Ikat aku di tulang belikatmu
Biar ku rebah dan teduh
Sambil dengar ceritamu, ceritaku
Tentang bagaimana kutemukan
Rasi bintang di matamu
Agar aku tahu ke mana
Aku harus pulang
Bulan purnama berbentuk bulat berwarna orange bersinar begitu terang menyinari kota ini yang masih saja berisik, padahal waktu sudah mendekati dini hari. Matanya masih terpejam melamuni resah diri yang tak henti-hentinya pergi dari pikirannya. Ditemani lagu Sal Priadi yang berjudul Ikat Aku di Tulang Belikatmu, ia menikmati indahnya malam ini. Hawa dingin semakin menusuk, tangannya mengambil remote AC di meja berusaha mengurangi suhu kamarnya.
Kakinya berjalan mendekati jendela kamarnya. Dari unit apartemennya, matanya bisa melihat langsung rumah susun yang dijadikan sebagai lokasi pengabdian masyarakatnya. Ara yang memilih sendiri rumah susun itu, karena merasa tempatnya sangat cocok dan strategis. Tak hanya itu, Indah bertempat tinggal di rumah susun tersebut. Hal ini membuat proses perizinan akan lebih mudah dan cepat.
Walau sudah bersahabat sejak lama dengan Indah, tetapi Ara sangat jarang main ke rumah sahabatnya itu. Bisa dihitung jari. Indah sendiri yang menolaknya entah karena apa. Saat ia tahu, Yang Kungnya membelikannya satu unit apartemen di depan rumah susun tempat Indah tinggal, Ara begitu senang. Ia berencana akan sering berkunjung ke rumah sahabatnya itu. Namun tetap saja Indah melarang datang ke rumahnya. Bahkan sebelum memilih rusun itu, Ara sempat berselisih paham dengan Indah. Akhirnya dibantu dengan Putri dan Riza, barulah Indah melunak hatinya.
Selama menjalankan program ini, Ara akan tinggal di apartemen untuk sementara. Awalnya kedua orangtuanya tidak mengizinkan, terutama bundanya. Setelah bernegosiasi cukup panjang akhirnya Ara diperbolehkan untuk tinggal di apartemennya dengan syarat Jumat dan Sabtu ia harus menginap di rumah. Bukan suatu masalah baginya. Dari apartemen kerumahnya hanya menghabiskan waktu sekitar 30 sampai 40 menitan saja.
Dalam lubuk hati terdalam, Ara sebenarnya lebih suka tinggal di apartemen. Bukan hanya dirinya bisa mendapat ruang sendiri, namun aksesnya kemana-mana cukup dekat. Seperti Halte Transjakarta, stasiun, mal bahkan tempat favorit Ara yaitu toko buku yang jaraknya benar-benar begitu dekat. Untuk itulah, jika dirinya sedang malas menyetir ke kampus, ia bisa menggunakan transportasi lain. Ara sangat berterima kasih kepada Yang Kungnya yang sangat tepat memilihkan apartemen dengan letak yang begitu strategis hingga memudahkan dirinya kemana-mana.
Matanya menangkap poster program pengabdian masyarakat yang tengah ia jalani saat ini. Hatinya bertanya-tanya, apakah ia menjalankannya dengan sepenuh hati atau hanya sebagai pencarian atensi diri? Lalu gadis berambut sebahu itu merebahkan dirinya di kasur. Ia mengingat kembali tujuan awalnya yang ingin mendapatkan hadiah itu untuk bisa berangkat ke Prancis sendiri tanpa bantuan dari keluarganya. Seharusnya dirinya tidak salah, toh yang lainnya pun mengincar uang hadiah tersebut.
Lagi-lagi ia memikirkan sosoknya. Foto pria berkacamata itu masih terpajang jelas di samping tempat tidurnya. Ia ingin ke Prancis, bukan saja ingin mencari sosok Bagaskara, namun ingin bertemu dengannya, walaupun untuk yang terakhir kali.
*****
Padahal waktu masih menunjukkan jam sembilan pagi, namun entah mengapa matahari sudah seterik ini. Walaupun menurut penelitian, matahari jam segini sangat baik untuk kesehatan namun lama-lama kulitnya bisa terbakar jika panas teriknya seperti ini. Untung saja ia sudah memakai sunscreen sebelum datang ke tempat ini.
