Berjalan di atas waktu. Kalimat yang tepat untuk menggambarkan diri Ara saat ini. Ia hanya menjalankan rutinitasnya sehari-hari seperti berkuliah, menulis, membantu bundanya menjaga boutique dan semua itu hanya sebagai proses jalannya waktu. Rasanya waktu berjalan begitu cepat namun perasaan dan hatinya seperti berhenti diwaktu Hamzah kembali pergi meninggalkannya.
Kini hidup hanyalah hidup, tak ada lagi makna, tak ada lagi rasa.
Perkuliahan Ara semakin terasa membosankan saat gedung fakultasnya dibongkar ulang untuk dibuat gedung yang baru. Ara akui, saat pertama kali ia menapaki gedung fakultasnya, terasa tua dan memang perlu direnovasi ulang. Untuk itulah, fakultas menerapkan sistem belajar hybrid atau perkuliahan dapat dilaksanakan melalui daring ataupun tatap muka jika sangat diperlukan. Sialnya pembangunan akan selesai kurang lebih memakan waktu selama tiga tahun, belum lagi biasanya sebelum gedung digunakan, akan dilakukan tes uji kelayakan terlebih dahulu yang Ara sendiri yakin pasti akan memakan waktu yang lama.
“Gila ya, UKT kita buat bangun gedung baru tapi nggak ngerasain tuh gedung!” kesal Indah, sahabat Ara saat membaca waktu pengerjaan pembangunan di papan deskripsi pembangunan yang tertancap di gedung fakultasnya yang kini sudah rata dengan tanah.
“Indah lama-lamain aja lulusnya, ntar ngerasain kok,” balas Ara yang malah membuat Indah semakin kesal.
“Gue getok lu yee,” Ara tertawa sambil berlari dari kejaran Indah.
Bagi mahasiswa seperti mereka adalah sebuah kesialan karena tak bisa menjadi seperti mahasiswa seutuhnya, namun hal tersebut malah keberuntungan bagi bunda Ara yang baru saja membuka toko boutique. Ara dipekerjakan sebagai admin ataupun terkadang membantu melayani pembeli. Tak lupa juga kedua sahabatnya, Indah dan Putri juga dipekerjakan oleh bunda sebagai host live streaming di platflorm market place si orange. Untung saja ada dua sahabatnya, Indah dan Putri. Hari-hari Ara semakin berwarna dan dipenuhi dengan tawa.
*****
Tak terhitung berapa kali Ara mengusap kedua matanya yang terlihat sangat sayu. Semoga saja di kamera zoom, mata sayunya ini tak terlihat oleh teman-teman dan khususnya dosennya.
Dengan mata setengah tertutup, Ara berusaha untuk mendengarkan penjelasan dosen Sosiologi Sastra yang sedang menjelaskan tentang konsep realitas sosial George Ritzer. Lagi-lagi sosiologi. Walaupun ia berkuliah di jurusan Sastra Indonesia, namun sosiologi seolah tak bisa berjauhan dengannya. Ilmu Sosiologi berkenaan dengan masyarakat, dan sastra merupakan gambaran atau representasi kehidupan manusia yang bermasyarakat. Untuk itulah, dalam perkuliahannya, ia mendapat dua kali mata kuliah Sosiologi yaitu Pengantar Sosiologi dan Sosiologi Sastra.
Sedari dulu, gadis itu sangat tertarik dengan dunia sosiologi, bahkan hampir saja ia menempatkan sosiologi sebagai pilihan keduanya dalam pemilihan jurusan saat pendaftaran masuk perguruan tinggi dulu. Namun Ara merasa sastra adalah cerminan dirinya dan rasa cintanya kepada sastra sangat-sangat tak terbendung. Koleksi buku-buku sastranya baik novel, antologi cerpen, puisi bahkan naskah drama, sudah hampir memenuhi rak buku di kamarnya. Apalagi jika Gramedia sedang membuka cuci gudang, bisa-bisa koleksi bukunya bertambah 20 buku lebih. Tak ayal jika sewaktu itu ia memilih Sastra Indonesia sebagai pilihan jurusannya.
