Ruangan kelas bernuansa warna putih itu, terasa sangat panas dan sesak. Kipas besar yang digantung di tengah kelas, sama sekali tak membuat ruangan ini sedikit sejuk, justru malah mengundang banyak debu, sebab baling-balingnya yang kotor, tak pernah dibersihkan sejak awal dipasang.
Kelas 6A didominasi oleh murid laki-laki yang berjumlah dua belas orang dan sisanya murid perempuan yang terdiri dari sepuluh orang. Total keseluruhan kelas ini hanya terdiri dari dua puluh dua siswa. Sangat sedikit dibandingkan dengan kelas-kelas yang lain.
Jam pelajaran kurang lebih setengah jam lagi akan berakhir. Sebagai seorang guru, Jusuf merasa iba dengan murid kelas enam yang jam sekolah selesai hingga pukul tiga sore. Tuntutan kurikulum yang semakin rumit, membuat jam pulang sekolah menjadi sesore itu. Untuk mengatasi mood murid-muridnya, Jusuf berinisiatif setengah jam terakhir digunakan untuk bermain games atau menceritakan kisah-kisah biografi dari sebuah tokoh.
Beberapa murid, menaruh kepalanya di atas tangan, menyimak dengan baik kisah yang akan diceritakan oleh Jusuf. Sisanya sudah terlalu suntuk, untuk mendengar, dan memilih untuk diam, pura-pura mendengarkan, sampai-sampai ketiduran.
“Hari ini, Bapak akan menceritakan kisah hidup dari tokoh bernama Ki Ageng Pandanaran, atau lebih akrab dikenal dengan Sunan Bayat. Beliau bernama asli Pangeran Mangkubumi. Sepeninggal ayahnya, Pangeran Mangkubumi menggantikan kedudukan sang ayah sebagai Bupati Semarang dengan gelar Ki Ageng Pandanaran.”
Lelaki itu berjalan mengelilingi kelas, bercerita sambil memainkan gerak-gerik tangan. “Selain melanjutkan pemerintahan ayahnya, Ki Ageng Pandanaran meneruskan usaha sang ayah, sambil mengembangkan kegiatan keagamaan untuk rakyat-rakyatnya. Contohnya ialah mengadakan pengajian rutin, ceramah melalui khotbah Jumat, hingga mengembangkan pondok pesantren dan tempat ibadah. Ia ingin menjalanan pemerintahan sesuai ajaran-ajaran Islam, seperti ayahnya.”
“Keberhasilan telah membuat sifat Ki Ageng Pandanaran berubah. Ia menjadi seorang pemimpin yang congkak, sombong, kikir dan gemar hidup bermewah-mewahan. Hal ini membuat ia lalai dari kewajibannya menjadi pemimpin yang baik seperti ayahnya. Semakin lama, ia menjadi jarang mengadakan pengajian lagi seperti dahulu kepada rakyatnya serta tak pernah lagi merawat pondok pesantren dan rumah ibadah.”
“Melihat sikapnya yang berubah, Sunan Kalijaga mendatangi kediaman Ki Ageng Pandanaran, menyamar sebagai penjual rumput yang menggunakan pakaian compang-camping, layaknya pedagang rumput pada umumnya. Sunan Kalijaga menasihati Ki Ageng Pandanaran untuk tidak terbius oleh jabatan dan kemewahan dunia.”
“Bukannya sadar, Ki Ageng Pandanaran justru marah dan mengusirnya. Walaupun begitu, Sunan Kalijaga tidak pernah bosan menasihatinya walau tetap saja seperti respon awal. Pada akhirnya, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya dengan mencangkul sebidang tanah yang bongkahannya dapat menjadi emas. Ketika tahu bahwa penjual rumput itu adalah Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bertaubat dan menyesali perbuatannya.”
“Singkat cerita, akhirnya Ki Ageng berguru dengan Sunan Kalijaga dan meninggalkan jabatannya untuk menuju Gunung Jabalkat. Saat perjalanan, Ki Ageng lupa memberitahu istrinya untuk meninggalkan seluruh harta bendanya. Dalam perjalanan, istrinya tertinggal dan menolong istrinya yang sedang diganggu oleh tiga orang penyamun. Dengan kesaktiannya, Ki Ageng merubah wajah pemimpin penyamun itu menjadi wajah domba. Akhirnya Ki Ageng memaafkan mereka walaupun wajah pemimpinnya tetap seperti domba. Pemimpin itu kini dikenal sebagai Syekh Domba.”
Seketika murid-murid tertawa riuh, membayangkan seorang manusia yang berwajah mirip seperti domba. Anak-anak polos yang belum mengerti apa-apa. Ada keharuan ketika Jusuf mendengar tawa anak-anak didiknya. Setelah kondisi kelas kembali kondusif, ia cepat-cepat mengakhiri ceritanya sebab lima menit lagi bel pulang sekolah akan berbunyi.
