Tersirat dalam angan untuk tak pernah,
terjadi pertemuan manis itu
Kini rasaku pun berucap
Jelas aku tak ingin lagi melihatmu
Kini semua terlalu pekat
Untuk dikenang dalam angan
Pekat. Semua terasa pekat. Seperti lagu yang sedang dinyanyikan oleh salah satu penghuni rusun di lantai empat, siapa lagi jika bukan Indah. Suaranya menyanyikan lagu Pekat oleh Yura Yunita dan Reza Rahadian terdengar begitu syahdu. Mahasiswa jurusan musik itu menggunakan teknik husky dalam bernyanyi.
Iringan piano yang ia mainkan juga tak kalah dahsyat menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarnya. Melodi yang ia mainkan mengalir seperti tanpa hambatan, menjadi candu bagi siapapun yang mendengarkan. Tak urung warga sini tiada yang merasa terganggu ketika ia sedang mengerjakan tugas kuliahnya.
Kakinya bergerak perlahan menaiki anak tangga rusun yang begitu curam dan sedikit licin. Ditambah lagi keramiknya mulai retak. Jika salah menginjak keramik yang terlepas, hal paling buruknya akan terjatuh.
Tangan kanannya menenteng tas goodie bag berlogo Gramedia yang berisikan satu paket trilogi novel Hujan Bulan Juni, buku versi sajak Hujan Bulan Juni dan beberapa buku karya Sapardi Djoko Damono lainnya. Bahri yang memberikannya saat ingin pulang dari rumahnya tadi. Tak terbayangkan perasaan terkejutnya tadi. Tidak ada ekspetasi Bahri akan memberikannya ini semua. Padahal baru saja tadi ia memasukkan buku trilogi Hujan Bulan Juni ke keranjang marketplace-nya. Annisa mengira-ngira berapa harga seluruh buku yang ia berikan padanya. Tidak dengan harga yang murah pastinya. Sesekali pandangannya melirik buku di dalamnya, tak sabar ingin membacanya.
Mata Annisa berkedip, memastikan pria yang sedang duduk di bawah dekat tangga penghubung lantai empat dan lima adalah Adil. Wajahnya terlihat sayu seperti orang yang kurang tidur. Pertahanan dirinya masih ia jaga. Annisa memilih melintas begitu saja, pura-pura tak melihatnya.
“Annisa,” sapanya yang membuat langkah gadis itu tercekat.
“Kamu nggak capek kita begini terus?” Annisa masih membalik badan, pura-pura tak melihatnya. Mood-nya yang baik tiba-tiba hancur seketika karena panggilannya.
Annisa memutar tubuh, menghadap laki-laki itu. Semua harus ia selesaikan sekarang. “Kita perlu bicara.”
“Ke tempat biasa? Lantai delapan?” gadis itu menggeleng menolak. “Annisa capek naik ke lantai atas. Di ujung sana saja.” tunjuk Annisa di bagian paling pojok lantai empat.
Adil mengekori Annisa yang berjalan begitu cepat. Jarak mereka agak sedikit berjauhan, tepatnya Annisa yang tak ingin terlalu dekat. Beberapa kali Adil ingin sejajarkan langkahnya dengan wanita itu, tetapi ia malah makin mempercepat laju kakinya.
“Abang sekarang ngojek Neng. Sudah ada penghasilan dikit-dikit.” pria itu mengeluarkan isi dompetnya yang berisi uang seratus ribu hasil mengojek hari pertamanya. Ia juga memendam lukanya tadi pagi. Di depan wanita pujaannya, ia harus terlihat tenang seperti biasanya. Anggap saja tidak terjadi apa-apa.
Annisa ingin melemparkan senyumnya, tetapi ia tahan.
“Rencananya Abang mau nabung buat beli motor baru, biar bisa ngojek online. Terus kita nikah deh. Abang rasanya bangga banget bisa ngehasilin duit dengan cara seperti ini. Kenapa nggak dari dulu.”
Tepat. Mengapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang saat ia sudah terlanjur kecewa dengan lelaki itu.