Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #18

#4 | Episode : Wanita Pesona Jingga

Kenangan membawanya ke masa lalu, ketika semua masih terlalu putih dan tak bernoda. Dahulu, Ustad di tempat ngajinya berkata, bahwa nanti saat di akhirat, amalan baik dan buruk kita akan ditimbang, untuk menentukan, apakah kita melaju ke surga atau merasakan panasnya api neraka. Abel tersenyum membayangi akhiratnya kelak. Tanpa ditimbang, wanita itu yakin amalan baiknya tidak ada seperempat dari dosa-dosanya. Siap tidak siap, mau tidak mau, wanita itu harus ikhlas jika nantinya akan dibakar di tengah api yang panasnya dapat melelehkan tubuh indahnya.

Abel mengelus rambut cepak Farid, mencoba membuat anak itu tertidur pulas. Anak selucu dan menggemaskan seperti Farid harus merasakan cobaan yang begitu berat, bahkan melebihi masalah orang dewasa sekalipun. Tidak memiliki Bapak, Ibu-pun masih tidak jelas kabarnya.

Farid tidak boleh seperti Asmara ataupun dirinya. Anak lelaki itu harus melepas lingkaran setan yang turun temurun melingkar, tanpa ada ujungnya. Ia harus melanjutkan cita-cita ibunya menjadi ilmuwan Matematika terkemuka, kalau bisa mengalahkan Jerome Polin, si youtuber yang terkenal akan keahliannya mengerjakan soal matematika. Farid harus tumbuh menjadi laki-laki yang membanggakan, menghargai perempuan dan menyayangi sesama.

Sudah terhitung lima hari Asmara pergi tanpa memberikan kabar sedikitpun. Abel sudah mendatangi kantor polisi ditemani oleh Pak Dibjo dan Pak Ghani. Ia menjelaskan serinci-rincinya tentang surat ancaman itu dan sedikit informasi tentang Asmara, yang kiranya dapat memberikan petunjuk untuk polisi segera menemukannya. Abel juga sempat meminta pertolongan pada polisi baik hati pada malam Asmara menghilang.

Sampai detik ini, raga Asmara tak kunjung ditemukan.

Selama proses pencarian Asmara, mahasiswa-mahasiswa yang tengah menjalankan program di rusun itu, selalu setia menemaninya, terutama Indah. Seperti Bapaknya, gadis itu memiliki jiwa sosial yang tinggi. Kehadiran Indah dan teman-temannya menjadi obat penenang bagi Farid, agar tidak terus kepikiran ibunya yang tak ada kepastian akan datang menjemputnya.

Sampai mendapatkan kabar tentang Asmara, Indah mengusulkan untuk dirinya dan Farid tinggal terlebih dahulu di apartemen depan milik temannya yang bernama Ara. Khawatirnya, sang peneror itu kembali datang dan mengancam keselamatannya dan Farid. Apartemen ini dijaga ketat dan tidak bisa sembarangan orang bisa masuk ke dalam unit. Dengan ini, Abel dan Farid akan aman.

Urusan pekerjaannya, Abel menghubungi dan menceritakan secara lengkap permasalahan yang menimpanya kepada Mami Dewi. Untungnya perempuan tua itu masih memiliki hati, membiarkannya untuk menenangkan diri dan menunggu kabar Asmara terlebih dahulu.

Jika sudah merasakan kegundahan seperti ini, ingin rasanya Abel bercerita dengan Abbas. Tetapi ia harus sadar, hubungannya telah berakhir dan ia tak ingin masuk kembali ke dunia lelaki itu. Biarkan ia bahagia dan menemukan jalan pulang yang tepat. Bukan ia tentunya.

Sebentar. Jika teror itu memang ada kaitannya dengan hubungannya bersama Abbas, seharusnya peristiwa ini tidak akan terjadi. Sebab, ia sudah mengakhiri kisah mereka, sebulan yang lalu. Yang jelas bukan Ana ataupun salah satu dari keluarga Abbas yang mengirim teror itu padanya.

Apa ini dari masa lalu Asmara?

