Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #9

#2 | Episode : Buktikan!!!

Janji serta rencana kehidupan berdua, mereka ukir sama-sama di tempat ini. Tempat pertama kalinya mereka berjumpa. Perjumpaan yang manis hingga sampai detik ini tak pernah terpisahkan. Di ujung tiang penyangga lantai delapan, mereka bisa melihat bulan yang bulat sempurna berwarna kemerahan. Super moon orang-orang bilang. Di tempat inilah, mereka kerap kali melempar sendu, senang dan duka satu sama lain. Ketenangan mereka rasakan di sini.

Wajahnya terus menatap ke bawah, kehilangan rasa percaya diri. Janji mengajaknya pergi liburan ke Dufan saja belum tercapai, ia diharuskan mengikrarkan janji baru lagi.

“Abang nggak yakin,” tutur Adil terdengar lirih. Cerita Annisa barusan sungguh mengganggu pikirannya. Lelaki itu hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Annisa mengangkat dagu pria itu, memberikan seutas semangat untuknya. “Abang mau nyerah sama hubungan ini?” Matanya mengharap jawaban yang pasti.

Adil menggeleng tegas. “Nggak Nisa. Tapi Abang takut.” Adil mencoba menggenggam tangan Annisa, tetapi ia urungkan. Ia ingin memperjuangkan, namun rasanya seperti hal yang mustahil.

“Takut apa? Adil yang Nisa kenal, nggak pernah takut dengan apapun. Abang inget nggak dulu pernah beraniin diri masuk gedung rumah sakit terbengkalai yang katanya angker banget, buat dapetin duit sepuluh juta dari acara uji nyali di TV?”

Adil tersenyum mengingat kejadian itu. Sudah lama sekali rasanya. Waktu itu ia mengikuti acara uji nyali di TV. Hadiahnya cukup besar untuk biaya rumah sakit almarhumah ibunya waktu itu. Tetapi itu dulu. Semangatnya seolah terhenti ketika ia turun ke liang lahat, mengadzani ibunya yang sudah pergi meninggalkannya. Rasa sesak yang masih bisa ia rasakan hingga kini.

“Abang harus mulai darimana Neng? Abang bingung.” Tubuh Adil menyender pada tiang penyangga lantai, kemudian mendudukkan tubuhnya di lantai. Annisa mengikuti Adil, duduk bersila di depannya. Yang dibutuhkan lelaki itu saat ini hanya motivasi agar kembali memiliki semangat hidup.

“Selama ini aku selalu kirimin lowongan dari beragam aplikasi, sudah Abang coba? Banyak teman-temanku yang nyangkut, bahkan yang hanya lulusan SMA dan nggak punya pengalaman.” Pria itu tak merespon ucapannya. “Kalau dia bisa kenapa Abang nggak bisa? Ayo dong Bang!” Annisa melanjutkan ucapannya. Tanpa jawaban dari Adil, Annisa dapat membaca pikiran Adil dari tatapan matanya yang kosong. Raut wajah gusarnya mengekspresikan rasa resah dari pria itu.

Lelaki itu tetap diam bergeming, tak ada hasrat untuk menjawab perkataan Annisa barusan. Bukannya memotivasi, malah menambah beban pikirannya. Gadis di depannya ini terus meracau mengeluarkan kalimat-kalimat penyemangat yang justru membuat kepalanya menjadi lebih pening. Ucapannya malah membuat dirinya semakin tak percaya diri. Dengan kasar ia memukul ubin rusun dan menumpahkan seluruh emosinya. Pukulannya terlalu kuat, hingga terasa sedikit getaran. “Neng, bisa diem dulu nggak!! Abang tuh juga lagi mikir!”

Annisa terkejut bukan main. Tangannya refleks menutup mulut. “Ya makanya, Neng selama ini bantu mikir juga, tapi Abang nggak pernah mau nurut!!” balasnya dengan suara gemetar, menahan emosi dan kekecewaan.

Adil memegangi tangannya yang nyeri usai memukul ubin lantai. Pukulannya terlalu kuat tetapi benaknya terasa lega, bisa mengeluarkan seluruh gejolak emosinya. “Abang tuh nggak sepinter Nisa. Tolong jangan paksa Abang! Abang juga punya cara sendiri,” ucapnya dengan suara yang terdengar lirih. Ia merosotkan bahunya di dinding, pertanda pertahanannya mulai runtuh. Ia tak bisa lagi mengatasi seluruh tekanan dalam pikiran.

Annisa bergerak menjauh, merasa kesal dengan lelaki di hadapannya ini yang terus menjambak rambut gondrongnya yang lepek itu. “Sekarang terserah Abang! Annisa nggak mau nyuruh-nyuruh lagi. Kalau dalam tiga minggu Abang nggak kasih kepastian-” Gadis itu menghentikan kalimatnya. Emosinya meradang seolah memang ia yang hanya berjuang dalam hubungan ini. “Neng bakal terima lamaran Kang Bahri.”