Jika saja Hamzah masih di sini, ia akan berdiskusi panjang lebar tentang mata kuliah ini. Namun, hal itu hanya angan-angan saja karena kenyataannya ia berada jauh di sana dan tak akan mungkin tergapai.
“Ritzer membagi realitas menjadi dua tipe, ada yang bisa menyebutkan?” tanya dosen Sosiologi Sastra kepada para mahasiswanya.
Walau dengan keadaaan mengantuk, ia ingin sekali menjawab pertanyaan tersebut. Ara langsung menekan tombol raise hand yang berada di pinggir layar.
“Silakan Ara.”
“Baik ibu, Ritzer membagi realitas sosial menjadi dua tipe, yakni realitas sosial objektif dan realitas sosial subjektif. Untuk realitas sosial objektif sendiri merupakan suatu gejala sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh semua masyarakat. Sedangkan realitas sosial subjektif ialah merupakan suatu pemahaman realitas sosial yang terbentuk dari diri khalayak individu yang berasal dari realitas sosial objektif. Secara sederhananya, realitas objektif ini sebuah kondisi yang ada dan nyata di masyarakat dan dapat diterima tanpa dipengaruhi pendapat pribadi sedangkan realitas subjektif itu kondisi yang terjadi di masyarakat dan juga pastinya nyata, tetapi dipengaruhi oleh pendapat pribadi seperti ide dan opini. Sepengetahuan saya seperti itu Bu, mohon koreksinya jika terdapat kesalahan.”
“Ya, tepat sekali Ara, kamu malah terlalu detail menjelaskannya.” Ara tersenyum. “Terima kasih, Bu.”
“Baik guys, untuk pertemuan hari ini ibu cukupkan sampai sini terlebih dahulu. Karena seminggu lagi akan lebaran, ibu ingin mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin. Semoga ibadah puasa kalian mendapatkan ridha dan pahala yang berlimpah dari Allah SWT.”
Beberapa mahasiswa menyalakan microphonenya. “Aaamin. Terima kasih ibu.”
“Ibu sudah mengirim tugas melalui google classroom. Silakan dibaca dan dipahami baik-baik penugasannya. Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan menghubungi ibu langsung atau bisa melalui penanggung jawab kelas.”
“Baik ibu.” Para mahasiswa termasuk Ara meresponnya dengan anggukan dan beberapa memilih menjawab langsung menggunakan audio.
Setelah ruang pertemuan ditutup, Ara dengan cepat mematikan laptopnya dan beranjak untuk rebahan di kasur. Gadis itu melirik jam yang menunjukkan pukul setengah sebelas. Ia berencana untuk tidur terlebih dahulu karena dirinya hari ini sangatlah mengantuk. Belum lagi jam tiga nanti bersama Indah dan Putri, mereka akan melaksanakan buka bersama. Acara klise yang wajib diadakan setiap tahunnya di Bulan Ramadhan dengan alasan kebersamaan namun seringnya acara tersebut digunakan untuk ajang menunjukkan pencapaian. Ara sendiri memilih-milih jika ingin mengikuti acara buka bersama.
Tepat pukul satu siang, sesuai alarm yang ia pasang, Ara terbangun dari tidurnya. Rasa kantuknya hilang setelah terbangun, tubuhnya menjadi lebih segar dan sayu di matanya berkurang.
Ara melangkah keluar dari kamarnya, mencium aroma-aroma makanan. “Sekarang masih jam satu tapi udah masak-masak?” gadis itu bergerak menuju dapur.
Di dapur terdapat Bunda dan Mbok Ningsih, asisten rumah tangganya sedang sibuk memasak. Ia lupa jika hari ini boutique sedang tutup, padahal sebentar lagi hari raya. Entah apa yang dipikiran bundanya, seharusnya memanfaatkan momen ini dengan baik. “Hmmm, masak apa nih?” tanya Ara sembari mendekati bundanya yang sedang memotong cabai.
“Biasa, gorengan tahu isi, bakwan, lontong isi sayur sama soto lamongan,” malah Mbok Ningsih yang menjawab.