“Kak Abel.” Satu sapa lembut dari Ara, memanggil namanya dengan sopan. Gadis baik hati yang bersedia menampungnya. Tak peduli perbedaan status sosial keduanya.

Melihat Farid yang sudah tertidur pulas di ranjang empuk milik gadis itu, Abel menyusul Ara ikut duduk di sofa panjang dekat TV yang mengarah langsung ke jendela. Dari sini ia bisa melihat pemandangan rusun yang sangat kusam dan kotor. Atapnya sedikit kehijauan, mungkin sudah mulai berlumut.

“Ini Kak, cobain tehnya.”

Abel mengangkat cangkir teh motif bunga mawar yang disajikan oleh Ara, lalu meneguknya sedikit sebab tehnya masih agak panas. “Makasih ya Ra. Aku jadi ngerasa ngerepotin banget.”

“Nggak kok Kak. Justru Ara senang ada teman di sini.”

Mata Abel memandangi unit apartemen milik Ara. Jika dibandingkan dengan unit rumahnya, sangat jauh sekali ibarat Matahari dan Pluto. Inferior apartemen ini sangat mewah, baik dari segi kualitas bangunan, desain, bahkan peralatan bawaan asli unit apartemen. Fasilitasnya juga tak kalah mengagumkan seperti taman ruang terbuka, kolam renang, pusat olahraga sampai coworking space. Fasilitas yang bisa dinikmati oleh khalayak ramai hanya area food court dan supermarketnya saja. Farid begitu senang bisa tinggal di sini. Hampir setiap pagi ia berenang bersama Ara. Bahkan sekarang anak itu sudah sedikit mahir berenang berkat Ara yang mengajarkannya.

Ternyata masih ada orang-orang kaya yang berhati mulia seperti Ara. Padahal yang ia tahu dari Indah, Ara merupakan cucu dari pemilik perusahaan KP Group dan anak dari salah satu pejabat kementerian negara. Dirinya dan gadis itu layaknya adik dan kakak saja, tanpa menyampingkan statusnya sebagai wanita penghibur.

“Kak mau coba nggak?” ujar Ara menawarkan sesuatu yang Abel tak paham.

“Coba apa Ra?”

“Aku baca jurnal dari dosen, katanya menulis menjadi salah satu metode self-healing atau penyembuhan luka batin. Bahkan ada salah satu mantan presiden kita, nulis satu buku penuh, sebagai penyampaian dukanya setelah istri beliau meninggal. Mungkin perasaan Kakak bisa jadi lebih lega dengan menulis.”

Abel tertawa, mencoba memahami perkataan Ara yang cukup sulit dicerna. “Nulis apa Ra. Aku nggak bisa.”

“Asal aja Kak, nggak usah bagus-bagus. Yang penting bercerita aja. Ibarat kayak numpahin seluruh beban pikiran.” Kemudian Ara menyodorkan laptopnya yang sudah menyala pada Abel. “Pakai ini.”

“Boleh Ra.”

Abel takut-takut menerima laptop milik Ara. Ia sangat tahu harga perangkat ini sangat mahal. Dengan penuh kehati-hatian, Abel mulai mengetik apa yang ada di pikirannya saat ini. Tangannya sedikit kaku sebab ini pertama kalinya ia menyentuh langsung perangkat bernama laptop. Sesekali ia bertanya pada Ara akan ketidaktahuannya dengan fitur Microsoft Word yang sangat asing di benaknya.

Tangannya bergerak, mengeluarkan seluruh kegundahan dalam diri. Semuanya ia tumpahkan. Bagai berdialog dengan dirinya sendiri. Menemui jiwa yang hampa dan mati.

 

*****

Ketika hidup berjalan, tak sesuai dengan harapan. Saat hidup kehilangan makna dan sulit mengerti mengapa Tuhan memberikan takdir seburuk ini.

Gue dulu hanya anak perempuan polos yang cuma mau main, belajar, ngaji, hafal Quran seperti temen-temen gue yang lainnya. Saat hidup gue masih berputar seperti biasanya dan tak ada setitikpun lara yang hinggap dan datang. Gue rindu masa itu.

