Pernah merasakan luka yang tak pernah pergi dan berselang? Atau hidup hanya sekedar hidup, mengikuti gerak kehidupan yang tak jelas membawanya kemana. Katanya, titik terendah seseorang itu ketika merasakan kehilangan. Tapi bagaimanakah rasanya kehilangan cinta, namun di titik terakhir hidupnya tak bisa menyentuh dan menatap wajahnya?
Begitulah isi hati lelaki berambut silver itu, yang tengah dihadapi seorang diri.
Hujan kembali mengguyur deras kota sejak pagi tadi, tak membiarkan sedikit ruang untuk matahari memancarkan sinarnya. Petir-petir bersahutan, menghadirkan kesan pekat pada lorong-lorong rusun yang sudah gelap sebelumnya.
Kebanyakan warga rusun memilih menetap di unit rumahnya masing-masing, berdoa dan berharap agar hujan segera berhenti. Khawatir air got yang penuh dengan sampah, akan naik ke permukaan dan dapat menghambat aktivitas warga.
Hanya pria berambut silver itu yang setia, menikmati hujan yang menyelimuti kota, sambil menikmati secangkir teh hangat untuk menyejukkan tubuhnya yang mulai merasa dingin. Sejenak, ia merekatkan jaket abu-abu lusuh milik peninggalan seseorang, yang sampai detik ini aromanya masih bisa ia rasakan, walaupun sang pemiliknya sudah bertahun-tahun pergi dan tak pernah kembali.
Pak Pram mengambil bingkai foto yang selalu terpajang di sisi warungnya, kemudian mendekap erat foto itu dan merasakan rindu yang takkan pernah hilang dan pergi, hingga ia terbiasa merindu setiap hari.
Bila terbayang wajah kasih yang penuh pilu, perasaannya akan kembali hancur, mengingat masa lalu yang tak bisa ia putar kembali. Rasa penyesalan terus menyeruak tiap hari, mengapa ia membiarkannya pergi di hari-hari terkelam negeri.
Berusaha ikhlas tetapi nyatanya tak bisa. Sedikit harap, ia akan kembali menetap, menjalin janji hati yang belum sempat ia penuhi. Hari itu ketika semuanya berhenti. Tak pernah akan berjalan lagi.
“Pak Pram! Mau mesen indomie rebus dong!” suara itu memecah kesenduannya.
Kepalanya menoleh. Ternyata suara itu berasal dari para mahasiswa yang sedang menjalankan kegiatan di rusun ini. Lelaki itu cepat-cepat menaruh kembali foto di tempatnya, kemudian melupakan apa yang baru saja ia pikirkan. Kembali menjalani hidup seperti biasanya.
Tersenyum merekah, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Siap. Rasa apa aja?” tanyanya yang membuat mereka berunding, menghadirkan bising di warungnya. Pak Pram tersenyum mengingat ia yang pergi, ketika usianya sepantaran dengan anak-anak ini. Pria itu menggertakan gigi, tak bisa menahan perasaan haru saat melihat mereka.
“Rasa soto dua, seblak satu, sama ayam bawang satu ya Pak,” jawab Indah mewakili seluruh teman-temannya.
“Rasa seblak pasti buat Mbak Ara, ya?”
Indah melirikkan kedua bola mata pada Ara yang berada tepat di sampingnya. Memonyongkan bibir, mulai menggodanya kembali. “Iyalah Pak, siapa lagi di antara kita yang maniak dan kecintaan banget sama seblak. Padahal mah rasanya cuma kencur. Dasar the nuruls.”
Ara memasang mata tajam seraya memukul pelan lengan sahabatnya itu. “Enak aja! Seblak itu enak banget tahu. Kalian aja yang belum mengenal lebih dekat sama Seblak!”
“Halah, pakai mengenal-mengenal segala. Kayak orang PDKT pacaran aja!”
Pak Pram hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah anak-anak ini. Jiwa remaja yang menggebu, belum memahami jelas arti sebuah kehidupan lebih dalam. Seperti sosok dia dulu sebelum benar-benar pergi untuk sementara… atau selamanya.
Dengan tegas, pria paruh baya itu menggelengkan kepala, cepat-cepat mengusir kembali bayangannya yang akan selalu menjadi angan belaka saja. Ia harus bisa fokus untuk menjalani hidup yang semakin kesini, makin tidak jelas arahnya.
