Menjelang matahari terbenam, Bahri mengajak Annisa dan Sabhira untuk makan di restoran seafood dengan view pantai yang menyejukkan mata. Melihat harga menu-menu yang disajikan dengan harga fantastis, Annisa menjadi tak enak dengan lelaki itu. Bahri sudah mengeluarkan uang banyak hari ini, dari tiket masuk, kaus yang sekarang ini ia gunakan, hingga makan di restoran ini.
“Kang, kita pindah restoran aja yuk,” pinta Annisa berbisik pelan di telinga Bahri.
“Nisa nggak suka?”
Annisa melemparkan pandangan pada buku menu di meja kasir. Bahri menangkap apa yang dimaksud gadis itu. “Nggak apa Sa. Sekali-kali saya juga mau menyenangkan Sabhira. Dia suka banget olahan makanan laut.”
Terpaksa Annisa menuruti kemauan Bahri. Sengaja Annisa memilih menu paling murah di restoran ini, padahal Bahri membebaskan dirinya untuk memilih menu apa saja yang ia suka.
Apakah kamu benar-benar sayang aku?
Tentu saja, ku benar sayang kamu
Buktikanlah, buktikan, coba buktikan padaku
Hati ini, cinta ini hanya butuh, hanya ingin dirimu
Dirimu selamanya
Buktikanlah, buktikan, coba buktikan kepadaku
Penyanyi live music dengan syahdu, menyanyikan lagu Dewi Sandra jaman dulu yang berjudul Buktikan. Baik penyanyi laki-laki atau perempuannya, membawakan lagu ini secara sederhana dengan acoustic gitar dan piano. Berbeda sekali dengan versi original penyanyi aslinya yang penuh dengan teknikal.
Seluruh hidangan yang Bahri pesan, disajikan dengan rapih dan cepat oleh waitress berseragam dominasi warna hijau, sesuai dengan konsep restoran ini. Bahri memesan banyak sekali makanan dari udang bakar madu pedas, udang goreng tempura, capcay, ikan bakar bandar serta ikan kerapu pepes.
“Ayo, sebelum makan baca doa dulu Sabhira,” kata Bahri mengingatkan anaknya yang mulai mencomot udang goreng kesukaannya.
“Oke Yah.” Anak itu menurut, mengatupkan kedua tangannya, berdoa dengan terbata-bata, berusaha mengingat doa sebelum makan yang sudah diajarkan ayahnya.
“Cobain deh ikan kerapu pepes ini. Enak banget,” ujar Bahri menawarkan ikan pepesnya yang baru sedikit disentuh. Annisa menjilat bibirnya, tergiur dengan pepes itu. Baru sebentar masuk ke dalam mulut, rasanya benar-benar meresap di lidah. Bumbu autentiknya benar-benar menyerap kedalam dagingnya.
“Enak banget ini Kang,” Annisa mengambil lagi daging ikan tersebut beserta kuahnya.
“Habiskan saja ya.” Annisa tak malu-malu memberikan jempolnya.
“Sabhira suka banget udang sama ikan ya Kang?” tanya Annisa sambil mengunyah makanannya dengan pelan.
“Iya. Sabhira itu alergi sama daging ayam. Jadinya kalau nggak makan daging sapi ya ikan atau udang. Nggak ada pilihan lain.”
“Susah juga ya Kang kalau gitu.”
“Betul sekali. Cari makanan olahan ikan yang dia suka susah banget. Akhirnya, Akang suka stok ikan yang udah dibumbuin di kulkas, nanti kalau dia mau makan tinggal goreng.”
Annisa mengaduk-ngaduk makanannya, ragu ingin bertanya sesuatu pada Bahri yang sifatnya pribadi. Lebih tepatnya ke penasaran. “Annisa mau nanya boleh nggak Kang?”
“Tanya apa?”
“Awal mula Akang bangun bisnis gimana sih, kok bisa sampai segede itu sekarang?”
