Bertahun-bertahun telah ia sembunyikan ini semua dan hanya dengan satu malam, rahasia terbesarnya terbuka dengan cara yang tak terduga. Semua ini karena kebodohannya sendiri yang menyimpan barang sepenting itu hanya di dalam gudang, tempat yang mudah ditemui oleh banyak orang, khususnya istrinya. Kiranya semua akan aman, sebab wanita tercintanya jarang masuk ke dalam gudang. Apalagi istrinya mempunyai alergi debu yang membuat ia tak bisa berlama-lama di tempat kotor. Bodohnya lagi bisa-bisanya ia lupa bahwa ada barang itu di gudang dan menyesali semuanya. Seharusnya ia yang menemani istrinya di gudang.
Akhir-akhir ini memang daya ingatnya sangat menurun, maklum usianya sudah mencapai kepala delapan yang sudah masuk dalam kategori sangat renta.
Pak Alam menaikkan posisi kacamatanya yang melorot. Sudah hampir sepuluh menit dokter pribadinya mengecek keadaan Soerini, istrinya. Bohong rasanya jika ia tidak khawatir, mengingat kondisi Soerini beberapa bulan ini darah tingginya sering kumat. Untung saja dokter pribadinya mau direpotkan datang ke rumahnya di malam hari raya seperti ini.
Di ruang tengah semua menunggu kabar Yang Ti tercinta, terkecuali anak-anak yang dipindahkan ke ruang khusus di lantai dua yang berisikan banyak mainan, buku cerita dan televisi berukuran besar yang menampilkan beragam channel-channel kartun. Yang paling penting ruangan itu kedap suara. Takutnya suara bising mereka bermain malah menganggu Yang Ti sedang beristirahat.
Mata Ara tak berkutik dan tak bisa mengelak bila kini dirinya menjadi sosok yang paling disalahkan. Padahal ia hanya menuruti perintah Yang Tinya saja. Medina mengelus-elus pundak Ara untuk menenangkan adiknya yang terus saja mengeluarkan air mata. Ia tahu kini adiknya menjadi sasaran empuk saudara-saudaranya, khususnya Pakde Wista dan istrinya.
Takut-takut, Ara mendekati Yang Kungnya. Gadis itu menundukkan kepala, mengambil punggung tangan Yang Kungnya yang sudah berkeriput dan sedikit bau asap rokok. Bibirnya menyentuh tangan itu dengan rasa takut dan penyesalan terdalam. Ia merasa dirinya yang membuat Yang Tinya dalam situasi seperti ini. “Yang Kung, maafin Ara ya. Ara bener-bener nggak tahu.”
Pak Alam tersenyum melihat cucunya yang tiba-tiba meminta maaf padanya sambil mencium tangan kanannya. Malah terlihat lucu dan menggemaskan. “Kok Mbak Ara minta maaf? Emang Mbak Ara salah apa?”
“Ara seharusnya nggak buka paksa kotak itu, Yang Kung.”
“Tidak apa, itu bukan salah Mbak Ara.” Pak Alam menghapus air mata yang mengalir dengan cantik di pipi cucu kesayangannya.
Sedetik kemudian, Dokter Laksmi keluar dari kamar usai memperiksa Ibu Soerini. Pak Alam mendekati dokter berusia sekitar 40 tahunan itu dan siap menghujaninya dengan beragam pertanyaan yang sedari tadi menganggu pikirannya. Tetapi ia yakin Soerini akan baik-baik saja.
“Ibu Soerini tekanan darahnya cukup tinggi Pak, namun sudah saya kasih obat untuk peredanya. Tolong di jaga ibu ya Pak, untuk tidak beraktivitas dan berpikir berat terlebih dahulu. Takutnya itu bisa memacu darah tingginya kembali. Apalagi Ibu Soerini juga ada masalah dengan gulanya,” jelas Dokter Laksmi secara lengkap dan bisa mengenali keadaan tubuh pasien yang telah mempercayainya bertahun-tahun.
“Baik dokter, lalu apakah ibu sudah bisa ditemui?” kini Pakde Wista yang bertanya.
