Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #17

#3 | Episode : Wanita Pesona Jingga

Perempuan seperti dirinya, memang tidak berhak untuk merasakan cinta. Hubungannya dengan Abbas walau terjalin dengan rasa saling mencinta, seharusnya Abel sadar diri dan tak boleh berharap lebih dari itu. Sudah seperti itu jalan takdirnya.

Jika cinta tak boleh ia rasakan, Abel hanya ingin tenang, menjalani kehidupan seperti wanita normal seperti biasanya. Itu saja sudah cukup, tak ingin lebih.

Setelah menghubungi Abbas dan mengirimkan sharelock tempat, pria itu langsung bergerak cepat menuju ke sana. Ia kelihatan panik saat diberitahu, bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan dan bersifat sangat penting.

Abel memilih sebuah café di daerah yang sedikit pelosok, untuk menyamarkan diri agar tidak ada yang melihat pertemuannya dengan Abbas. Wanita itu juga yakin, Abbas pasti akan pintar menyembunyikan wajahnya. Seperti dugaan, Abbas datang dengan masker duckbill dua lapis, topi hitam dan kaus polo, bercelana pendek, bahkan awalnya Abel tak mengenali pria itu.

“Ada apa?” ucap Abbas terdengar seperti berusaha mengatur napas. Maskernya terlalu rapat hingga sulit untuk menghirup udara.

Abel menunjukkan foto ular besar di rumahnya, kemudian bercerita sedetail-detailnya tentang kejadian pagi tadi tanpa menyebut dugaannya kepada Ana. Lagipula ia tak punya cukup bukti mengenai hal tersebut. Apalagi setelah dipikir ulang, apa Ana benar-benar bisa melakukan tindakan sekeji itu? Segala bentuk keresahannya ia tuangkan pada Abbas yang selalu setia menjadi pendengar terbaik.

“Kamu pindah rumah ya.” Tak perlu berpikir panjang, Abbas langsung menghubungi asistennya, untuk meminta dicarikan satu unit apartemen untuk Abel dan keluarganya tinggal.

Pria itu bisa peduli dengan wanita lain, tetapi tak bisa peduli dengan keluarganya sendiri. Sungguh lelaki aneh.

Abel menggeleng tegas. Bukan itu yang ia mau.

“Kita selesai di sini saja ya,” ucapnya dengan mulut gemetar, wajah menunduk. Dalam hatinya tak ingin ada kata berpisah dengan lelaki pertama yang berhasil membuka kunci hatinya. Keadaanlah yang membuatnya harus mengatakan kata yang tak berasal dari hatinya.

Alis Abbas terangkat, terkejut dengan apa yang baru saja wanita itu ucapkan. Berulang kali lelaki itu memastikan, apakah dia tidak salah mendengar. Abel terlalu cepat mengambil keputusan. Padahal banyak cara untuk keluar dari permasalahannya. “Itu bukan jalan yang tepat!”

Abbas melekatkan jari cantik wanita itu pada tangannya yang berwangikan aroma kayu cendana. “Kita cari sama-sama ya, siapa pelaku teror itu.”

Mata wanita itu berusaha tak ingin menatap Abbas yang menggapai jari jemarinya. Ia tak ingin luluh, dan merubah keputusannya. Dengan kasar, Abel menepiskan tangan halus Abbas. “Kita ini dari awal salah! Nggak seharusnya hubungan kita sampai sejauh ini.”

Abbas mendekatkan tubuhnya pada Abel yang justru malah semakin menjauh. “Aku mau serius sama kamu, aku janji. Aku sudah merencanakan semuanya, setelah nanti Ana lulus kuliah, aku akan menceraikan istriku dan kita akan menikah. Aku juga nggak peduli dengan masa lalumu, intinya aku mau serius.”

Abel menghela napas, akhirnya memberanikan diri menatap bola mata Abbas yang sedikit kecokelatan. Napasnya terdengar berat, sama seperti keputusan yang ia pilih. Terasa sulit untuk meninggalkan laki-laki yang ia cinta. “Abbas dengerin aku! Kalau kamu seperti itu, namanya bukan menyelesaikan masalah, tapi justru malah menambah masalah baru. Temui masalahmu, jangan lari dari masalah!”

