Matahari semakin menenggelamkan diri. Riuh jalan terlampau sangat padat, dipenuhi oleh kaum pekerja selepas berjuang mencari rezeki di kota ini. Suara klakson tak henti-henti bersahutan baik dari kendaraan roda dua maupun roda empat sekalipun. Entah mengapa mereka tidak bisa sabar sedikit. Nyatanya, sekencang apapun mereka membunyikan klaksonnya, tidak akan membuat lintas jalan akan terbuka, justru malah semakin menambah keruwetan jalan.
Telinga Ghani sudah pengang, dan kepalanya sungguh pusing mendengar istrinya yang sedari tadi tak berhenti bersungut kesal pada anaknya yang ternyata tetap datang ke acara musik itu. Bahkan bising jalanan tak sanggup menghentikan racauannya yang semakin melebar kemana-mana.
Ghani memutar bola matanya, pasrah dengan keadaan. Ia sangat terkejut ketika baru selesai mandi, Melissa langsung mengajak untuk datang ke studio ATV yang jaraknya cukup jauh dari rusun tempat mereka tinggal. Ghani dan Melissa sempat beradu argumen dan tetap saja wanita itu tak mau mengalah. Akhirnya mau tidak mau, terpaksa ia harus mengantar Melissa menjemput Indah di studio itu. Lelaki itu tahu, alasan terbesar istrinya melarang Indah pergi kesana. Melissa sangat memiliki hati yang keras dan ego yang cukup besar.
Kurang lebih, mereka menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk menuju gedung perkantoran ATV yang berada di Jakarta Selatan. Ghani menggaruk tengkuknya. Kepalanya semakin pening melihat lautan manusia yang didominasi anak-anak muda, seusia putrinya memenuhi setiap sisi gedung.
Suara ribut para fans yang ingin melihat idolanya tampil, seperti siap untuk meruntuhkan gedung ini. Barisan para security tampak kewalahan mengatur penonton yang mulai ricuh dan berdesakan memaksa untuk masuk ke dalam gedung.
Kebanyakan mereka tidak bisa masuk ke dalam sebab tak cukup menampung kapasitas. Padahal kapasitas studio sudah begitu luas, namun tetap saja tak bisa menghimpun mereka yang niat datang dan melihat langsung idolanya tampil. Pihak manajemen harusnya peka, bahwa penonton akan membludak sebanyak ini. Melalui pengalamannya dulu menjadi seorang musisi, Ghani sudah paham bagaimana perusahaan ATV ini yang lebih mengutamakan kuantitas di atas segalanya.
Ghani mengajak istrinya untuk menjauh dari kerumunan. Matanya memindai, mencari putrinya di antara lautan manusia ini. “Sekarang cari Indah gimana? Banyak orang gini,” katanya dengan suara agak meninggi, terlalu tenggelam dalam suara hiruk-pikuk penonton.
“Kamu coba telepon dia lagi,” tukas Melissa.
Ghani meneguk ludahnya, mencoba menghubungi putrinya kembali. “Tetap nggak nyambung. Kamu harusnya paham, acara kayak gini pasti sinyal berkurang dan dibatasi.”
“Lagian kamu tuh ngeyel banget. Terlalu mengekang Indah! Gimana dia bisa dekat sama kamu.” Melissa tak merespon ucapan suaminya, hanya berdiam diri, mencoba berpikir, mencari cara untuk menemukan anaknya diantara lautan manusia ini.
“Sudahlah, kita pulang saja.”
“Bisa diam tidak!! Kamu aja yang pulang, biar aku sendiri yang cari Indah.” Ghani hanya diam, tak bergeming. Susah melawan keras kepala istrinya yang sudah membara, bagai batu yang sulit dipecahkan.
Kemungkinan besar, mungkin Indah sudah berada di dekat studio sekarang, menuju pemeriksaan body check. Ia tak mungkin seperti anak-anak disini yang tak kebagian masuk, sebab terakhir putrinya mengirimkan video, situasinya belum seramai sekarang.
Wanita itu sudah sangat paham dengan dunia media yang pernah ia geluti dulu. Perlahan dengan rasa bimbang antara ya dan tidak, Melissa mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompet lusuh warna hitam miliknya. Sebuah kartu yang dapat menuju studio melalui sebuah jalan rahasia gedung ini, yang biasa dipakai oleh tamu-tamu eksklusif.
Pikirannya berkecamuk, merasa ragu dan memikirkan kembali pilihannya. Akankah ia membuka lagi luka lama yang telah bertahun-tahun ia tutupi. Sungguh terlalu banyak kenangan yang membekas pada gedung perkantoran stasiun televisi swasta ATV.
“Kita masuk pakai ini, lewat jalur masuk karyawan.”
“Kamu gila? Kartu identitasmu bakal kelacak!!”
Benar juga. Pikirannya semakin semrawut. Wanita itu tidak bisa berpikir tenang, memutuskan langkah apa yang akan ia ambil. Kalau ia memaksa memakai kartu identitasnya untuk masuk melalui jalur karyawan, yang ada hanya menimbulkan kekacauan baru. Lagipula, sudah bertahun-tahun kartu ini tidak ia gunakan. Bisa saja aksesnya sudah diblokir oleh kantor.
