagi ini, yang tampaknya akan cerah sepanjang hari. Ini bukan kerjaan impiannya. Jauh dari itu. Tetapi takdir sudah menempatkannya dalam posisi ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus tetap ia jalani.
ID Card yang bergantung di samping cermin, ia ambil dan dimasukkan ke dalam tas Dior repro miliknya. Angan-angannya dulu yang ingin mempunyai tas bermerk itu, kini dapat terwujud walaupun hanya melalui barang tiruannya saja. Tidak apa dan bukanlah masalah yang besar. Masih bisa memberikan uang belanja kepada ibunya saja sudah patut ia syukuri. Menjadi anak semata wayang di rumah ini, menjadi suatu beban tersendiri dihidupnya. Apalagi baginya yang merupakan seorang perempuan.
Tangannya berusaha meraih jabatan tangan ibunya yang sedang sibuk menggoreng ikan asin kesukaan bapaknya. “Annisa berangkat dulu ya Bu,” ucapnya sambil mengecup punggung tangan ibunya yang berminyak dan sedikit bau petai. Padahal Bu Ali sudah menyuruh anaknya untuk langsung berangkat saja. Tetapi gadis bernama Annisa Hartini itu tak mempedulikannya. Sampai kantor nanti ia bisa cuci tangan atau memakai cairan pewangi bentuk gel yang selalu siap sedia di tasnya.
“Bapak dimana Bu?” tanya Annisa sambil memakai sepatunya di kursi reot depan TV yang kayunya sudah mengeluarkan bubuk-bubuk rayap. Rencana untuk mengganti kursi itu sudah terpikirkan dari dua tahun yang lalu, namun tetap saja sampai detik ini belum terlaksana. Banyak kebutuhan lainnya yang lebih penting dari sekadar membeli kursi baru.
“Lagi nyuci motor di rumah Pak Basuki. Katanya lumayan buat beli token listrik yang sudah mau habis,” jawab jujur ibunya.
Annisa melipat wajahnya kesal. “Kalau token habis, bilang sama Nisa Bu. Bapak biar di rumah saja. Sudah cukup bertahun-tahun bapak ngangkutin barang setiap hari di stasiun buat aku sekolah.”
Bu Ali mematikan kompor lalu membawakan sepiring pisang goreng hangat untuknya. “Hasil kerjamu ya untukmu Nis. Nikmati sekali-kali. Kami nggak mau menjadi beban untukmu. Lagian bapak memang sekalian ingin main ke rumah Pak Basuki. Sudah lama nggak main kesana katanya,” jawab ibunya sambil mencomot satu pisang goreng yang masih panas, lalu ia tataki dengan selembar kertas tisu. Annisa meresponnya dengan hanya satu senyuman kecil yang terukir manis di wajahnya.
Tak lama, gadis itu kembali tersenyum melihat satu notifikasi pesan masuk di handphonenya. Jarinya bergerak cepat dan membalas pesan tersebut.
“Ya sudah Bu. Annisa jalan ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Annisa menutup pintu rumahnya rapat-rapat, kemudian dikunci dari dalam oleh ibunya.
Lagi-lagi tetangga yang tinggal di samping rumahnya persis, membuat kupingnya kembali panas. Setiap pagi ia dibangunkan oleh musik dangdut koplo yang sudah berputar usai para lelaki kembali dari masjid selesai melaksanakan salat Subuh.
Hidup dalam ketidakenakan nyatanya malah menyakiti diri sendiri. Sudah berulang kali Annisa menyuruh orangtuanya untuk menegur Bang Mardani, agar tidak memutar musik sepagi itu, atau minimal suaranya ia pelankan saja. Cukup Bang Mardani dan istrinya yang mendengarkan. Orangtuanya dengan tegas menolak, tidak berani menegurnya, sebab Bang Mardani sangat baik pada keluarganya. Sedari dulu, jika keluarganya memiliki kesulitan ekonomi, Bang Mardani selalu menjadi garda terdepan yang meminjamkan uang. Tak hanya itu, istri Bang Mardani seringkali melebihkan masakannya dan membagikan untuk keluarganya. Baru-baru ini Annisa mengerti. Kini ia menganggap musik dangdut itu sebagai alarm pagi saja.
Di tangga rusun antara lantai dua dan tiga, Annisa berpas-pasan dengan dua remaja yang berjalan sambil melempar canda dan tawa, entah apa yang sedang mereka bahas. Sepertinya seru.
Annisa mengenal salah satu dari mereka. Gadis bertubuh jangkung, berambut panjang dan berkulit putih bernama Indah yang tinggal tepat satu lantai di bawah rumahnya. Sedangkan yang satu lagi, ia tak mengenalinya. Mungkin teman kampus Indah. Gaya pakaiannya sangat casual, persis seperti tampilan nasabah prioritas tempatnya bekerja. Pasti teman Indah satu ini berasal dari orang berada. Annisa sudah paham membedakan orang yang berduit ataupun tidak. Hasil pengalamannya bekerja menjadi teller bank yang sudah berjalan kurang lebih empat tahun.
“Pagi Kak Annisa,” sapa Indah dengan nada menggodanya.
“Pagi Indah. Seru banget nih ngobrolnya sampai ketawa-tawa gitu.”
