Kalau ada yang mengalahkan kebisingan dan keriuhan rumah susun tempatnya tinggal, mungkin gang kecil menuju rumah Anjani jawabannya. Sebagai seseorang yang memiliki kepribadian yang tertutup, mungkin tinggal di sini akan membuat energinya cepat terkuras habis. Maklum saja, lingkungan ini rata-rata dihuni oleh para pedagang kaki lima, preman-preman pasar hingga seorang waria. Anjani memilih tinggal di tempat ini sebab mencari kontrakan yang murah, sehingga ia bisa menghemat.
Lampu kontrakan Anjani bersinar dengan terang, mengartikan bahwa perempuan itu berada di dalam. Tangan kanannya memegang satu bungkus nasi padang paket sepuluh ribu yang ia beli dengan sisa uangnya tadi siang.
Jusuf sengaja mengetuk kencang pintu rumah Anjani, agar kekasihnya itu cepat keluar dari dalam rumah. “Assalamualaikum, Anjani.”
Beberapa kali ketukan, barulah wanita berambut panjang itu membukakan pintu untuknya. Sekilas ia melihat sebuah sepatu kets warna cokelat khas lelaki ditaruh dengan rapi di dekat pintu. Melihat Jusuf yang pandangannya terfokus pada sepatu itu, Anjani dengan pelan menendang sepatu itu, menyembunyikannya dari Jusuf.
“Ngapain malem-malem kesini. Aku mau tidur!”
“Kenapa chatku nggak dibalas dari kemarin?” tanya Jusuf dengan sinis, membutuhkan sebuah kepastian tentang hubunannya.
“Sibuk,” singkat Anjani dengan wajah yang angkuh.
“Sibuk? Sesibuk apa sih, sampai nggak bisa ngeluangin waktu satu menit aja buat balas pesanku? Selama ini kalau kamu lagi kesusahan, sesibuk apapun, pasti aku bakal luangin waktu.”
“Ohh jadi sekarang ngungkit-ngungkit?”
“Bukannya gitu…”
Belum selesai Jusuf berbicara, seorang lelaki bertubuh kekar keluar dari dalam rumah dengan bertelanjang dada dan hanya memakai sarung saja. “Siapa sayang?”
Mata Jusuf membelalak, terbuka lebar. Bungkusan nasi padang di tangannya jatuh, karetnya terputus hingga isinya terbuka sempurna. Harapannya untuk makan sepiring berdua dengan wanita yang ia cintai runtuh dan hanya menjadi angan saja.
Lelaki bertubuh kekar itu panik, langsung masuk kembali ke dalam rumah. Anjani menutup pintu rumahnya, kemudian mendekatkan diri pada Jusuf yang masih terdiam berdiri tak ada respon lebih dalam setelah itu. Justru Jusuf semakin berjarak, terlalu kecewa dengan apa yang baru saja ia lihat.
“Harusnya saya lebih peka ya.” Anjani diam dan menunduk merasa bersalah.
“Kita selesai.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Jusuf segera meninggalkan Anjani dengan segala luka yang telah berhasil ia goreskan.
Bibir tipisnya tersenyum, berjalan menuju motornya yang diparkir di depan gang. Beberapa orang mungkin melihatnya seperti orang aneh. Biarkan saja, ia tak peduli. Kini ia merasa bodoh sekali, membiarkan hatinya jatuh.
Seharusnya ia fokus pada tujuan awalnya datang ke kota ini, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Bodohnya ia malah menjalin kasih yang justru membuat buyar semuanya.
Anjani bagai perisai hati yang ia harap akan selamanya menjadi sebuah kisah sempurna. Tuju masa depan yang indah, berjalan bersama terlarut dalam angan-angan yang ia hancurkan hanya dalam waktu yang tak kurang dari lima menit.
Apa kurangnya ia? Tak cukupkah segala yang sudah ia beri. Ternyata ia jatuh hati pada hati yang salah. Kecewa dan luka yang justru ia semayamkan dalam dada. Mungkin sekarang, esok sampai selamanya, Jusuf akan sulit merasakan cinta yang kedua kali. Semua sudah selesai disini.
*****
Biarkan aku tertidur. Itu yang ia pinta saat ini. Satu malam penuh, Jusuf tak berhasil memejamkan matanya. Isi kepalanya sangat penuh dengan runtutan permasalahan hidup yang datang bertubi-tubi padanya. Sekarang ia benar-benar sendiri, dan mungkin selamanya akan tetap seperti ini.
Saat waktu Subuh tiba, lelaki itu barulah bisa menenggelamkan diri pada tidurnya. Hari ini ia memutuskan untuk izin mengajar terlebih dahulu, untuk sedikit memberi ruang ia berpikir dan menyendiri, bagaimana ia menghadapi kenyataan-kenyataan pahit yang senantiasa menunggu di kemudian hari. Lagipula hari ini merupakan Hari Jumat, jam belajar hanya sampai sekitar jam sebelas.
Jusuf memeluk tidurnya selama seharian penuh, bahkan sampai ketinggalan untuk melaksanakan Shalat Jumat. Tidak pernah ia bisa merasakan tidur selelap itu, mungkin terakhir kali saat ia masih SMA, ketika dirinya masih terlalu labil dan tak bisa membedakan antara yang baik dan buruk.
Lelaki itu bercermin, melihat tubuhnya yang kacau dan tak terawat. Kumis dan jenggotnya mulai bertumbuh, hingga menutupi separuh wajahnya. Lelaki itu mencukur habis seluruhnya, menyisakan sedikit saja agar tidak terlalu habis. Ia cabuti beberapa helai rambut putih yang telah tumbuh di kepalanya. Saking tak pernah memikirkan diri sendiri, ia lupa tanggal kelahiran dan usianya saat ini.
Tenggat pembayaran pinjaman onlinenya jatuh pada hari ini. Ia sudah siap apa yang akan terjadi kedepannya. Bahkan untuk mencapai ujung kehidupan, ia pun sudah siap. Lagi-lagi pria itu tersenyum sendiri kemudian berangsur menjadi gelak tawa, yang entah apa yang lucu baginya. Mungkin hidupnya. Tawa itu lalu berselang menjadi sebuah tangis dengan isak yang membara. Hidupnya hancur, benar-benar hancur.