Dokter Laksmi mengangguk cepat, “Silakan, namun ibu sedang beristirahat sekarang.”
Pakde Wisto memberikan kode isyarat pada Pak Sugeng melalui gerakan mata. Adiknya menangkap dengan baik maksud kakaknya. “Baik Dok, untuk biaya administrasinya sama saya ya,” ucap dengan sigap Pak Sugeng.
“Masalah mudah itu Pak, seperti sama siapa saja,” sahut Dokter Laksmi.
Agar tidak menganggu Yang Ti sedang beristirahat, yang diperizinkan menemuinya ke dalam kamar hanya Pak Alam, Pakde Wista, Om Yudhis, Tante Darma dan menyusul Pak Sugeng setelah selesai mengurus administrasi Dokter Laksmi.
Ara sebenarnya ingin ikut melihat kondisi Yang Tinya, namun bundanya melarang. Medina diperintahkan oleh bundanya untuk mengajak Ara ke kamar saja. Ia sangat tahu juga bahwa yang lain sedang tidak suka dengan kehadiran Ara.
*****
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Anak dan cucunya sudah kembali ke kamarnya masing-masing. Pak Alam melihat wajah istrinya yang sedang tertidur pulas, kemudian memberikan satu kecupan di dahi istrinya. Walaupun usianya sudah senja, istrinya masih terlihat cantik dan sama seperti dahulu. Kecantikan yang tak akan pernah sirna.
Pak Alam membuka pintu balkon kamarnya, lalu mengambil duduk di kursi kayu dekatnya. Angin sepoi-sepoi membuat tubuhnya sedikit dingin. Ia merapatkan jaket di badannya.
Suara takbiran hingga detik ini masih terdengar jelas. Padahal malam semakin larut. Hal yang biasa saat malam lebaran. Pak Alam mendongakkan wajahnya ke langit menatap bintang-bintang. Benar kata cucu kesayangannya, bahwa malam ini bintang banyak sekali berkilauan. Entah sudah berapa lama ia melihat bintang sebanyak ini.
Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan rokok serta pemantiknya. Rasanya satu batang rokok kretek akan sedikit melegakan pusing di kepalanya. Di usianya yang sudah senja seperti ini, dokter menyarankan untuk berhenti merokok. Namun dirinya tak peduli akan hal itu. Sedari dulu, hanya sebatang rokok kretek yang bisa meringankan isi kepalanya jika sedang berkecamuk.
Terlebih dahulu ia menutup rapat pintu balkon agar asap rokoknya tidak masuk ke dalam kamar. Apalagi istrinya sangat benci asap rokok dan aroma vape. Pak Alam sejenak melihat bungkus rokoknya. Rokok keluaran perusahaan lokal yang menjadi favoritnya. Menurutnya, rasanya mengalahkan rokok-rokok terkenal lainnya yang menguasai pasar negeri.
Rokok tersebut ia masukkan ke dalam mulutnya dan dengan gerakan yang tenang, pria paruh baya itu menarik pemantik apinya. Ia memejamkan mata sebentar untuk merasakan asap rokok pertama yang masuk ke dalam tubuhnya. Pak Alam mengeluarkan asap putih dari mulutnya dan membiarkan asap itu melayang-layang di udara yang dingin malam ini.
Pikirannya kembali terhanyut dengan peristiwa yang terjadi malam ini. Akhirnya rasa ketakutan dan kegelisahan yang mendalam selama hidupnya bisa ia muntahkan seluruhnya. Sesungguhnya ia sudah menyiapkan diri jika sewaktu-waktu rahasia terbesarnya akan meledak seketika bagai bom waktu. Inilah akhirnya. Perang batin dalam dirinya telah usai.
Lagi-lagi ia membasuh lukanya sendiri.
Kumpulan kertas lusuh yang menjadi akar permasalahan malam ini, ia ambil di saku celananya yang cukup dalam. Rasanya seperti membuka luka lama ketika melihat dan membaca surat ini kembali. Pak Alam kembali menghisap rokok kreteknya sambil memakai kacamata bacanya. Satu hisapan, satu kerinduan yang kembali mencuat.