Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #14

#7 | Episode : Buktikan!!!

Tersirat dalam angan untuk tak pernah,

terjadi pertemuan manis itu

Kini rasaku pun berucap

Jelas aku tak ingin lagi melihatmu

Kini semua terlalu pekat

Untuk dikenang dalam angan

Pekat. Semua terasa pekat. Seperti lagu yang sedang dinyanyikan oleh salah satu penghuni rusun di lantai empat, siapa lagi jika bukan Indah. Suaranya menyanyikan lagu Pekat oleh Yura Yunita dan Reza Rahadian terdengar begitu syahdu. Mahasiswa jurusan musik itu menggunakan teknik husky dalam bernyanyi.

Iringan piano yang ia mainkan juga tak kalah dahsyat menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarnya. Melodi yang ia mainkan mengalir seperti tanpa hambatan, menjadi candu bagi siapapun yang mendengarkan. Tak urung warga sini tiada yang merasa terganggu ketika ia sedang mengerjakan tugas kuliahnya.

Kakinya bergerak perlahan menaiki anak tangga rusun yang begitu curam dan sedikit licin. Ditambah lagi keramiknya mulai retak. Jika salah menginjak keramik yang terlepas, hal paling buruknya akan terjatuh.

Tangan kanannya menenteng tas goodie bag berlogo Gramedia yang berisikan satu paket trilogi novel Hujan Bulan Juni, buku versi sajak Hujan Bulan Juni dan beberapa buku karya Sapardi Djoko Damono lainnya. Bahri yang memberikannya saat ingin pulang dari rumahnya tadi. Tak terbayangkan perasaan terkejutnya tadi. Tidak ada ekspetasi Bahri akan memberikannya ini semua. Padahal baru saja tadi ia memasukkan buku trilogi Hujan Bulan Juni ke keranjang marketplace-nya. Annisa mengira-ngira berapa harga seluruh buku yang ia berikan padanya. Tidak dengan harga yang murah pastinya. Sesekali pandangannya melirik buku di dalamnya, tak sabar ingin membacanya.

Mata Annisa berkedip, memastikan pria yang sedang duduk di bawah dekat tangga penghubung lantai empat dan lima adalah Adil. Wajahnya terlihat sayu seperti orang yang kurang tidur. Pertahanan dirinya masih ia jaga. Annisa memilih melintas begitu saja, pura-pura tak melihatnya.

“Annisa,” sapanya yang membuat langkah gadis itu tercekat.

“Kamu nggak capek kita begini terus?” Annisa masih membalik badan, pura-pura tak melihatnya. Mood-nya yang baik tiba-tiba hancur seketika karena panggilannya.

Annisa memutar tubuh, menghadap laki-laki itu. Semua harus ia selesaikan sekarang. “Kita perlu bicara.”

“Ke tempat biasa? Lantai delapan?” gadis itu menggeleng menolak. “Annisa capek naik ke lantai atas. Di ujung sana saja.” tunjuk Annisa di bagian paling pojok lantai empat.

Adil mengekori Annisa yang berjalan begitu cepat. Jarak mereka agak sedikit berjauhan, tepatnya Annisa yang tak ingin terlalu dekat. Beberapa kali Adil ingin sejajarkan langkahnya dengan wanita itu, tetapi ia malah makin mempercepat laju kakinya.

“Abang sekarang ngojek Neng. Sudah ada penghasilan dikit-dikit.” pria itu mengeluarkan isi dompetnya yang berisi uang seratus ribu hasil mengojek hari pertamanya. Ia juga memendam lukanya tadi pagi. Di depan wanita pujaannya, ia harus terlihat tenang seperti biasanya. Anggap saja tidak terjadi apa-apa.

Annisa ingin melemparkan senyumnya, tetapi ia tahan.

“Rencananya Abang mau nabung buat beli motor baru, biar bisa ngojek online. Terus kita nikah deh. Abang rasanya bangga banget bisa ngehasilin duit dengan cara seperti ini. Kenapa nggak dari dulu.”

Tepat. Mengapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang saat ia sudah terlanjur kecewa dengan lelaki itu.

Pandangan Annisa menatap lurus, melihat langit yang sebentar lagi akan gelap dan adzan Magrib sepertinya segera berkumandang. Ia tak merespon sama sekali ucapan Adil yang terus saja bercerita tentang pengalamannya mengojek hari pertama.