“Bagus ya anak perawan bangun jam segini, bukannya bantuin bundanya di dapur!” Sekali bundanya bicara, berhasil membuat Ara meneguk ludahnya sendiri.
“Ara sudah bangun kok Bun dari jam delapan, tadi ada kelas online lewat zoom meeting.” Gadis itu menyengir memperlihatkan gigi gingsulnya yang malah membuat dirinya semakin cantik.
“Kalau sudah bangun tapi di kamar doang, sama saja bohong.” Bundanya berbicara tanpa ekspresi sama sekali yang malah membuat Ara bergidik ngeri. Ia buru-buru mengganti topik untuk mengalihkan pembicaraan.
“Kak Medina buka di rumah Bun?”
“Katanya sih di rumah, mau ngajak Ario.” Seketika wajah Ara berubah. Ia menjadi teringat kembali dengan Hamzah. Ario adalah calon suami Kak Medina yang rencananya mereka akan melangsungkan pernikahan pada tahun depan. Jika saja Hamzah masih disini, akan menyenangkan rasanya, membawa calon masing-masing di hadapan kedua orangtuanya. Mungkin acara inilah yang menyebabkan boutique tutup hari ini.
“Ara nanti buka di luar ya Bun, udah ada janji sama Indah dan Putri.”
“Jangan lupa nanti Salat Magrib!!!” tiba-tiba bunda menoleh dengan tatapan seram ke Ara. “Kalau kamu bukber sampai skip Salat Magrib, liat aja,” mata bunda mendelik ke Ara sambil menunjuk wajahnya seolah mau menerkam.
“Iya bun, tenang aja.” Tanpa menunggu respon Bundanya, Ara langsung berlari ke kamarnya daripada nanti tidak diizinkan untuk berangkat.
*****
Ara memilih pakaian yang simpel dan sederhana saja seperti biasa datang ke kampus. Kemeja motif pink-putih berpadukan dengan celana kulot berwarna abu-abu rasanya sudah cukup pantas untuk digunakan main ke mal. Sedangkan untuk riasan ia hanya memakai bedak dan lipstick berwarna peach saja. Dirinya memang tak pandai berias dan suka tampil natural saja. Tak lupa Ara menyemprotkan parfum aroma jasmine yang natural dan tidak terlalu mencolok.
Gadis itu berdiri di depan kaca sambil mengambil tasnya yang digantung di sampingnya lalu mematikan AC dan lampu kamar. Sebelum berangkat, tak lupa ia memberikan makan terlebih dahulu kedua kucingnya yang berada di lantai bawah. Selepas itu, barulah ia berangkat ke sebuah mall di daerah Jakarta Selatan.
Ara pergi menggunakan mobilnya sendiri. Kini ia sudah memiliki SIM. Tak hanya itu, skill mengemudinya sudah sangat lebih baik dibanding sebelumnya, sehingga kedua orangtuanya membebaskan Ara untuk membawa mobilnya kemanapun sesuka hati.
Sebelumnya, Ara menjemput Indah dan Putri terlebih dahulu di halte kampus. Kedua temannya sudah berdiri menunggu di depan halte. Ara memarkirkan mobilnya dengan berhati-hati karena disekitarnya terdapat beberapa bajaj yang sedang parkir menunggu pelanggan.
Tanpa menunggu perintah Ara, Indah dan Putri langsung masuk ke dalam mobil. Seperti biasanya, Indah mengambil duduk di samping kemudi dan Putri berada di tengah. Saat kedua sahabatnya sudah masuk ke dalam mobil, Ara pelan-pelan kembali menjalankan mobil berwarna putihnya itu. “Kita langsung ke mall aja kan?” tanya Ara pada dua sahabatnya yang sama-sama sedang membuka handphone.
“Iyelah Ra, kemana lagi?” jawab Putri.
“Ini jam berapa by the way?”
“Jam setengah empat! Lo ngaret setengah jam Ra!” kini Indah yang membalas.
“Masa sih? Padahal Ara tadi berangkat dari rumah jam setengah tiga loh.”