Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #23

#1 | Episode : ̶T̶a̶k̶ Sendiri

Bangun dan bukalah matamu

Saatnya meraih mimpimu

Arahkan pandangan ke depan

Tuhankan menuntunmu

Langit berwarna biru sempurna, tanpa awan putih yang melayang di angkasa. Burung-burung gereja menari di udara, seraya mengeluarkan kicauan yang menghasilkan irama harmoni pagi, yang begitu cerah.

Anak-anak berkaus olahraga dominasi warna cokelat pramuka berbaris rapih, diatur oleh bapak-ibu guru mereka secara lembut, dan beberapa ada yang terlihat geram dengan anak-anak yang sulit sekali diatur. Lapangan sekolah ini tidak terlalu besar, sehingga diperlukan sedikit drama untuk merapikan barisan.

Guru olahraga yang bertubuh buncit dan berkumis tebal, menyorakkan kegembiraan agar kegiatan senam pagi, diikuti oleh peserta didik dengan semangat yang membara. Para guru melakukan senam pagi di barisan belakang, sambil mengawasi anak didiknya. Senyum berseri terpancar pada raut wajah mereka, entah itu benar-benar ungkapan terdalam mereka, atau justru hanya topeng agar murid-muridnya juga ikut berceria dan semangat.

Lagu pertama yang diputar adalah lagu Pelajar Pancasila. Setiap dilaksanakan senam pagi, lagu ini wajib diputar dan dipelajari oleh peserta didik. Sebab, lagu ini masuk ke dalam materi ujian praktik, khususnya murid kelas enam. Hal ini dilakukan agar anak-anak terbiasa dan khatam dengan gerakannya.

Isi lagu ini seperti judulnya, tentang pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila pancasila. Harapnya, dari usia dini para murid dapat mengamalkan nilai-nilai itu dalam setiap tindakan, sikap maupun perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak orang mengatakan, anak-anak seperti kertas kosong yang bersih tanpa coretan. Bagai itu pula, sejak dini mereka harus dididik dengan norma-norma yang baik, agar kedepannya akan menjadi manusia yang bermoral. Tetapi mereka yang mencanangkan lagu ini, apakah sudah memahami dengan baik, makna dari setiap bait liriknya? Sepertinya tidak.

Jauh di barisan belakang sana, irama dering telepon tak henti-hentinya bersuara di kantung celana training warna abu-abunya yang lusuh. Guru bernama Jusuf berusaha tak menghiraukannya, sebab ia sudah tahu siapa yang menghubunginya secara beruntut, tak berhenti.

Rasa canggung mulai merayap di wajahnya ketika panggilan telepon itu datang kembali untuk yang keenam kali. Beberapa guru dengan ekspresi datar, menoleh padanya mengedarkan pandangan tidak suka.

Seorang guru wanita paruh baya, yang terkenal galak dan berucap ceplas-ceplos menegurnya dengan kata-kata yang sungguh menancap di hati. “Pak, diangkat dulu itu. Pinjol ya?” Pak Jusuf hanya tersenyum malu, tidak membalas ucapan Bu Endang. Kemudian ia berjalan keluar dari barisan, menjauh dari guru-guru.

“Selamat siang Bapak Jusuf. Kami dari kredit cicilanku.com ingin mengingatkan bahwasanya tagihan pembayaran anda sebesar tiga juta rupiah yang akan jatuh tempo pada dua hari lagi. Harap…” Pak Jusuf mematikan teleponnya sebelum debt collector itu menyelesaikan ucapannya. Pria itu mengacak rambutnya yang basah oleh keringat, rasanya ingin berteriak untuk melepaskan beban pikirannya yang berkecamuk, mengumpul di kepalanya.

Beberapa kali lelaki itu membasuh keringatnya dengan sapu tangan merah yang berada di kantung celana sebelah kirinya, berjalan dengan ketidakpastian, bagaimana ia mendapat uang sebesar itu dalam waktu dua hari.

Tangannya bergerak membuka selop pintu ruang guru, sedetik kemudian dering telepon berbunyi lagi. Kini bukan dari debt collector yang tak henti-hentinya meneror, melainkan panggilan dari ibunya yang sudah lama sekali tak ia dengar suara khas lembutnya.

Dengan gerakan secepat kilat, Pak Jusuf menggeser gambar telepon ke atas untuk menerima panggilan. “Halo, Assalamualaikum, Jusuf.”

Jusuf menarik kursi di mejanya, lalu mengambil duduk di sana. Sesekali pria itu mengangguk ketika ada guru yang menyapanya. “Waalaikumsalam. Iya Bu, ada apa? Maaf Jusuf akhir-akhir ini lagi sibuk banget, belum sempat menelepon Ibu.” Bohong sekali. Ia takut ditanya mengenai kabar tentang dirinya saat ini yang tidak pernah baik-baik saja. Sebisa mungkin Jusuf ingin selalu berkata jujur kepada ibunya.

 “Tidak apa Jusuf. Paham sekali kalau kerjaanmu banyak. Ibu hanya ingin mengabarkan soal Bapakmu.” Raganya tercekat. Batinnya merasakan ada hal yang tak mengenakkan. “Ada apa Bu?”

“Bapak sakit. Sudah tiga hari demamnya tidak turun.”

Dugaannya benar. Jusuf mengambil pena hitam di kotak pensilnya kemudian memainkan tutupnya. Kebiasaannya sejak kecil ketika batinnya merasakan gejolak. Hal tersebut sebagai upaya untuk menenangkan tubuhnya. Cobaan apa lagi ini?

“Kok Ibu nggak bilang sama aku? Langsung bawa ke Puskesmas saja. Minta anterin Mas Putra. Kirimanku bulan lalu masih ada kan?”

“Bapakmu sudah dibawa ke Puskesmas dua hari lalu, tetapi tidak ada perubahan. Ibu ingin bawa Bapak ke rumah sakit besar, tapi kirimanmu bulan kemarin sudah habis. Untuk membayar adikmu study tour.

“Insha Allah, Jusuf ada-adain Bu. Tenang aja.”

“Alhamdulillah. Ibu doain rezekimu lancar ya Nak.”

“Aaamin. Ya sudah Bu, Jusuf mau ngajar lagi ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Jusuf sejenak merebahkan tubuhnya di kursi kayu yang beralaskan busa tipis di permukaannya. Kepalanya terlalu riuh, berputar-putar untuk mencari jalan keluar dari segala permasalahan ini. Semuanya terlalu berat untuk ia genggam sendiri.

Lihat selengkapnya