“Kamu nggak kerja hari ini Neng? Mulai besok Abang antar jemput lagi ya.” Hanya satu gelengan yang mencuat dari tubuh gadis itu.

“Kenapa nggak kerja?”

“Aku habis main ke rumah Kang Bahri.”

“Oh…” lirih Adil. Wanita pujaannya selalu terbuka kepadanya. Ternyata ia berkata jujur, tak ada yang ditutup-tutupi.

“Bang, sebelumnya Annisa mau minta maaf.”

“Minta maaf untuk apa Neng?”

Perlahan, Annisa menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. Terlihat sangat cantik cincin itu di tangannya. Adil menunjukkan ekspresi bingung, tak paham apa maksud dari permintaan maaf gadis itu. Sedetik kemudian, Adil baru paham. Wajahnya menunjukkan rasa tak suka.

“Annisa memilih untuk menikah dengan Kang Bahri. Maaf jika terkesan Neng ingkarin janji, harapan serta impian kita.”

“Kenapa Neng? Kenapa diterima? Abang udah mulai berusaha berubah loh. Kamu dipaksa Bapak dan Ibu? Ayo kita sekarang ke rumahmu, Abang ngomong secara laki-laki.”

“Telat bang!! Untuk apa!!” suara gadis itu meninggi. Adil sangat terkejut. “Seharusnya Abang dari dulu sudah ngelakuin itu.”

“Jangan bilang kamu sudah cinta sama duda itu?”

“Sebut namanya! Dia punya nama!”

“Apapun itu, terserah. Jawab pertanyaan abang, kamu sudah cinta sama dia?”

“Iya. Annisa sudah mencintai Kang Bahri.”

“Neng ngarepin apa sih dari duda kayak dia? Gimana kalau Neng cuma dijadiin baby sitter anaknya doang? Sadar Neng, kamu itu Cuma dijadiin pelarian doang.”

Bibir Annisa bergetar. Ia mencoba mengulangi ucapan Bahri kepadanya tadi. “Bahri punya masa lalu sama mendiang istrinya, begitupun aku…” Annisa menjeda kalimatnya. “Punya masa lalu sama kamu.”

Tak bisa terbayangkan bagaimana perasaan Adil saat ini. Emosinya memuncak, tangannya mengepal keras kemudian memukul tembok rusun yang kemudian rontokan temboknya beriringan jatuh ke lantai. Sekilas ia melihat dengan jelas, goodie bag berlogo gramedia di tangan Annisa. Sejak kapan dia suka membaca? Selama menjalani hidup bersama, gadis itu paling tidak suka membaca. Bahkan tugas Bahasa Indonesia Annisa, membuat resensi novel, Adil yang membuatkannya.

Goodie bag itu ditarik secara paksa oleh Adil. “Ini dari dia? Murahan banget lo ya, bisa disogok sama buku kayak ginian.” Sejurus kemudian Adil melempar goodie bag itu ke bawah. Untung saja tidak ada orang yang mengenai jatuhan buku-buku tebal di dalamnya.

Plakk…

Satu tamparan keras mengenai pipi tirus Adil. Tak menyangka wanita pujaannya ini bisa melakukan seperti itu kepadanya. “JANGAN PERNAH TEMUIN GUE LAGI!!!” Annisa berlari ke bawah, mengambil bingkisan yang tadi diberikan oleh Bahri. Dari raut wajahnya, gadis itu menunjukkan kepanikan mendalam, takut keburu ada warga rusun lain yang mengambil buku-buku kesayangannya itu.

Hampa. Kini Adil tinggal seorang diri. Lengannya masih memegangi pipinya yang memerah berkat tamparan keras dari wanita paling tersayangnya. Mata gadis itu berkaca-kaca, memunguti buku-buku entah apa yang sudah sedikit penyok karena ia lempar tadi. Sungguh ia tak mengerti mengapa dirinya bisa sekasar ini. Perasaan menyesal mulai merasuki rongga hati Adil yang mulai membeku. Ini pertama kalinya ia membuat Annisa menangis seperti ini. Tamparan darinya terasa belum cukup untuk membayar apa yang telah ia lakukan. Benar-benar amarah telah menyelimuti tubuhnya yang rapuh.

Lihat selengkapnya