Ara menginjakkan kakinya di rumah susun yang akan menjadi rumah keduanya untuk beberapa bulan ini. Gadis itu membaca plang nama di depan pintu masuk “‘Rumah Susun Lentera Senja”. Baru ia melangkah di depan pintu masuk, aroma menyengat keluar dari got yang dipenuhi oleh sampah-sampah. Airnya berwarna hitam keruh sudah dipastikan bau menyengat itu berasal dari sana. Tak hanya itu, kabel kusut menjuntang di langit-langit, sungguh mengerikan jika terjadi kebakaran di rusun ini. Dalam hatinya bertanya, mengapa kabel-kabel ini tidak menjadi perhatian pengurus rusun? Bukannya dilakukan upaya preventif sebelum terjadi hal yang tak diinginkan.
Rumah susun itu terdiri dari delapan lantai dan jika dilihat dengan jelas, bangunan ini terlihat cukup tua dan sedikit mengerikan. Nuansa rumah susun ini mirip dengan rusun yang menjadi latar di salah satu film favorit Ara, Pengabdi Setan 2. Untung saja, bentuk rusun ini letter U mengarah ke timur. Saat matahari terbit, sinarnya akan menyinari rusun ini.
Aktivitas pagi hari di rumah susun yang keramiknya sudah hampir lepas ini sungguh terdengar begitu bising. Dari omelan khas ibu-ibu memarahi anaknya, suara tangisan balita ataupun anak kecil yang merengek meminta jajan pada orangtuanya, bapak-bapak yang menggeber motornya, pertekaran suami-istri hingga suara musik dangdut yang diputar dengan volume paling tinggi hingga membuat telinga gadis itu pengang.
“Kita tunggu di sini dulu,” ajak Indah pada teman-temannya untuk duduk di sebuah warung kopi yang berada tepat di sisi kanan dekat tangga. Seorang pria paruh baya berambut silver tengah asik menggoreng gorengan yang baunya cukup menggiurkan.
“Pak Pram, numpang bentar ya, lagi nunggu Pak Jusuf,” sapa Indah pada pria paruh baya itu yang masih sibuk menggoreng.
“Oh iya, silakan. Ngopi dulu Mbak, Mas,” balas Pak Pram, si pemiliki warung kopi itu sambil basa-basi menawari kopi seduh dengan ramah dan dibalas dengan seutas senyuman oleh mereka.
“Nanti kita dibantu siapa Ndah tadi kata lo?” tanya Riza sembari mengambil satu botol air mineral di kulkas warung, lalu memberikan uangnya pada Pak Pram.
“Pak Jusuf Kak, dia guru SD di daerah Menteng,” jawab Indah pada Riza.
“Kalian nggak usah panggil Kak dong, Riza aja! Jadi malu ketahuan mahasiswa tuanya.” Riza tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Tau nih, kayak gue aje, panggil Riza nggak usah pakai Kak segala,” respon Putri sambil memakan roti kacang yang baru ia beli di warung Pak Pram.
Indah memperhatikan wajah Ara yang sedari tadi datar tanpa ekspresi apapun. Pandangannya beberapa kali kosong seolah raganya di tempat ini, jiwanya berada di tempat lain. Segera ia mengambil satu botol teh hijau, minuman favorit Ara dan memberikannya pada sahabatnya itu. “Lo sakit? Diem aja dari tadi?” tanya gadis itu sambil membayar minuman yang ia beli pada Pak Pram.
“Ara baik-baik aja. Kurang tidur semalam ngerjain tugas,” bohong gadis itu.
Indah menyipitkan matanya sudah tahu bahwa sahabatnya ini tak berbicara secara jujur. “Lo mikirin soal manusia julid itu lagi pasti? Udah lah Ra, biarin aja itu dua manusia, ntar juga kena batunya.” Ara hanya memberikan respon seukir senyuman pada sahabatnya itu. Setelahnya ia meneguk sedikit teh hijaunya seperti tak ada gairah.
Seseorang masuk ke dalam area rusun dengan menggunakan motor kopling tua yang suaranya sungguh menyakitkan telinga. Mesin motornya seolah-olah dipaksa untuk melaju. Ditambah lagi motor tersebut mengeluarkan gumpalan asap tebal yang menambah komponen polusi di kota ini.