Orang-orang biasa menyebut gue Alia Bellina atau yang lebih sering dipanggil Abel. Khusus waktu malam, gue menjelma sebagai Wanita Pesona Jingga. Gue udah di titik paling capek, letih ketika orang manggil gue dengan sebutan itu. Gue mau hidup gue yang dulu. Kehidupan saat orang-orang masih memanggil dengan nama asli gue, Layla. Dalam ajaran agama gue artinya Malam. Gue terlahir di waktu malam dan kini malah menyatu dengan gelap malam.

Gue terlahir dari sebuah keluarga sederhana tanpa kehadiran sosok ibu. Dia pergi ninggalin gue dari umur tiga tahun, milih cerai sama bapak dan nikah lagi dengan pengusaha toko material bernama Joko. Laki-laki itu gak mau gue tinggal bareng ibu, jadinya gue terpaksa tinggal sama bapak yang pengangguran, tukang judi dan pemalas.

Gue lebih nyaman berada di luar, mengaji dengan Ustad Jan bersama teman-teman. Ustad Jan gue anggap sebagai bapak sendiri. Dia selalu kasih nasihat, ceritain tentang kisah para nabi dan berhasil memupuk rasa cinta gue pada Tuhan yang maha esa. Ternyata benar kata orang. Manusia baik hati akan lebih cepat dipanggil duluan ketimbang manusia jahat seperti bapak dan ibu. Ustad Jan meninggal karena sakit jantung yang dideritanya. Tak bisa dibayangkan sedihnya gue kehilangan figur ayah satu-satunya.

Ternyata Tuhan tak henti-hentinya kasih gue cobaan yang lebih berat lagi.

Gue tumbuh jadi gadis yang kata mereka cantik. Tapi menurut gue biasa aja. Cantik itu relatif kalau kata orang. Di usia gue yang baru menginjak umur tiga belas tahun, baru saja mengenyam pendidikan SMP. Bapak memperkosa gue secara paksa di suatu malam dengan keadaan sadar, tanpa pengaruh minuman beralkohol. Gak kebayang luar biasa rasa sakit dan perihnya. Tubuh gue terasa kaku, ingin melawan rasanya nggak bisa. Ditambah lagi bapak memiliki tubuh yang sangat besar hingga gue gak bisa berbuat apa-apa. Nggak bisa gue bayangin, bapak yang seharusnya jadi cinta pertama bagi putrinya malah ia yang paling pertama menancapkan pisau ke relung hati paling terdalam.

Kejahatan bapak nggak cukup sampai disitu. Ia ngejual gue ke temen-temennya atau sebagai alat taruhan judi. Di usia gue yang baru menginjak remaja, gue dipaksa, harus, wajib melayani beragam laki-laki baik muda ataupun udah aki-aki bau tanah. Dari tukang ikan, pedagang loak, supir truk, preman, rentenir bahkan seorang kepala sekolah sekalipun.

Gue juga sempat sekali mengalami kehamilan yang membuat gue harus melakukan aborsi usia dini. Bagian kelamin gue rasanya perih, gak kekira lagi sakitnya gimana. Tiga jam sehabis proses itu gue pingsan dengan alat kelamin yang gak berhenti mengeluarkan darah. Saat itu gue ngarep mati aja biar bisa nyusul dan ketemu Ustad Jan. Tapi ternyata Tuhan masih selamatkan gue dan memberikan hidup sampai detik ini.

Gue nggak kuat lagi hidup bareng bapak. Gue jadi cewek yang nggak merdeka dan bebas. Akhirnya gue kabur dari rumah dan berencana pergi ke kota ini. Ada supir truk yang ingin mengantar sayuran ke Jakarta. Gue diperbolehkan menumpang namun syaratnya gue kasih jatah secara gratis semalaman penuh. Ya sudahlah, toh gue udah terlalu kotor untuk nggak nolaknya. Habis ini gue bakal bebas dari lelaki sialan itu.

Lihat selengkapnya