Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #21

#3 | Episode : Semesta Pertamaku

Indah membuka pintu rumahnya secara perlahan, lalu kembali menutupnya dengan rapat. “Assalamualaikum,” salamnya terdengar begitu lirih. Kemudian ia menaruh asal sepatu keetsnya di pojok dekat piano warna putihnya.

“Waalaikumsalam,” balas Ghani dan Melissa secara bersamaan yang sejak tadi menanti kehadiran putrinya pulang.

“Duduk dulu, Indah. Ayah sama Ibu mau ngomong,” pinta Ghani pada anaknya secara lembut seperti biasanya.

“Indah capek, Yah. Besok ada ujian praktikum,” ucapnya berbohong. Ia tak ingin malam ini ada pertengkaran lagi. Gadis itu sudah cukup muak dengan sikap ibunya yang begitu mengekang dengan alasan tidak jelas.

“Sebentar aja Indah. Ayah janji.”

Sekeras apapun pendiriannya, hatinya akan selalu melunak jika ayahnya sudah berbicara. Suaranya begitu tenang, seperti bisikan lembut yang dapat menenangkan hati siapapun yang mendengarkannya. Saat berbicarapun, sorot matanya selalu hangat, penuh perhatian, seolah-olah sedang memahami ucapan lawan bicaranya. Ucapannya seperti disaring terlebih dahulu dalam pikirannya, tak ingin menghakimi atau memaksakan pendapatnya. Indah selalu merasa beruntung memiliki ayah yang baik, berkepala dingin dan hati yang selalu terbuka.

Indah mengembuskan napas pelan, mengambil duduk di kursi panjang dekat TV, sebelah ayahnya. Sekilas ia melirik ibunya yang sedari tadi hanya menunduk, seperti merasa bersalah. Semoga saja ini bukan hanya dugaannya saja.

“Sebelumnya, Ayah mau minta maaf, karena sudah mengacaukan acaramu hari ini bersama Ara dan Putri. Kami sebagai orangtua, sadar kalau yang kita lakukan ini sebuah kesalahan.”

Indah meresponnya dengan seutas senyuman, sambil tertawa kecil yang terkesan seperti merendahkan. “Kok Ayah yang minta maaf? Bukannya Ayah selalu mengajarkan dari kecil sama Indah, kalau kita berbuat salah, kita harus yang bertanggung jawab?”

Melissa mengangkat kepalanya, merasa tersindir dengan ucapan putrinya yang sangat menusuk di hati. Ghani mengelus pundak wanita itu, mencoba untuk bersabar dan menahan diri. Tak semuanya bisa selesai dengan emosi.

“Iya, benar. Ini permintaan maaf Ayah sebagai orangtua dan kepala keluarga di rumah ini. Sebagai orangtua, Ayah dan Ibu masih harus belajar dan memperbaiki kesalahan kami hari ini,“ jawab Ghani secara tegas dan bijaksana. Ayahnya selalu merangkai kata dengan baik. Mungkin ini semua ada pengaruh dari ayahnya yang dulu selain menjadi seorang musisi, juga merupakan seorang pemain teater. Jadinya, ia bisa mengelola emosinya dengan baik.

“Orangtuaku bukan cuma Ayah.” Indah berkata-kata singkat, tetapi sangat menyentuh kalbu Melissa dan Ghani.

Melissa bukannya tidak ingin berbicara. Ia sangat takut jika emosinya akan kembali meledak-ledak seperti yang terjadi tadi. Wanita itu tidak seperti Ghani yang bisa secara tenang mengontrol emosinya.

Mungkin maaf darinya yang Indah tunggu. Melissa membuka mulutnya. Dengan pelan dan lembut ia berbicara. “Ibu akui, tindakan Ibu tadi sangat salah dan sungguh melukai hati Indah. Seharusnya Ibu yang bisa bersikap lebih baik lagi.”

Indah bisa menangkap kekakuan dalam diri Ibu saat ini. Lidahnya masih saja kelu untuk meminta maaf secara langsung padanya. “Indah rasanya capek Bu. Selalu saja Indah yang harus mengalah dan selalu mengikuti kata-kata Ibu. Rasanya seperti Indah yang harus selalu berkorban dan mengerti.”

Bibir Melissa mulai bergerak. Emosi dirinya kembali membuncah. Indah sudah sangat keterlaluan berbicara seperti itu padanya. “Capek? Disini bukan hanya kamu yang capek dan berkorban. Hebat sekali kamu sekarang? Apa pernah Ibu mengajarkan kamu untuk bersuara tinggi di depan orang tua?” ucapannya berangsur menjadi nada yang meninggi, bercampur antara kelembutan dan emosi yang memuncak.

“Sekarang Indah tanya, apa alasan Ibu melarang aku buat datang ke acara itu?”

“Semua nggak perlu ada alasannya!!!”

“Yaa harus Bu!! Semua yang ibu lakuin tuh, nggak make sense buat aku!!!”

“Sekali lagi Ibu ucapkan. Tidak semua harus kamu ketahui, biarkan semua terjadi tanpa alasan yang jelas.”

“See? Selalu saja begitu.”

Ghani mengacak rambut kepalanya yang mulai sedikit beruban. Ternyata menyatukan Melissa dan Indah malam ini juga, justru membuat masalah baru. Keduanya sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah.

Pria itu menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir merangkai kata untuk memenangkan hati keduanya. “Cukup!!!” teriak lantang Ghani menghentikan adu argumen anak dan istrinya yang tak kunjung berhenti.

“Sudah Bu… Ndah….. Ayah cuma mau masalah ini kelar dan besok pagi kita menjalani hari sudah seperti biasanya. Kita ini keluarga, harusnya kita saling memahami satu sama lain.”