Bahri menyelesaikan kunyahan di mulutnya terlebih dahulu, baru menjawab pertanyaan yang diajukan oleh gadis itu. “Dulu, Akang kerja sebagai cleaning service di mal gitu. Terus malnya mendapat penurunan drastis pengunjung karena kalah saing dengan mal di depannya. Untuk menyelamatkan keuangan mal, Akang kena PHK. Uang pesangonnya buat buka toko kelontong kecil, mengingat di wilayah rumah Akang masih sedikit warung.”
“Maaf Kang, itu udah ketemu sama almarhum Ibu Ella?” Annisa menunduk takut merasa salah bertanya.
“Sudah, tapi belum Akang nikahi. Setelah keuangan Akang agak stabil, baru kami menikah. Bahkan sehabis menikah kami menunda punya anak terlebih dahulu.” Dalam hati Annisa berpikir, ternyata Bahri memiliki perancangan yang begitu matang. Ia tak ingin asal mengambil keputusan.
“Entah kita benar-benar akan serius kedepannya atau tidak, mungkin kamu harus dengar cerita ini terlebih dahulu.” Bahri memasang ekspresi serius. Ia tak melanjutkan makanannya. Setelah meneguk segelas air mineral, Bahri siap bercerita entah apa yang ingin ia ceritakan.
“Akang memulai bisnis toko kelontong dari usia 27 tahun. Awal-awal kena PHK tuh, rasanya berat banget, ditambah lagi waktu itu Akang kerja sambil kuliah.” Gadis itu tertegun saat mengetahui Bahri ternyata sempat berkuliah. Ia hanya memberikan ekspresi terkejut, tak ingin memotong cerita pria itu.
“Akang kuliah umur 25 karena sebelumnya fokus merawat Aki yang sakit-sakitan dan butuh biaya berobat. Dari kecil, Akang yatim-piatu dan dibesarkan oleh Aki dan Nini. Saat mereka berdua sudah nggak ada, barulah Akang fokus ngejar apa yang belum tercapai dihidup Akang. Salah satunya berkuliah.” Wajah Bahri terlihat gundah ketika membahas Aki dan Nini. Ia meneguk air mineralnya sebentar, lalu kembali bercerita.
“Balik ke topik. Akhirnya Akang nekat buat toko kelontong dengan dana seadanya sambil kuliah. Cuma ini yang bisa Akang lakuin. Cari kerjaan umur segitu sudah sulit setengah mati. Kalau Nisa mau tahu, rasanya berat banget. Kadang Akang cuma makan sehari sekali, pakai kerupuk sama kecap sachet saja.”
Bahri menatap makanan-makanan mahal yang ia pesan. “Alhamdulillah, Allah sangat baik sama Akang, sekarang mau makan apa saja bisa, seperti makanan ini.”
“Lulus kuliah kalau nggak salah umur 30 tahun. Intinya Akang telat banget, karena sempet cuti dulu dua semester karena kehalang biaya. Rasanya malu setua itu baru lulus sarjana, tapi semua Akang syukuri. Ini impian terbesar almarhum Aki sama Nini, pengen cucu satu-satunya jadi sarjana walau harus mati-matian dulu.”
“Akang kuliah ambil jurusan Manajemen Bisnis. Setelah lulus, Akang dapet relasi dari dosen pembimbing buat dapetin produk langsung dari produsen dengan harga yang lebih murah. Nggak itu aja, Akang gabung komunitas pengusaha toko kelontong melalui Facebook dan belajar dari sana biar toko Akang berkembang.”
“Tiba-tiba Akang kepikiran, kenapa nggak sekalian saja bikin agen di pasar, tetapi kan butuh dana yang cukup besar. Akhirnya Akang nekat ajuin program kredit usaha di bank buat buka agen. Itu benar-benar Akang takut banget, kalau misal nggak balik modal. Ditambah lagi, orangtua almarhum istri Akang, minta secepatnya memberikan kejelasan. Akhirnya di usia 30 sambil menjalankan bisnis baru, Akang menikah dengan Ella dengan mengambil sedikit dana pinjaman itu. Makanya pernikahan kami digelar secara sederhana.”