Lantunan takbir hari raya memenuhi langit cerah berbintang malam ini. Rasanya semesta seperti ikut senang dan merayakan hari raya Idul Fitri yang akan jatuh pada esok hari. Jalanan dipenuhi pawai obor berjalan kaki ataupun pawai keliling menggunakan truk membawa sound system besar dan diikuti oleh kendaraan bermotor. Sebuah pemandangan yang selalu Ara rindukan ketika pulang ke Jogja.
Dulu saat usianya masih belia, Ara ingin sekali ikut pawai menggunakan obor, namun tak diizinkan oleh orangtuanya. Ia boleh mengikuti pawai, namun hanya boleh menggunakan lampu berbentuk obor dengan energi baterai seperti mainan, sedangkan saudara-saudaranya yang lain dengan bebas diperbolehkan membawa obor bahkan kakaknya, Medina sekalipun.
Dua hari sebelum lebaran tiba, Ara baru bisa datang ke Yogyakarta menggunakan pesawat terbang. Seperti hari raya sebelum-sebelumnya, ia baru bisa datang ke Jogja mendekati lebaran, tak bisa dari jauh-jauh hari. Pernah sekali sewaktu Ara duduk di kelas delapan SMP, ia baru pulang kampung saat malam takbiran. Jengah sekali rasanya melihat yang lainnya sudah berkumpul.
Saudara-saudaranya sudah lengkap bersatu-padu di rumah tingkat empat yang bentuknya hampir menyerupai istana di film-film Disney yang sering ia tonton. Rumah milik Yang Kungnya ini luasnya dua kali lipat dari rumahnya di Jakarta. Tak heran jika saat nanti semua sudah pulang masing-masing kembali merantau, rumah ini terasa seram dan sepi, sebab hanya berisikan Yang Kung dan Yang Ti serta beberapa ART.
Sebenarnya Yang Kung Ara alias Pak Alam Soedrajat juga memiliki hunian di Jakarta walau tak sebesar di Yogyakarta. Usia Yang Kungnya kini sudah mencapai 84 tahun, dan diusianya yang ke-70, Yang Kung memilih tinggal dan menikmati sisa hidup di kampung kelahirannya, Yogyakarta.
Malam ini, seluruh keluarga berkumpul di ruang tengah yang berada di lantai bawah, bercengkerama satu sama lain menikmati malam hari raya sambil makan beraneka kue kering yang sudah disajikan di meja besar dekat TV. Lain halnya dengan Ara, ia memilih untuk menyendiri di rooftop sambil memandangi bintang-bintang, yang berujung overthingking tentang hidupnya yang monoton begini-begini saja. Suara sepupu dan keponakannya yang sedang bermain, terdengar riuh sampai sini, baik suara teriakan, tangisan, tawa beradu menjadi satu yang malah membuat gadis itu pusing.
“Ra, lo nyendiri aja di sini? Yang lain pada kumpul di bawah loh,” suara Medina berhasil membuat dirinya terkejut. Gadis itu mengelus-ngelus dadanya yang berdebar tidak karuan.
“Huft, ngagetin aja lo mah Kak!” protes Ara.
“Lagi bengong ya lo? Awas kesambet!”
Tak ada respon dari Ara. Ia malah membuka pesan whatsapp di handphonenya yang ramai dipenuhi ucapan selamat lebaran. Padahal lebaran baru dilaksanakan esok hari.
“Yang Ti minta temenin lo ke gudang,” kata Medina sambil mencomot kue sagu keju produksi perusahaan Yang Kungnya sendiri yang ada di samping Ara. Rasanya tak begitu jauh dari sagu keju produksi rumahan.
“Kenapa nggak lo aja Kak?”
“Yang Ti mintanya lo, kok jadi gue.”
“Terus Yang Ti dimana?”
“Di ruang tengah.” Ara langsung bergerak menuju Yang Tinya sambil menghela napas panjang dengan perasaan malas. Gudang berada di lantai bawah dan ia harus menuruni tiga lantai. Rasanya malas sekali, tetapi urusan Yang Tinya, apapun rasa malasnya akan dia lawan.
Ara menuruni anak tangga secara perlahan. Tangan kirinya memegang ponsel yang terus saja mengeluarkan suara notifikasi. Ruang tengah benar-benar ramai, semuanya berkumpul menjadi satu di sana.
Pasang mata menangkap kehadiran Ara. Yang Kungnya yang pertama kali menyapanya. “Sini Ra, duduk.” Pak Alam menggerakkan tangannya memberi isyarat mengajak Ara duduk di sampingnya.
Ara berjalan membungkuk melewati saudara-saudaranya dengan memberikan senyum dan sedikit membungkukkan tubuhnya, sambil satu tangannya mengadah ke depan. Ia duduk di samping Yang Kungnya seraya mengambil satu buah nastar buatan Yang Tinya. Padahal Pak Alam sendiri banyak mendapat bingkisan hampers dari koleganya yang berisi nastar. Namun istrinya itu masih ingin aktif di dapur, katanya agar tubuhnya tetap terjaga.
“Mbak Ara sudah makan?” tanya Pak Alam seraya mengelus rambut sebahu cucu kesayangannya yang dibiarkan terurai.
Ara mengangguk pelan. “Udah Yang Kung.”
“Tadi kamu dimana? Rooftop?”
“Iya Yang Kung, lagi banyak bintang.” Ara mengambil satu kue kacang lalu melahapnya dengan perlahan.