Episode : ?

Rarindra Sejati
Chapter #28

#2 | Episode : Yang tersesat di jalan pulang.

Setiap kali merasakan kegundahan, selalu dan pasti ia dapat ditemui di toko buku kesayangannya. Membiarkan diri untuk satu jam lebih mengelilingi Gramedia, bolak-balik membaca ­blurb novel terkini yang ceritanya sungguh monoton, hingga kakinya pegal dan merasakan lelah sendiri.

Malam ini, Ara memutuskan untuk pulang ke rumah. Akhirnya sampailah ia di titik jenuh merasakan keheningan seorang diri di apartemennya. Gadis itu sangat mencintai kesendirian. Namun semakin lama, ia menjadi bosan dan capek juga. Mungkin bertemu dan bercengkerama dengan kedua orangtuanya, bisa sedikit menghilangkan letihnya. Terakhir ia menginjakkan kaki di rumah ini sekitar dua minggu lalu. Tidak sesuai perjanjian awal dengan kedua orangtuanya yang mewajibkan ia pulang ketika akhir pekan tiba. Terkadang Ara merasakan rindu mendengar suara teriakan kencang bundanya saat pagi menyuruhnya bangun salat Subuh.

Secara perlahan, Ara menepikan mobilnya dengan dibantu oleh satpam penjaga rumah, yang berteriak memastikan posisi mobilnya sudah dalam posisi yang tepat. Di dalam garasi, hanya terdapat dua mobil milik kedua orangtuanya, yang menandakan Medina belum kembali dari tempat kerja. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih.

Gadis itu turun dari mobilnya, tak lupa membawa totebag hasil dari berjam-jam mengelilingi Gramedia. Terasa sia-sia jika tidak membeli sesuatu apapun dan kebetulan ia menemukan buku yang menarik perhatiannya.

Di gazebo dekat kolam renang, gadis itu menangkap ayahnya tengah mendengarkan musik dari musisi favoritnya, Andy Williams sambil menikmati kopi serta menghisap satu batang rokok, yang entah sudah berapa batang ia habiskan.

Ayahnya ini memang terlalu kecanduan dengan rokok kretek, persis seperti Yang Kungnya. Satu kotakpun bisa saja ia habiskan dalam sehari. Padahal bundanya sudah berulang kali memperingatkan, untuk menghentikan kebiasaan terlalu banyak mengonsumsi rokok karena sangat tidak baik untuk kesehatan paru-paru dan jantung.

Hanya Medina yang mampu menghentikannya. Entah mengapa jika dengan kakaknya, lelaki bertubuh tinggi kekar itu selalu takut dan menurut. Terlihat sangat lucu ketika ayahnya tertangkap basah oleh Medina tengah merokok diam-diam di balkon. Saking paniknya, ayahnya sampai membuang sekotak kreteknya ke genteng, yang pada akhirnya ketahuan juga. Ara selalu tertawa jika mengingat kejadian itu yang terekam jelas di CCTV.

Pak Sugeng menaikkan kacamatanya yang sedikit melorot. Tersenyum menjahili putrinya yang berjalan menuju ke arahnya. “Wihh.. Nak wedokku mulih. Biasanya betah banget di rumah barumu itu,” sindir Pak Sugeng yang merasa kehilangan anak bungsunya, sebab lebih sering menghabiskan waktu di apartemen ketimbang pulang kerumah.

Ara mencium tangan kanan ayahnya yang bau asap rokok bercampur kopi. Aromanya sungguh tak mengenakkan. Ia memasang wajah cemberut namun terlihat sangat menggemaskan.

Tawa Pak Sugeng lepas melihat Ara yang sudah menginjak usia kepala dua namun di matanya tetap gadis kecil yang sering merengek minta dibelikan buku dongeng. “Nggak kangen sama Ayah? Terakhir kita ketemu dua minggu lalu loh.”

Ara mengambil duduk di kursi kayu samping Ayahnya, sambil melepas sepatu ketsnya yang sudah sedikit sempit. Ia menaruh totebag belanjaannya di meja secara asal, yang menimbulkan pertanyaan dari ayahnya.

