Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #16

#2 | Episode : Wanita Pesona Jingga

Di sinilah semua beradu padu menjadi satu. Di tengah gemerlapnya kota yang selalu sibuk seperti tak pernah beristirahat, mereka sejenak melepas lelah di tempat ini, setelah seharian mengadu nasib di kota yang sudah terlalu ramai kebanyakan penduduk.

Mereka menyebutnya mal. Namun jika kita lihat lebih dekat lagi, ini bukan seratus persen mal. Jauh dari itu. Gedung dengan cat putih yang mulai pudar itu, terletak tersembunyi di pinggiran kota, di apit oleh pemukiman padat penduduk. Sangat aneh bisa ada sebuah mal di tengah-tengah pemukiman, tetapi inilah faktanya.

Mal itu layaknya pusat perbelanjaan umumnya yang terdiri dari food court, supermarket dan beberapa toko pakaian dengan koleksi minim. Orang normal pasti akan malas berkunjung ke tempat ini karena isinya yang benar-benar tidak menarik.

Di samping kiri dan kanan mal tersebut, juga terdapat hotel kecil yang tidak jelas apa fungsinya. Apalagi penduduk di sana rata-rata berasal dari golongan ekonomi ke bawah. Jangankan untuk menginap di hotel, untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah saja sudah kelimpungan. Hanya orang-orang tertentu yang paham apa fungsi hotel tersebut.

Jika menengok dari luar, tentu orang-orang akan menganggap mal ini hanya terdiri dari dua lantai saja. Anggapan mereka salah. Di ujung lantai dua, terdapat sebuah pintu berwarna merah yang menghubungkan ke lantai tiga mal ini. Disitulah para wanita penghibur dan lelaki-lelaki gigolo menjajakan diri dan mengais rezeki. Inilah tempat pulang mereka, sekumpulan lelaki bejat yang membutuhkan ruang pelampiasan nafsu tak terkira mereka ataupun bosan dengan pasangannya di rumah.

Bukanlah suatu pemandangan yang asing, melihat pria-pria bersetelan parlente kharismatik, dengan luwes berjoget secara liar dengan wanita-wanita bookingan­-nya. Di sini, mereka membuka topengnya. Di rumah seolah suami normal yang sayang keluarga, di tempat ini melakukan check-in dengan para gigolo, seperti melepaskan beban sandiwara hidup.

Jangan pernah khawatir mengenai identitas mereka. Dapat dipastikan semua privasi tamu akan terjaga dengan baik. Pemilik bisnis prostitusi ini, memberikan peraturan bagi setiap tamu diwajibkan memakai topeng dan nama samaran, guna melindungi privasi tamu itu sendiri agar tidak meninggalkan jejak. Untuk itulah bisnis prostitusi ini sangat ramai karena privasi para tamu akan terjaga.

Wanita Pesona Jingga sedang menari secara skeptis, menimbulkan gairah dari lelaki yang menatapnya, baik muda ataupun yang tua. Beberapa mencoba menyentuhnya, bersedia membayar mahal untuk check-in selama semalam penuh. Tetapi bukan itu yang ia tunggu. Ia menantikan sosok pria bermata tajam yang dikenal sebagai Haji Mansyur. Jelas saja itu hanyalah nama samaran, agar keberadaannya tak menimbulkan jejak sama sekali.

Aroma parfum lelaki itu yang berwangikan khas kayu cendana, tercium jelas di hidung mancung wanita itu. Ia menolehkan kepalanya ke kanan, melihat Haji Mansyur sedang melambai-lambaikan tangan ke arahnya, sambil menaikkan posisi topeng bentuk harimaunya yang melorot. Wanita Pesona Jingga tersenyum, menghampiri Haji Mansyur yang sudah menyiapkan satu gelas wine untuknya.

 “I miss you so much. I haven’t been able to stop thinking about you since we last met a week ago.”

“Aku juga,” jawab wanita itu, memahami ucapan Haji Mansyur walau menggunakan bahasa asing.