“Keluarga? Ini keluarga yang Ayah bilang? Keluarga itu seharusnya saling terbuka satu sama lain, bukan malah sebaliknya. Bahkan aku cuma ingin tahu, siapa keluargaku dari pihak Ibu saja, selalu tidak pernah dijawab. Itu hanya sekelumit pertanyaan kecil saja, kalian nggak mau terbuka padaku.”

Gemetar tangan Indah menunjuk wajah Ibunya. “Aku selalu berusaha untuk mengerti dan memahami posisi kalian. Tetapi kenapa sedikit aja aku minta dingertiin, kalian nggak pernah bisa? Dari kecil juga aku selalu nurut sama perintah Ibu, tapi kenapa aku cuma ingin jalan sebentar aja untuk sekedar menikmati hidup, kalian nggak ngebolehin? Seakan-akan aku ini masih anak usia enam tahun yang harus selalu ada di bawah ketiak kalian. Semua yang aku lakukan selalu salah di mata kalian.”

Indah merasa dirinya telah melampaui batas hari ini. Perlahan ia menurunkan volume suaranya. “Keluarga itu bagai rumah, dan kita adalah pondasinya. Harus sama-sama saling menjaga dan percaya. Aku nggak pernah merasakan itu di rumah ini. Selalu aku dan Ayah yang berjuang untuk mengerti Ibu.”

Gadis itu mengusap kedua air matanya, berjalan mendekat pada Ibunya yang masih diam membisu dengan mata yang berkaca-kaca. “Tapi ada satu hal yang harus Ibu tahu. Bagaimanapun dan apapun yang terjadi. Ibu tetap semesta pertamaku. Rasa sayangku tetap ada dan sampai kapanpun tak akan pernah berubah.”

Hati Melissa bergetar mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan Indah. Tubuhnya merasakan sebuah getaran hangat yang menyelinap di relung hatinya. Kata yang sederhana namun benar-benar menyentuh sanubari. Segala amarah dan kekesalan yang berkecamuk dalam tubuhnya, tiba-tiba sirna dan digantikan perasaan haru yang mengalir tak bisa terbendung lagi.

Matanya yang berkaca-kaca, kini menumpahkan seluruh tangisnya. Sedetik kemudian, ia memeluk erat Indah, rasanya tak ingin ia lepaskan. Bibirnya bergetar, mencoba untuk berbicara namun sulit untuk ia lakukan. “Ibu minta maaf Indah. Ibu yang salah dan selama ini tidak pernah berusaha untuk mengerti kamu. Keegoisan dan ketakutan Ibu ternyata lebih besar, dari yang selama ini Ibu kira.”

Tanpa ragu, Indah membalas pelukan Ibunya. Akhirnya ia bisa merasakan sentuhan hangat itu lagi setelah sekian lama tak pernah ia rasakan. Ia tak bisa menahan isak tangisnya. Dengan sesenggukan, Indah berbicara lembut di telinga Ibunya. “Indah juga minta maaf Bu. Aku nggak pernah jadi anak yang seperti Ibu inginkan. Aku janji akan berusaha mengubah takdir hidup keluarga kita, Bu.”

Melissa memeluk putrinya lebih erat lagi. Ia mengusap lembut bahu Indah. Rasanya nyaman dan hangat sekali. Segenap perasaan yang tak bisa ia gambarkan. “Ibu nggak minta apapun ke kamu. Jalani hidup sewajarnya saja dengan apapun yang kamu inginkan. Selepas ini, kita mulai terbuka satu sama lain ya. Soal keluarga Ibu…” ucapannya terhenti, takut salah mengungkapkan. “Ada sebuah luka yang Ibu belum bisa ceritakan. Biarkan Ibu sembuh dulu ya, nanti akan Ibu ungkapkan semuanya ke Indah, tak kerkecuali satu apapun.” Indah mengangguk paham, percaya suatu hari nanti jika sudah saatnya, Ibu akan berbicara.

 Mereka saling melepaskan pelukannya. Saling tersenyum dan tertawa, merasa kikuk dengan apa yang barusan mereka lakukan. Melissa menyelipkan anak rambut Indah ke belakang telinga, kemudian menyentuh pipinya. “Kita mulai dari awal ya.”

“Nggak usah tergesa, Bu. Aku tahu prosesnya nggak mudah, tetapi aku yakin, kita pasti bisa.” Tanpa ragu-ragu, Melissa mengenggam tangan Indah. Semoga hari esok, lusa dan selamanya, mereka akan tetap seperti ini.

Ghani bisa tersenyum lepas malam ini. Bohong rasanya, jika ia tidak merasakan sentuhan hangat itu juga. Walau tanpa air mata, ia bisa merasakan perasaan haru yang mendalam. Matanya berbinar menandakan sebuah harapan baru untuk kedepannya nanti.

Pria itu memandang Melissa dan Indah secara bergantian, lalu mereka saling berpeluk satu sama lain. Berusaha saling memaafkan dengan apa yang sudah terjadi. Dengan gerakan halus, pria itu menggiring dua wanita yang ia cintai ke dipan piano putih di ruang tamu. Piano itu tak begitu besar dan merupakan hasil tabungannya berdua bersama Indah setelah bertahun lamanya.

Ghani mengajak mereka untuk menyanyikan sebuah lagu, yang ia yakini mereka paham dan hafal betul lagu tersebut. Jari-jari Ghani mulai menekan tuts piano dengan lincah, memainkan melodi lembut dari lagu milik Bunga Citra Lestari yang berjudul “Karena Kita Bersama.” Sebuah lagu yang berhasil menyentil perasaan mereka saat pertama kali mendengarnya di film Keluarga Cemara.

Adakalanya, sunyi bersuara

Hanya perlu menikmati diam

Memahami semua yang terjadi

Lihat selengkapnya