Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #10

#3 | Episode : Buktikan!!!

Kenyataan tak pernah sejalan dengan harapan. Menunggu ternyata hal yang semu. Walau raga tak saling bertemu, tapi mata tetap menatapnya dari jauh. Waktu sudah berjalan dua minggu, Adil terlihat masih sama seperti yang dulu. Padahal yang Annisa butuhkan hanya sedikit perjuangan dari laki-laki itu.

Annisa menyisir halus rambut panjangnya. Mungkin memang jalannya ia harus menikah dengan Bahri. Lelaki yang tak pernah ia cintai. Berbicara soal Bahri, Annisa sebenarnya tak begitu mengenal pria itu. Kedua orangtuanya yang sangat dekat dengannya. Sewaktu ibunya masih jualan pecel di pasar, Bahri adalah pelanggan setia pecel Bu Ali dan tak pernah sekalipun absen membelinya. Mungkin itulah yang membuat mereka begitu dekat hingga sekarang. Bahkan katanya, Bahri beberapa kali meminjamkan uang ketika Bapaknya sedang kesulitan.

Annisa sendiri datang ke pesta pernikahan Bahri sembilan tahun yang lalu, saat lelaki itu belum sesukses sekarang. Setahunya pria itu memiliki toko kelontong yang semula kecil, kini menjadi besar layaknya sebuah agen. Bahkan ia membuka cabang di pasar. Sepertinya pria itu seorang yang pekerja keras. Jauh sekali dengan Adil.

Bu Ali membuka pelan pintu kamar Annisa. “Bahri sudah datang Nis,” kemudian ia berjalan, duduk di samping anaknya yang terlihat tidak antusias.

“Harus banget ya bu?” Annisa mengecilkan suaranya takut Bahri di ruang tamu mendengar. Rumahnya yang sempit, membuat sedikit saja ia berbicara akan terdengar ke seluruh penjuru.

“Sebagai bentuk pengenalan. Ibu dan Bapak sudah sepakat semalam. Kalau memang kamu nggak nyaman, kamu boleh menolak perjodohan ini. Bahripun berkata demikian, dia nggak mau memaksa kamu. Kami sadar, ternyata ini salah. Tapi kamu temui dulu ya Bahri dan anaknya, gak enak.”

Annisa hanya mengangguk tanpa ekspresi apa-apa di wajahnya. Akhirnya kedua orangtuanya sadar apa yang mereka lakukan salah. Tetapi demi menjaga nama baik keluarga, Annisa tetap menemui Bahri. Hari ini pria itu ingin mengajaknya jalan, entah kemana.

Bahri datang bersama anaknya yang baru berusia sekitar lima tahun. Wajahnya cantik, lucu dan menggemaskan. Apalagi dengan rambutnya yang dikuncir kepang kuda. Benar-benar ia tak tahan dengan keimutannya.

Aroma wangi khas anak kecil mencuat sampai ke hidung Annisa. Anak ini sangat bersih dan terawat dengan baik. Wajahnya sekilas mirip dengan Gempi, anak Gading Marten. Sepertinya Bahri sangat telaten mengurus anaknya.

Annisa berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi anak itu. “Hai. Nama aku Annisa. Mau permen cokelat nggak, aku punya banyak loh,” tawar Annisa pada anak itu yang masih mengumpat di kaki bapaknya.

Sabhira tersenyum mengangguk. “Mau Kak.” Lalu Annisa mengandeng anak Bahri ke kamarnya untuk mengambil stock permennya.

“Maaf Pak agak sedikit telat, tadi macet banget.” Bahri dengan sopan, mencium kedua tangan Pak Ali. Umur mereka sebenarnya terpaut cukup jauh, sepuluh atau dua belas tahun kalau tidak salah. Annisa tidak tahu pasti.

Dari dalam kamar, gadis itu mendengarkan pembicaraan Bapaknya dengan Bahri. Keduanya benar-benar akrab dan sangat dekat. Pantas saja Bapaknya ingin memiliki menantu layaknya Bahri. Sepertinya mereka sudah sangat mengenal lebih jauh satu sama lain.

Bahri datang menjemput Annisa menggunakan mobil Avanza hitam miliknya yang ia parkir di area rusun. Bapak dan Ibunya berniat mengantar mereka hingga ke parkiran, namun Annisa larang. Kedua orangtuanya manut dengan permintaannya.

Warga rusun berkali-kali mengucak mata, memastikan siapa lelaki yang berada di samping Annisa. Yang mereka tahu, gadis itu berpacaran dengan Adil sudah sangat lama dan seolah keduanya tak akan pernah berpisah. Timbul perasaan tidak nyaman menjadi bahan tontonan warga, Annisa menggandeng erat Sabhira sambil memberikan candaan untuknya. Tanpa lama, keduanya sudah begitu akrab.

