Dua balerina sungguh mempesona
Kau bertabur pujian, engkau balerina pujaan
Berputar, berputar, berputar, gemulai
Berlari, berlari, melayang kau terbang
Nanana nanana tranana nanana nana
Denting piano beradukan dengan gesekan biola yang mengalun secara merdu, melahirkan nada-nada yang harmonis. Jemari Indah bergerak lincah menari-nari di atas tuts piano, sambil menyenandungkan lagu Dua Balerina yang dipopulerkan oleh Sherina Munaf.
Lagu Dua Balerina ini memiliki sejuta kenangan bersama Ayahnya. Hampir setiap bermain musik bersama, tembang ini tak pernah absen, selalu ada dan tak pernah terlewatkan. Pak Ghani memainkan biolanya secara apik, tak kalah dari pemain biola profesional yang sering bertanding di ajang kompetisi internasional. Suaranya melengking lembut seperti ada sentuhan kehangatan dalam alunan melodinya.
Indah sebenarnya juga memiliki kemampuan bermain biola, namun tidak bisa sehebat dan semahir Ayahnya yang levelnya sudah setara dewa. Tetapi jika dibandingkan dengan pemain-pemain biola professional, Indah tak kalah hebat bahkan melebihi. Lalu jika berbalik di compare dengan ayahnya dalam hal bermain piano, lelaki itu lewat dan tak bisa menandingi anaknya.
Oh balerina
Melangkah berseri
Seaakan dirimu tiada pernah lelah
Oh balerina senyumlah untukku
Walaupun musik usai hatimu kan selalu menari
Irama yang dihasilkan dari jari jemari mereka, beradu dengan alat musik, mengalun tenang dengan tempo mengikuti notasi nada yang dibuat oleh Elfa Secioria, sang pencipta lagu ini. Harmoninya tak hanya merdu, tetapi memiliki makna dan kedalaman yang mampu membuat pendengar memahami dan merasakan pesan dari lagu ini.
Ungkapan orang-orang mengenai peribahasa, “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” ialah benar. Dalam darah Indah mengalir jiwa seni milik ayahnya, dan mungkin suatu hari nanti akan melebihi lelaki ksatria itu.
“Indah… Ayah… sarapan dulu,” teriak Melissa memanggil suami dan anaknya yang sudah jam segini masih sibuk bermain musik.
Wanita itu menghela napas panjang. Suara teriakannya padahal sudah begitu kencang, mengalahkan musik yang mereka lantunkan. Tetapi tak ada respon dari mereka, malah musik yang mereka mainkan menjadi lebih keras dari sebelumnya.
Tak ada pilihan lain, wanita berambut kuncir kuda itu, menuju ruang tamu yang jaraknya tak ada dua meter dari tempatnya berdiri saat ini dan mungkin emosinya akan kembali meledak.
Tangan Melissa berkacak pinggang sambil berdeham berulang kali dari pelan hingga keras sampai membuat anak dan bapak itu terkejut, langsung menghentikan permainan musiknya.
“Dipanggilin juga dari tadi. Indah kamu bukannya ada kelas jam delapan? Sudah jam berapa ini?” Melissa melotot tajam kepada Ghani dan Indah, yang langsung berinisiatif merapikan alat musik mereka. Kalau tidak, wanita itu akan menyerocos panjang kali lebar sepanjang hari.
Ghani memberikan kode pada anaknya melalui gerakan mata untuk bergegas sarapan saja, biar ia yang membereskan semuanya.
Melalui radarnya yang sangat baik, Indah berhasil memahami maksud ayahnya. Ia menaruh kumpulan buku tuts pianonya ke dalam tas, kemudian menjawab perkataan ibunya, “Iya Bu, ini Indah mau siap-siap.”
“Yaudah, buruan. Bukannya dari tadi sarapan,” balas Melissa yang terdengar lebih ketus lagi. Indah hanya meneguk ludahnya, sudah menjadi makanan sehari-hari.
Di meja makan kayu berukuran sedang, terhidangkan nasi goreng dengan topping sosis sapi warna merah yang rasanya tidak ada daging sapinya sama sekali, ditambah dengan telur ceplok mata sapi yang sedikit agak kecokelatan.
Indah mengambil dua centong nasi, tidak ingin makan terlalu lahap. Sebenarnya ia tidak suka sarapan pagi, lebih suka makan agak siangan sekitar pukul sebelas. Ia hanya ingin menghargai Ibunya yang sudah capek masak agar anaknya tidak kelaparan di kampus nanti.
“Kamu sudah berjuta-juta kali nyanyi lagu itu, masih aja nggak kuat nafasnya, Ndah,” tutur Ghani yang membuka obrolan di meja makan yang terlalu hening tanpa ada satu patah katapun.
“Menurut Indah, ini lagu susah banget. Notasinya nggak main-main. Masih heran dulu Sherina bisa bawain lagu ini dengan apik dan nafas yang teratur. Kalau nggak salah lagu itu rilis tahun 1999 kan, Yah? Berarti umur Sherina saat itu sekitar sembilan atau sepuluh tahunan. Gila sih musikalitasnya.”
Ghani mengangguk setuju, sangat excited jika sudah membahas soal musisi dengan putrinya. “Betul sekali. Album Sherina ini masuk ke dalam daftar 150 album Indonesia terbaik versi majalah Rolling Stone. Ini debut album Sherina loh.”
Indah menggelengkan kepalanya, sungguh takjub dengan fakta yang baru saja diceritakan oleh Ayahnya. Benar-benar ia tak nyangka ada penyanyi cilik seperti Sherina, yang memiliki musikalitas sangat tinggi. Bahkan saat usianya menginjak remaja, ia mulai menciptakan lagu sendiri, salah satu yang ia suka lagunya yang berjudul “Jalan Cinta”, yang dibuat khusus untuk soundtrack film Ayat-Ayat Cinta. Sherina Munaf merupakan role modelnya untuk menjadi seorang musisi yang hebat.
“Gimana malam nanti kita kulik lagu Sherina yang lain?”
“Hmm, malam nggak bisa, Yah. Aku ada acara.”
“Acara apa?” malah Melissa yang menjawab.
“Nanti malam kan grand final acara kompetisi musik di ATV. Habis dari toko, Indah mau nonton sama Ara dan Putri. Sudah dapat juga tiketnya.” Indah menunjukkan e-ticket pada Ibunya melalui telepon genggam.
“Nggak ada. Habis kerja ya pulang. Jaga kesehatan, jangan capek-capek.”
Ghani melirik istrinya yang berbicara sangat begitu ketus. Terlihat kekecewaan di raut wajah anaknya yang memang sangat mengikuti ajang pencarian bakat itu. Bisa dibilang, hampir semua remaja mengandrungi kompetisi itu, karena menampilkan kontestan yang muda-muda dan menarik.
“Capek ya resiko Bu. Lagipula yang tahu kesehatan fisikku, ya aku sendiri,” jawab Indah tetap kekeh akan datang pada acara tersebut.
“Sekali Ibu bilang nggak, ya tetap nggak!!”
Indah sudah terlanjur malas melanjutkan makanannya. Seperti tidak bisa tertelan. Ia menaruh sendoknya, lalu meneguk segelas air putih di cangkir warna biru muda kesukaannya. “Whatever, aku nggak enak udah kadung janji sama Ara dan Putri.”