“Atau begini. Aku saja yang masuk ke dalam cari Indah. Aku sudah kenal sama satpam-satpam di sini.”
“Kok bisa?”
“Ya aku kan sering dapet orderan antar makanan dari karyawan sini.”
“Kok kamu nggak bilang? Aku sudah larang kamu untuk ambil orderan yang berkaitan dengan kantor ini ya!!”
Ghani berdecak pelan. Perkataan jujurnya malah menjadi sebuah boomerang untuknya. “Sekarang kamu pilih aja. Kita pulang, biarkan Indah di sini, atau menghendaki kemauanmu, biar aku yang susul Indah ke dalam. Sekarang pilihan ada di kamu. Toh, aku membebaskan Indah.”
Melissa meragu. Susah sekali untuk mempercayai omongan Ghani. Lelaki itu terlalu lembut dan memanjakan Indah. Lelaki itu juga tidak pernah berbicara keras sedikitpun pada putrinya. Yang ada Ghani hanya berputar-putar saja di dalam, seolah-olah sedang mencari Indah. Pasti ini hanya akal-akalannya saja. Tidak bisa dibiarkan hal itu terjadi.
“Aku ikut.” Tanpa persetujuan Ghani terlebih dahulu, ia langsung menarik tangan Ghani dengan erat. Lelaki itu sudah bisa membatin apa yang ada dipikiran Melissa saat ini. Ia hanya bisa pasrah mengikuti seluruh kemauan istrinya. Daripada saat di rumah nanti mulutnya menyerocos terus tak henti-henti.
Di depan pintu masuk timur, berlalu lalang karyawan yang beberapa akan pulang dan ada juga yang baru masuk, bergantian shift. Dari wajah-wajah mereka, terlihat sangat lelah, kusut dan pasti kepala mereka cukup pusing, memikirkan acara besar yang akan diadakan nanti malam. Yang jelas, Melissa tahu alasan raut wajah mereka seperti itu. Ia sangat mengenal seluk-beluk kantor ini yang sistem kerjanya sangat tidak sehat. Gaji mereka hanya pas UMR, bahkan beberapa masih di bawahnya, tak sepadan dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Dulu sekali, Melissa sempat memperjuangkan mereka, tetapi nyatanya tetap tak bisa. Berpuluh-puluh tahun ia meninggalkan kantor ini, ternyata masih sama saja, tidak ada perubahan.
Melupakan sejenak soal kesejahteraan karyawan, kini Melissa dihadapkan dengan keraguan dalam hatinya sendiri. Sejenak ia menatap Ghani untuk meluruhkan rasa takutnya. Ia tidak mau kalah dalam perperangan ini.
Melissa merapatkan masker warna birunya, tak ingin siapapun di kantor ini mengenalinya. Ia bergerak maju, mengikuti langkah suaminya yang mencoba biasa saja, agar gerak-geriknya tidak diketahui. Selanjutnya, ia serahkan seluruhnya pada Ghani yang sedang melakukan negosiasi dengan security kantor yang terlihat begitu akrab dengannya. Lelaki itu memang mudah akrab dengan siapapun. Senyum manis miliknya sebagai pemikat, siapapun yang bertemu dengannya.
Tak butuh waktu lama, Ghani dipersilakan masuk oleh satpam berperut buncit itu. Ia tersenyum begitu sopan pada Melissa. Sepertinya ia tak mengenalinya. Syukur kalau begitu. Sepertinya juga, kantor ini didominasi oleh karyawan baru, sehingga tak perlu begitu cemas penyamarannya akan ketahuan.
Ghani mencoba mengikuti gerak istrinya yang semakin cepat, seperti seseorang yang ketakutan ditangkap basah. Kepalanya menoleh, ke kanan dan kiri, berjaga-jaga takutnya seseorang dapat mengenalinya. Lelaki itu sangat paham mengapa ia seperti itu. Kembali datang ke tempat ini, seperti membuka kembali kenangan lama yang sungguh menyakitkan.
Melissa melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul setengah delapan kurang. ATV saat ini mungkin masih menayangkan sinetron andalannya. Kurang lebih satu setengah jam lagi, barulah acara dimulai. Melissa harus bergerak cepat. Ia tak mau mengingkari janji dan sumpahnya dulu.
Persis seperti dugaannya. Penonton yang sudah tak sabar ingin menyaksikan langsung performa idolanya hari ini, sudah berbaris rapi, membentuk antrian panjang, menunggu giliran masuk. Mereka berdiri berdesakan, berjejer secara tertib, diatur oleh security yang sudah berjaga dengan tatapan wajah seram. Suara obrolan, tawa dan teriakan histeris mereka membuat suasana semrawut, tetapi tetap berusaha tertib.
Di antara antrian panjang itu, Melissa dan Ghani mencoba mencari sosok Indah, berharap ia belum masuk ke dalam studio. Akan lebih susah lagi mencari Indah, jika ia sudah berada di dalam.