“Kita sudah sering bicara, Bel. Memang pisah adalah jalan terbaik bagi kita. Nggak ada yang perlu diomongin lagi. Kita gak pernah benar-benar bahagia. Saya capek hidup berpura-pura seperti ini di depan semua orang.” Suara Abbas terdengar memberat, emosinya memuncak. Ia benar-benar tak ada rasa cinta lagi dengan istri yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun.

“Sekarang aku tanya, apa kamu bisa menjamin, hidup sama aku-pun akan bahagia? Kan enggak. Nggak pernah ada keluarga yang sempurna. Rasakan kebahagiaan, suka cita, kesedihan dengan secukupnya sesuai kadar masing-masing.”

“Inget Bas, dunia nggak sepenuhnya berputar di kamu doang. Jangan paksa mereka harus mengerti kamu, tapi kamu nggak mau mengerti mereka. Aku memang nggak pernah merasakan keluarga utuh, tapi bersama Asmara dan Farid, aku mengerti definisi dari sebuah keluarga. Saling memahami satu sama lain.”

Lelaki blasteran Belanda itu membuka masker duckbill dua lapisnya. Tak peduli jika ada rekan bisnis atau seseorang mengenalinya. Air matanya menderas mendengar ucapan Abel. Ia mengingat istrinya yang setiap pagi bangun, menyiapkan bekal untuk dirinya dan Ana. Padahal di rumah sudah ada asisten rumah tangga, tetapi ia masih repot mengurus segalanya di dapur.

Sekilas, ingatannya terputar ketika tangan halus istrinya setia berjaga di sampingnya saat lelaki itu sedang sakit, rapuh, hancur dan kala ia mendapat omelan dari Papanya karena target perusahaan tidak tercapai.

Mengapa ia tak bisa rasakan itu?

Abbas sadar ia telah menancapkan duri tajam pada istrinya yang selalu ikhlas mendampinginya di setiap saat. Benar kata wanita di depannya barusan.

Biarkan kita merasakan kebahagiaan, kedukaan secukupnya. Sesuai kadarnya masing-masing.

 

*****

Malam itu menjadi pertemuan terakhirnya dengan Abbas. Wanita itu bertekad untuk melupakan pria itu dan selalu mendoakan yang terbaik untuk keluarganya. Abel tak ingin berbahagia dan tertawa di atas kedukaan orang lain. Sudah cukup ia merasakan kehangatan dari tempat tumpuannya saat ini, Asmara dan Farid. Karena merekalah, Abel tak pernah susah hati dan merasa sendirian menjalani hidup yang semakin berat.

Cinta tak harus dirasakan dari pasangan. Sahabat yang melebihi saudara seperti Asmara sudah lebih dari cukup. Berjalan lagi. Itulah yang harus Abel lakukan. Ia kembali menjalani hidup sebagai wanita pesona jingga, memberikan kepuasan pada lelaki yang membutuhkannya.

Waktu sudah berjalan kurang lebih satu bulan. Teror itu tak lagi datang menganggunya. Biarkan cukup sekali saja seumur hidup. Harapnya ketenangan akan segera datang.

Seperti biasanya, sekitar pukul empat sore, Abel akan bersiap-siap pergi ke tempat kerjanya. Ia memakai pakaian biasa terlebih dahulu, layaknya wanita-wanita normal seperti biasanya. Tidak terbuka dan tertutup rapat. Di tempat kerjanya nanti, barulah ia akan berganti pakaian-pakaian minim yang sungguh menggelikan itu.

Saat ini Abel hanya di rumah sendiri sebab Asmara sedang menemani Farid yang mengikuti program belajar yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa dari kampus yang entah ia tak ketahui. Abel ikut senang dengan adanya kegiatan belajar seperti itu.

Lihat selengkapnya