Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #26

#4 | Episode : ̶T̶a̶k̶ Sendiri

Terkadang, kita perlu merasakan jatuh dan runtuh terlebih dahulu, untuk merasakan utuh. Biarkan ia mati berkali-kali, niscaya ia akan tumbuh dan hidup lagi dengan jiwa dan semangat yang baru.

Malam itu ia terlalu bodoh untuk berpikir lebih jernih. Bekal iman kokoh yang dulu bapaknya berikan, seperti hilang terbawa arus kesedihan yang membara. Seharusnya ia tak berbuat seperti itu. Percaya suatu hari nanti hidup akan kembali berjalan semestinya.

Ghani seorang sahabat, teman bahkan kakak yang malam itu berjuang untuk menyelamatkan jiwanya. Lelaki itu menghubungi Ara, untuk membantu Jusuf, membawanya ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan. Tak hanya itu, Ghani berusaha menjelaskan sedetail-detailnya tentang fitnah yang terjadi pada Jusuf kepada para warga, hingga mereka bisa memahami yang lelaki itu rasakan.

Sejatinya, kita tak boleh sedikitpun mencoba atau terjerumus dalam jeratan pinjaman online, sebab mereka menggunakan topeng ketika datang, menawarkan solusi permasalahan finansial yang pada akhirnya mereka berubah menjadi iblis, yang dapat melakukan apa saja dengan keji. Ghani membantu Jusuf melaporkan ke polisi atas semua fitnah yang datang kepadanya. Urusan laporan itu akan diproses atau tidak, biarkan saja yang penting mereka sudah berusaha.

Sepuluh hari ia menjalani perawatan intensif di rumah sakit, dan syukur Tuhan masih memberikannya hidup satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya yang telah hancur. Hatinya merasakan kembali ketenangan saat bergantian orang menjenguknya. Dari rekan-rekan mahasiswa, warga rusun, para guru di sekolah hingga murid-muridnya. Ia ternyata selama ini tak pernah benar-benar sendiri. Terlampau banyak kasih yang mereka berikan.

Setelah keyakinannya akan masa depan yang lebih baik itu datang, Jusuf kembali menata hidupnya. Langkah pertama setelah ia keluar dari rumah sakit adalah pergi kesebuah supermarket, membeli beberapa kebutuhan hidupnya seperti beras, telur, mie instan dan yang lain-lainnya. Uang sumbangan dari orang-orang yang menjenguknya terbilang lumayan, sehingga ia bisa gunakan untuk berbelanja hari ini.

Sedikitnya ia kirimkan uang itu ke kampung, untuk wanita yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Jusuf perlahan-perlahan mulai mengungkapkan seluruh kesulitan hidupnya di Jakarta pada ibunya, dan ia memahami itu semua. Mengapa ia sebodoh itu, bisa melupakan ibunya yang masih setia mendukungnya di setiap apapun keadaan. 

Dari kejauhan, terlihat samar-samar dua pasangan yang tengah berjalan beradu mesra mendorong troli belanjaan yang ia kenali. Mereka menangkap kehadiran Jusuf. Jelas itu Annisa dan suaminya. 

“Jusuf!!” Annisa memanggilnya dengan sapaan yang begitu lembut. Memang dasarnya Annisa sedari dulu terkenal sebagai perempuan yang lemah lembut, bak gambaran bidadari yang menjelma sebagai manusia. 

Mereka berjalan mendekati Jusuf yang sibuk berpura-pura memilih buah jeruk, sedikit malu dengan sikap yang ia lakukan kemarin. Harga dirinya benar-benar hancur akan kebodohannya.

Jusuf menoleh pada mereka, sambil memberikan senyumnya. “Hai, Nis. Apa kabar?” balas Jusuf sambil mengulurkan tangannya, memberi salam kepada mereka.

“Baik Alhamdulillah. Gimana keadaannya? Kemarin gue denger lo baru pulang dari rumah sakit,” ujar Annisa yang terdengar seperti ungkapan basa-basi.

Pria itu agak sedikit kikuk usai kejadian itu disinggung lagi oleh Annisa. Jusuf mencoba untuk biasa saja. “Alhamdulillah sudah mendingan. Gue aja yang terlalu bodoh malam itu,” jawabnya sambil tersenyum tipis.

Annisa menoleh ke Bahri, menepuk pelan bahu suaminya. “Nggak apa, Suf. Semua manusia punya titik terendahnya. Kita juga pernah di posisi itu kan Kang?”

“Betul sekali Nisa. Saya dulu juga sempat ingin melakukan itu ketika almarhum istri saya nggak ada.”

“Ngomong-ngomong kalian berdua aja? Kemana Sabhira?” tanyanya berusaha mengalihkan topik lain.

“Sabhira lagi di rumah Bapak sama Ibu. Nggak mau ikut, Suf.” Jusuf mengangguk pelan. “Ohh…. Kok juragan sembako, masih belanja di supermarket?”

Bahri dan Annisa kompak tertawa dengan candaan yang dilontarkan oleh Jusuf. Suasana menjadi sedikit lebih hangat, tidak seperti tadi. “Kan kita mau cari suasana baru, sambil cari-cari promo di sini.”

Bahri mengganguk setuju dengan perkataan istrinya seraya kembali tertawa kecil. “Betul itu. Diskon besar adalah hal yang utama,” ujarnya sambil menunjukkan isi trolinya yang sudah sangat penuh dengan bahan-bahan rumah tangga dan beberapa cemilan ringan serta buah untuk Sabhira.

“Kebetulan sebenarnya, Suf. Gue sama Kang Bahri mau main ke rumah.” Jusuf mengangkat alis tebalnya. “Ada apa?”

Lihat selengkapnya