“Pakai telur nggak nih?”
“Pakai Pak!” jawab mereka bersamaan. Lelaki itu kembali tersenyum melihat mereka.
Dengan sapu tangan merahnya, Pak Pram mengelap peluh yang bercucuran di dahinya. Ia menggunakan dua tungku di kompornya, untuk mempercepat menyajikan pesanan. Dengan gesit, lelaki itu memasukkan satu keping mie ke dalam air yang sudah mendidih, beserta telur, sayuran dan topping masing-masing dua bakso sapi berukuran sedang.
Sambil menunggu mie direbus sampai matang, Pak Pram menyiapkan bumbu-bumbu, memisahkan satu sama lain, agar tak tercampur. Mie yang sedang direbus di dalam panci mengeluarkan aroma yang sungguh menggoda. Akan terasa jauh lebih nikmat jika disantap saat cuaca dingin seperti ini.
Lelaki tua itu berusaha menyimak obrolan mereka tentang program kerjanya. Terlihat beberapa kali mereka saling melempar canda, namun tetap serius.
“Proker kalian kalau nggak salah sampai akhir bulan ini ya? Berarti kurang lebih tinggal dua minggu lagi dong?” tutur Pak Pram sambil menggunting bumbu mie, kemudian menaruhnya ke dalam mangkuk bercap ayam berukuran sedang.
“Iya Pak. Ini lagi nyambi selesain laporan,” jawab Riza sambil mengambil bungkus kacang goreng buatan salah satu warga rusun yang dititipkan di warung Pak Pram.
Pria itu menundukkan wajahnya. Benaknya seperti merasakan kehilangan. Kehadiran mereka sedikit mengobati kerinduannya yang menyeruak. Dengan adanya anak-anak ini, ia merasakan kehadirannya di sini. “Gak terasa ya, waktu berjalan sangat cepat. Main-main kesini dong kalau ada waktu luang,” ucapnya dengan wajah yang begitu sendu.
“Pasti dong Pak Pram. Kita bakal kangen mie rebus buatan Pak Pram yang rasanya beda banget sama buatan sendiri.”
Lelaki itu tertawa kecil sambil mengangkat mie yang sudah matang lalu dimasukkan ke dalam mangkuk yang sudah ia siapkan. Ia sudah terbiasa dengan pekerjaannya. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan empat pesanan sekaligus.
“Hati-hati tumpah.” Secara perlahan, Pak Pram memberikan empat mangkuk pesanan kepada mereka secara satu persatu. Hingga sampai di mangkuk terakhir yang ia siapkan khusus untuk pelanggan yang hampir setiap minggu tidak pernah absen memesan menu yang sama. “Yang ini rasa seblak spesial buat Mbak Ara.”
“Wahh makasih Pak. Enak banget ini.”
“Habiskan ya.”
“Ohh jelas.” Tak pakai lama, Ara langsung menyeruput pelan kuah mie seblak buatan Pak Pram. Entah kenapa rasanya begitu berbeda dengan yang biasa ia buat. Padahal mie instannya berasal dari pabrik yang sama.
Riza yang duduk di samping Ara membuang napas panjang seraya memasang ekspresi kesal bercampur panik di wajah tampannya ketika membaca pesan yang baru masuk di ponselnya.
“Kenapa Za?” tanya Ara basa-basi padanya.
“Gue harus cabut nih. Bokap katanya jatuh dari motor pas pulang sekolah.”
“Innalilahi.”
“Terus keadaan Pak Agus gimana Za?”
“Katanya lagi dibawa ke rumah sakit. Lagi ngeyel sih, udah dibilang nggak usah bawa motor, masih nekat aja,” dengus kesal pria itu.
Dengan gerakan kilat, ia memasukkan laptop dan beberapa buku ke dalam tasnya, bersiap menuju rumah sakit, tempat bapaknya mendapatkan pertolongan pertama. “Mienya buat Pak Pram aja. Ini uangnya Pak. Sama tadi saya ambil dua bungkus kacang.” Riza menyerahkan uang dua belas ribu pada Pak Pram yang sedang membersihkan meja yang terkena tumpahan minyak bumbu mie instan.
“Mienya nggak usah bayar tidak apa-apa Mas Riza. Kacangnya saja.”