“Iya nih Kak.” Indah tertawa malu. Padahal, ia merasa tawanya tadi masih dalam kadar biasa saja. Lalu ia menginjak kaki Ara, memberikan kode untuk berhenti menggerecokinya dengan banyolan-banyolan konyolnya.
“Katanya kamu buka kelas buat anak-anak sekolah ya?”
“Iya Kak, program kampus.”
“Wah, sekali-kali aku mau ikut dong ngajar.”
“Boleh banget kak.”
“Oke deh, nanti kita kabar-kabaran lagi yaa. Aku berangkat kerja dulu.”
“Sip, Kak. Hati-hati.” Annisa mengangguk pelan sambil melambaikan tangan.
Senyum di wajahnya sirna seketika. Ia mengingat teman-teman SMA-nya dulu yang sekarang entah dimana. Padahal dulu mereka saling mengikrarkan janji untuk selalu bersama sampai tua. Namun kenyataannya mereka menghilang dan pergi meninggalkannya. Ia rindu masa putih abu-abunya. Sudah dua belas tahun yang lalu tapi rasanya seperti baru kemarin ia mendapat selembar ijazah.
*****
Satu tiupan asap dari mulutnya, ia biarkan melayang-layang di udara. Hisapan terakhir setelah puntung rokoknya mengecil.
Pria itu bersiul-siul menembang nada lagu yang sedang familiar di otaknya, sambil memakan gorengan hangat yang baru saja dipindahkan ke wadah oleh Pak Pram. Seperti biasanya, kopi dan gorengan yang ia habiskan pagi ini, akan dibayar ketika dirinya mendapat projek dari orang yang sedang membutuhkannya. Entah hati Pak Pram terbuat dari apa, membiarkan pria itu menumpuk hutang di warungnya. Padahal itu sungguh merugikan warungnya yang sebenarnya untung tak seberapa. Anggap saja sebagai amal jariah.
Setelah pamit dan mengucapkan terima kasih pada Pak Pram, sebab lagi-lagi diberikan hutangan, ia pindah posisi duduk ke atas motor Vario putih jadul peninggalan bapaknya, setelah mendapatkan respon pesan dari kekasihnya yang sudah ia tunggu dari setengah jam yang lalu. Rambutnya ia rapikan kembali dengan sisir putih kecil harga seribuan yang ia taruh di kap motor. Pria itu harus selalu terlihat tampan di depan pujaan hatinya. Apalagi ia akan mengantarnya pergi ke tempat kerja. Bisa-bisa ia disangka sebagai tukang ojek.
Dari kaca spion, ia bisa menangkap kehadiran sosok gadis cantik yang rambutnya dicepol rapi khas pegawai bank. Kecantikannya membuat pria itu tak jemu-jemu memandanginya dari spion motor. “Sudah siap Neng?” tanyanya saat gadis itu sudah menangkring rapat di atas motor warisan bapaknya.
“Udah,” jawab Annisa kemudian memegang rapat bahu Adil, pacarnya.
Adil memutar slot kunci motor, seketika mesin motor menyala. Ia siap menarik gas untuk melajukan motornya yang sudah diisi bensin seliter pagi tadi di warung pertigaan jalan dekat apartemen depan.
Dua sejoli yang tak terpisahkan. Janji terukir manis, tak terbantahkan.
*****
Bilang-bilang sayang, bilang-bilang cinta
Bilang-bilang setia, tahu-tahunya mendua
Dasar kau lelaki, mudah obral janji
Dasar kau lelaki, cuma bikin sakit hati
Lebih baik, lebih happy, saat ini ku sendiri
Sampai nanti kutemui lelaki yang baik hati
Dengan cekatan, pria berambut sedikit gondrong itu membantu ibu-ibu bergamis ungu mengeluarkan motor Nmaxnya yang diapit rapat oleh dua motor yang parkir di sampingnya. Usai motornya berhasil dikeluarkan, ibu-ibu berbadan gemuk itu memberikan uang koin 500 padanya. Dengan senyum setengah ikhlas, pria berkumis tipis-tipis itu mengambil uang tersebut. “Terima kasih Bu, hati-hati.” Sejurus kemudian tangannya mencegat motor yang akan melintas dari arah belakang, menuntun ibu-ibu tersebut untuk melaju terlebih dahulu.
Suara speaker musiknya yang melantunkan lagu Ayu Ting-Ting berjudul Single Happy, ia kecilkan sedikit. Ternyata musik yang ia putar justru membuat kepalanya menjadi sedikit pening. Ia memakai topi navynya yang sedikit luntur, merasa siang ini matahari berada tepat di atas kepalanya. Matanya melirik ke pintu kaca minimarket, melihat aktivitas jual-beli di dalam. Hasratnya berkeinginan untuk masuk, kemudian berpura-pura ingin membeli sesuatu atau minimal membeli sebotol teh tiga ribuan dari uang hasil jaga parkirnya sedari pagi. Angin air conditioner di dalam sungguh menggodanya.
Kerja sebagai tukang parkir sebenarnya menguntungkan. Hanya duduk-duduk, menunggu pelanggan yang membawa kendaraan datang ke minimarket, lalu mereka memberikan uang kepadanya. Tetapi praktiknya tak semudah itu. Kerap kali ia mendapat pandangan negatif dari pelanggan toko yang kesal dengan kedatangannya. Bahkan pegawai toko itu-pun sebal dengan kehadirannya, yang dianggap membuat sial, karena tokonya menjadi sepi pengunjung.