Saat awal bekerja di sini, Mami Dewi memaksanya untuk bisa mengerti Bahasa Inggris walau sedikit-sedikit, sebab beberapa tamunya pasti akan ada yang berasal dari warga negara asing atau turis yang sedang berkunjung ke kota ini. Wanita itu hanya dapat mengerti, namun tak bisa mengucapkan balik.

 

*****

Haji Mansyur membiarkan asap rokoknya yang berwangikan anggur, melayang-layang dengan bebas di kamar hotel bintang lima yang ia sudah ­booking melalui asistennya dua jam yang lalu. Begitupula Wanita Pesona Jingga, dengan asik menikmati rokok kretek milik pria itu yang rasanya pas sesuai dengan seleranya.

Lelaki itu membawa Wanita Pesona Jingga, ke sebuah hotel di pusat kota. Yang penting jauh dari tempat awal mula pertemuan mereka. Malam ini mereka akan menghabiskan satu malam berdua, tanpa sekat, tanpa batas, berpadu menjadi satu tanpa mengingat sedikitpun apa yang mereka lakukan merupakan sebuah dosa besar, dalam ajaran agama yang mereka anut.

“Kau sangat terlihat lelah Haji Mansyur,” ucap wanita pesona jingga dengan nada merayu sambil mengecup pipi pria itu yang menggembung mengeluarkan asap rokok.

“Stop calling me Haji Mansyur. Aku benci nama itu.”

Abel tertawa melihat raut wajah kesal pria yang bernama asli Abbas Basyiruddin itu. Padahal ia sendiri yang menuliskan nama anonim Haji Mansyur saat pertama kali datang ke tempatnya bekerja.

Abbas melihat lebam di wajah Abel yang cukup mengerikan. Mengapa ia baru sadar akan hal itu? “Kamu semalam sama siapa? Jujur sama aku. Biar ku hajar dia.”

“Emang berani?” tantang Abel yang tahu lelaki ini tak akan berani berurusan dengan siapapun yang berkaitan dengannya.

Abbas merupakan putra sulung dari pengusaha ternama di negeri ini. Bisa rusak reputasinya jika ia mencampuri urusan Abel dengan pelanggan-pelanggannya.

“Kamu baiknya ke dokter, sayang. Takut ada infeksi atau apa.” Abel meresponnya dengan satu gelengan tegas, menolak permintaan Abbas.

Sudah menjadi hal yang biasa ia lebam-lebam luka seperti ini. Lebih baik tak dirasa-rasa, agar lukanya semakin cepat sembuh dan ia akan melupakan semuanya. Jika bisa berbicara jujur, Abel masih merasa tenaganya belum cukup kuat untuk bekerja malam ini. Ada suatu hal yang perlu ia bicarakan dengan Abbas, kekasih gelapnya itu.

“Ada yang ingin aku tunjukkan.”

Abel berusaha mengambil handphonenya yang tengah di charge di meja dekat lampu tidur. Ia lupa mengisi daya teleponnya tadi, saking letih dan lemasnya karena peristiwa kemarin.

Abel menunjukkan pada Abbas, sebuah thread viral di Twitter yang tengah gempar, sedang ramai dibincangkan oleh kaum kawula muda atau yang biasa disebut Gen Z. Aplikasi tersebut memang menjadi tempat curhat, sebagai wadah untuk menuangkan perasaan.

“Kamu harus baca ini, Bas.” Abbas mematikan rokoknya, lalu ia lempar asal entah kemana.

@littlewings on curhatfess

Boleh nggak sih, gue curiga sama bokap sendiri? Sumpah gue ngerasa bokap gue berubah. Dia jadi jarang pulang ke rumah, weekendpun sering pergi sama teman-temannya. Pernah berapa kali gue denger nyokap bokap berantem di kamarnya nyebut-nyebut kata selingkuh. Gue nggak bakal salah denger. Akhirnya-

@littlewings on curhatfess

Lihat selengkapnya