Annisa berbalik ingin menjauh dari Adil, sejauh-jauhnya yang ia bisa. Gadis itu menyeka air matanya yang mulai perlahan mengalir. Lelaki yang ia tangisi, masih diam membisu, entah sedang apa. Mungkin benar kata orangtuanya, Adil hanya mencari kesenangan saja dengannya. Tak ada terbesit keinginannya untuk menikahinya. Mungkin memang hubungan ini sudah cukup sampai di sini saja.

Adil masih tertunduk sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. Sudah berapa kali ia mencoba melepaskan kesedihannya. Tangisannya selalu tak berwujud air mata.

 

 

*****

Cukupkanlah

Ikatanmu

Relakanlah yang tak seharusnya untukmu

 

Potongan lagu berjudul Sulung yang dirilis oleh Kunto Aji menjadi salah satu lirik lagu favoritnya. Sangat relate dengan hidupnya yang selalu merelakan apapun yang ia pinta. Annisa mencetak lirik itu dan menempelnya di dinding.

Mungkin memang hubungannya dengan Adil memang harus ia cukupkan. Tindakan yang seharusnya ia lakukan sedari dulu. Berulang kali ia mencukupkan hubungan ini, tetapi perasaannya berkata lain. Lagi-lagi ia terjebak pada perasaan yang salah.

Jika dipikir kembali, wanita mana yang mau mencintai Adil. Pemalas, begadulan, tukang rusuh, tak punya masa depan, pengangguran, apapun itu yang melekat padanya. Justru mengapa selalu Adil pria yang selalu ia nantikan.

Dulu sahabat-sahabat SMA-nya selalu melarang dan memandang tidak suka hubungannya dengan Adil. Beribu alasan yang diberikan, tetap saja Annisa percaya Adil adalah sosok lelaki yang patut ia cintai dan banggakan. Bahkan Adil adalah alasan sahabat-sahabatnya kini menjauh darinya.

Umurnya terpaut empat tahun dengannya. Dua kali pria itu tidak naik kelas, membuatnya mereka terpaksa berada di satu jenjang pendidikan yang sama. Disitulah hubungan mereka mulai terjalin lebih intim dan dilabeli dengan status yang jelas.

Gadis itu tahu, Adil adalah orang yang baik. Ia bisa melihat dari cara merawat Ibunya yang sakit. Pria itu mengemban beban yang berat seusai Bapaknya meninggal karena kecelakaan tol yang menimpanya. Sehabis peristiwa itu, Ibunya menjadi sakit-sakitan dan Adil berjuang bagaimanapun caranya agar Ibunya bisa sembuh. Sekuat apapun manusia berusaha, nyatanya tak sejalan dengan takdir yang ada. Dua tahun setelah Bapaknya meninggal, ia harus dengan ikhlas menerima fakta, Ibunya telah tiada. Tinggallah dia menjadi sebatang kara, tak punya siapa-siapa lagi selain Annisa.

Adil berbeda walau semua menganggapnya tak sama.

 

*****

Hanya sarung bermotif batik inilah yang menemani malam panjangnya. Walau beraromakan apek sebab tak pernah dicuci, sarung hadiah ulang tahunnya yang ke-16 dari Ibu, selalu menghangatkan tubuhnya dan serasa ia masih berada disini, memeluknya dengan erat seperti waktu kecil dulu.

Tangannya memainkan pemantik api, hadiah dari kekasihnya dua bulan lalu. Sederhana tetapi ia suka dibanding diberikan kue ulang tahun yang justru ia sangat menghindarinya. Sedari dulu ia tak suka makanan yang manis-manis.

Mulutnya terasa asam, ingin menyebat semalam suntuk seperti biasanya. Laki-laki itu merogoh kantongnya lalu tersenyum mengingat ia tak punya uang sepersenpun. Boro-boro untuk membeli sebatang rokok, malam ini saja ia harus berpuasa. Jika perutnya tak bisa lagi menahan lapar, ia akan pergi ke kamar mandi umum dan mengisi botol air seliter penuh untuk dihabisinya. Tak peduli jika airnya berasal dari air keran, yang penting perutnya terisi dan rasa laparnya hilang.

Sungguh, ia sangat tak terima jika Annisa harus menikah dengan pria yang bernama Bahri itu. Membayangkan gadis itu bersanding, hidup selamanya dengan lelaki yang bukan dirinya sungguh menyakitkan. Dengan duda berkepala empat lagi.

Tak mungkin jika ia melepas wanita yang sudah membersamainya bertahun-tahun itu dengan lelaki lain. Mungkin memang selama ini dia yang terlalu santai dengan hidupnya.

Berubah. Itu yang hanya bisa ia lakukan sekarang untuk mencegah semua itu terjadi. Tetapi apa yang harus ia lakukan? “Lelaki bego,” batinnya merutuki diri sendiri.

 

*****

Banyak orang mengatakan, level tertinggi dalam mencinta itu mengikhlaskan. Proses kehidupanpun berkata begitu. Kelahiran-kematian, datang-pergi, adalah sebuah hal yang wajar. Mungkin mudah bagi yang mengatakan, tapi tidak bagi yang merasakan. Lima tahun waktu berjalan, ingatannya masih jelas memancarkan peristiwa terbesar yang membuat dirinya hancur seketika.

Lihat selengkapnya