Tak sengaja, mata Annisa menangkap sosok Adil yang berdiri di samping kamar mandi umum rusun membawa botol plastik ukuran seliter, memandangi mereka dari kejauhan. Gadis itu pura-pura tak peduli, terus mendengarkan ocehan dari Sabhira yang begitu nyaman di dekatnya.

Adil menampakkan wajah emosi dan kesalnya saat melihat Annisa tertawa dan tersenyum namun dengan orang yang bukan dirinya. Entah kapan terakhir kali melihat Annisa bisa tertawa riang seperti itu. Berarti selama ini apakah Annisa hanya pura-pura bahagia menjalin kasih dengannya? Yang jelas Adil sangat terbakar cemburu, tangannya mengepal begitu keras.

Bahri membukakan pintu tengah untuknya dan Sabhira. Sebenarnya terlihat tidak etis, ia duduk di belakang. “Kamu di tengah tidak apa-apa ya, sama Sabhira?” ucap Bahri terlihat canggung.

Annisa terkejut, tangannya ditarik langsung oleh Sabhira yang mengajak duduk bersama di tengah. “Ayo Kak, kita sambil gambar di dalam.”

“Yuk, kita mau gambar apa nih?” jawab Annisa sambil memberikan senyum pada Bahri yang masih terlihat malu-malu.

Mesin mobil dinyalakan. Annisa terkejut mendengar suara musik Doel Sumbang dengan volume kencang yang langsung menyambutnya. Ia sungguh tak bisa menyembunyikan ekspresi kagetnya. Bahri sedikit tertawa dan meminta maaf. “Maaf ya Nisa. Ini biar Akang kecilin.” Tangan Bahri memutar roda volume ke arah kiri untuk merendahkan volume suaranya.

“Tidak masalah Kang.”

“Mau request lagu? Biar Akang setelin.”

Annisa tersenyum menolak. “Tidak usah Kang. Lagu Doel Sumbang mah udah jadi makanan sehari-hari di rumah.” Gadis itu mengingat tetangga sebelahnya yang setiap pagi memasang musik kencang-kencang. Annisa sampai hafal lirik lagunya saking berulang kalinya diputar seperti tak ada rasa bosan-lagunya itu-itu melulu.

“Pak Ali suka denger lagu Doel Sumbang?”

“Nggak sih Kang. Nyetelnya lagu-lagu Uje atau Haddad Alwi mulu Bapak mah,” jawab Annisa sambil membantu Sabhira memilih warna untuk buku mewarnainya

“Kok jadi makanan sehari-hari?”

“Jadi tetangga sebelahku itu, setiap pagi nyetel musik kenceng banget. Tiap hari dengerinnya lagu-lagu tipe kayak Doel Sumbang gini.”

“Wah menarik banget.”

“Menarik apaan Kang. Aku sampai pusing dengernya tiap hari. Alarm bangunku bukan suara teriakan ibu, tapi lagu dangdut tetanggaku itu.” Seketika tawa meledak di mulut Bahri, kemudian disusul Annisa yang tertawa begitu lepas.

“Lagian, kan kesel ya Kang.”

“Ya udah, lagunya Akang ganti aja ya.” Sambil fokus menyetir, Bahri membuka playlist lagu milik Sabhira. Sudah pasti isinya musik-musik Kpop. Semoga saja selera gadis itu sama dengan anaknya. Bahri memutar lagu Blackpink terbaru yang berjudul The Girls. Sabhira sangat suka dengan MV-nya yang menggunakan animasi.

“Kok jadi lagu Blackpink Kang?” kepala Annisa mengangguk-ngangguk pelan menikmati alunan musik Blackpink yang sedikit ada khas timur tengah.

“Blackpink kesukaan Sabhira. Cuma itu playlist yang berbeda di Youtube saya.”

Tawa Annisa kembali meledak. “Ya Allah random banget sih Kang.” Sabhira menutup buku menggambarnya, lalu menyanyi dengan lirik yang tak begitu jelas. Jangankan Sabhira, Annisa saja yang juga sebenarnya suka dengan Kpop, tidak hafal lirik satupun. Jika ingin menyanyi, pasti jadinya meracau tidak jelas, yang penting sesuai dengan notasi lagunya.

Baru awal, entah mengapa Annisa merasakan kebahagiaan. Ia tidak ingat, kapan terakhir kali, bisa tertawa lepas seperti ini.

Matanya berulang kali mencoba melihat wajah Bahri di kaca spion dalam. Begitupula Bahri yang ternyata juga sesekali melihatnya. Saat kedua mata mereka beradu tatap di spion, keduanya menjadi salah tingkah dan merasa malu. Terutama Bahri yang wajahnya sampai memerah. Annisa menahan tawa melihat ekspresi pria itu.

Lihat selengkapnya