“Tak berapa lama, mereka sampailah di Gunung Jabalkat. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Kalijaga. Sejak itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga. Berkat kecerdasannya ia menyiarkan agama Islam dan mendirikan perguruan di Gunung Jabalkat. Ajarannya yang paling terkenal adalah istilah Patembayatan atau kerukunan dan kegotongroyongan. Selain mengajarkan ajaran agama, Ki Ageng Pandanaran, mengajarkan ilmu bercocok tanam dan cara membangun hubungan yang baik kepada antar sesama manusia.”
“Kini daerah Jabalkat dan sekitarnya dikenal dengan nama Tembayat atau Bayat. Untuk itulah Ki Ageng dijuluki dengan sebutan Sunan Bayat. Ki Ageng Pandanaran dimakamkan di sebelah selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.”
“Ada yang bisa kasih amanat dalam cerita ini?”
Semua saling berpandangan satu sama lain, takut-takut untuk menjawab pertanyaan Jusuf. Hingga seorang siswa bernama Firman mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Jusuf berjalan mendekat ke bangkunya sambil memainkan spidol hitam di tangannya. “Apa jawabannya, Firman?”
“Sebanyak apapun yang Allah udah kasih, kita harus selalu bersyukur dan tetap menjalankan perintahnya. Kita nggak boleh kufur nikmat dan selalu berdoa kepadanya.”
Jusuf memberikan dua jempol pada Lian yang diiringi riuh tepuk tangan oleh murid lain, terpukau dengan jawaban Lian. Anak itu tersipu malu, dengan pipi yang mengembang kemerahan. Tak heran sebenarnya. Lian terkenal sebagai murid yang paling pintar di angkatan kelas enam ini.
“Tepat sekali jawaban dari Lian. Dalam hidup, kita harus diiringi dengan rasa syukur yang telah Allah kasih untuk kita. Jangan sampai jabatan, kekayaan justru menjauhkan diri kita pada sang pencipta. Dalam hidup kita juga harus memahami rasa cukup, tidak boleh tamak, rakus dan harus peduli dengan sesama.”
Bel pulang sekolah kemudian berbunyi dengan nyaring, menandakan seluruh kegiatan sekolah telah berakhir untuk hari ini. Anak-anak murid Jusuf langsung berteriak kegirangan, merapikan seluruh alat tulisnya lalu kemudian duduk dengan rapih, untuk bersiap pulang.
Didi sang ketua kelas memimpin doa untuk pulang. Usai berdoa, satu sama lain berebutan untuk mencium tangan Jusuf yang sedikit basah oleh keringat. Lagi-lagi ada rasa aneh yang menjalar di tubuhnya ketika anak-anak ini membelai lembut tangannya, sambil melemparkan tawa. Ia sangat cinta dengan pekerjaan ini. Sulit sekali untuk berpisah dengan mereka.
Guru hanya mendampingi mereka dalam waktu singkat. Mungkin satu hingga enam tahun saja. Tetapi namanya akan selalu melekat dan abadi dalam pikiran mereka.
*****
Perutnya telah berbunyi sejak jam istirahat pertama tadi siang. Jusuf tak sempat untuk makan saat istirahat tadi, sebab ada kerjaan yang mesti ia dahulukan terlebih dahulu. Hari ini ia tak ada jadwal mengajar les privat, sehingga ia bisa membantu program kerja para mahasiswa untuk mengajar di rusun.
Sebelumnya, Jusuf mampir sebentar ke warung tegal dekat sekolahan terlebih dahulu untuk mengisi perutnya yang kosong dan hanya minum air putih saja sedari pagi. Ia harus benar-benar berhemat diri. Mungkin makan di warteg ini, sekalian untuk menunda lapar malam nanti.
Jusuf mengedarkan matanya pada lauk-pauk yang tersedia tinggal sedikit di etalase warung. Hanya tersisa orek tempe, sayur sup, telur dadar, gorengan dan beberapa olahan sayur kacang-kacangan. Lelaki itu membuka dompetnya yang tipis, hanya tersisa dua puluh ribu. Akhirnya ia memilih nasi setengah porsi dengan orek tempe saja. Mungkin bisa sedikit mengenyangkan perutnya yang benar-benar lapar.
Dengan lihai, ibu-ibu berkuncir kuda itu, membungkus pesanannya dengan cepat, lalu menyerahkannya kepada Jusuf. “Jadi delapan ribu, Pak.” Jusuf menyerahkan uang dua puluh ribu itu, lalu menerima kembalian dua belas ribu dari penjual warteg.