“Tuku buku opo meneh tho? Bukumu sudah kebanyakan, sampai Bunda ngomel mulu kalau masuk kamarmu. Dibaca semua nggak itu?” Anaknya hanya merespon dengan seutas senyuman yang tidak ikhlas.

Tangan Pak Sugeng membuka totebag itu, mengeluarkan dua buku yang dibeli oleh anaknya. Keduanya merupakan karya Leila S. Chudori yang berjudul Pulang dan Laut Bercerita versi hard cover. Isu penting dalam kedua novel itu yang membuat Ara tertarik untuk membelinya. Mungkin dengan membaca kedua karya sastra ini, gadis itu bisa mengenal lebih dalam tentang kepiluan yang sempat melanda negerinya, hingga menimbulkan korban-korban yang tak bersalah.

Pak Sugeng merapatkan kacamatanya, membaca blurb yang tersusun di belakang buku. “Menarik ini. Tentang 98 sama eksil. Kalau kamu sudah selesai baca, Ayah pinjem ya.”

“Pilih aja Yah salah satu. Kita gantian bacanya.”

“Boleh.” Pak Sugeng menimbang-nimbang mana buku yang ingin ia baca terlebih dahulu. Akhirnya pilihannya jatuh kepada novel yang berjudul Pulang. Ia teringat dengan sosok Bagaskara yang berapa bulan lalu berhasil menghebohkan keluarga besarnya. Lelaki itu ingin mencari tahu lebih dalam tentang eksil yang tidak bisa kembali pulang ke negara ini. Mungkin inilah alasan putrinya membeli buku tersebut.

“Ayah mau baca yang ini dulu ya. Nanti kalau kamu sudah selesai baca yang Laut Bercerita, kita tukeran.”

Ara mengangkat jempolnya. “Sip.”

Dalam keluarga ini, selain Ara hanyalah Pak Sugeng yang memiliki kegemaran membaca. Mungkin darah literasi dalam diri Ara terlahir dari pria itu. Sedangkan Bunda dan Kak Medina, membaca buku resep makanan saja sudah merupakan sebuah keajaiban. Yang mengherankan, mereka memiliki kecerdasan layaknya orang yang suka membaca buku. Terlebih lagi Medina yang IQ-nya jauh di atasnya.

Pak Sugeng langsung membuka segel dari ujung kanan buku, memulai membaca dari halaman pertama. Matanya bergerak dari kanan ke kiri, sangat serius menikmati buku yang sedang ia baca. Sesekali ia menghisap rokoknya, membuang asapnya ke berbagai arah yang pasti tidak mengenai putrinya.

Ara tak mau kalah, ia juga ikut membuka segel buku yang satunya, namun hanya membaca beberapa paragraf saja. Raganya terlalu lelah hari ini. Gadis itu meraih cangkir kopi ayahnya, lalu meneguknya sedikit. Tidak peduli sebenarnya ia tak begitu suka dengan kopi.

Sejenak, Ara meluruskan kakinya, menguap dengan lebar hingga mendapat teguran dari ayahnya untuk menutup mulut saat menguap. Matanya terlihat sayu, tetapi ia masih ingin berada disini bersama ayahnya. Ia merebahkan diri di kursi, mencari-cari topik apa yang bisa ia bahas dengan ayahnya. Jarang sekali ia bisa menghabiskan waktu seperti ini.

“Ara boleh nanya nggak Yah?”

“Tanya apa?” Pak Sugeng menjawabnya tanpa melihat Ara. Ia masih serius membaca buku yang sangat memantik penasarannya dengan sejarah lalu.

Ara meneguk ludahnya, merasa ragu dengan pertanyaan yang akan ia lontarkan. “Sebagai seorang ayah, sebesar apa sih rasa sayang Ayah buat Ara sama Kak Medina?”

Pak Sugeng menutup buku yang ia tengah baca, kemudian melepas kacamatanya. Pria itu juga mematikan musik yang menyala sungguh kencang dari ponselnya. Seketika seluruhnya menjadi hening, hanya terdengar suara pancaran air di kolam renang yang masih mengalun syahdu mengiringi waktu yang semakin malam.

Lihat selengkapnya