Ara menaruh tangan kanannya di dahi Indah, merasakan tubuh sahabatnya dalam keadaan panas yang tinggi. Gadis itu meminta Putri mengambilkan termometer beserta obat paracetamol yang berada di kotak P3K.
Dengan cekatan, Ara menaruh termometer ke dalam ketiak Indah lalu menunggu beberapa saat untuk mendapatkan hasilnya. Alat pengukur panas menunjukkan suhu tubuh Indah mencapai 38 derajat cercius. Gadis itu berusaha tak panik, membangunkan Indah secara lembut untuk makan dan minum obat terlebih dahulu.
“Ndah, bangun dulu yuk. Ara tadi pesen bubur ayam di Grab Food.”
Indah membuka matanya secara perlahan-lahan. Saat jiwanya mencapai kesadaran penuh, Indah mengingat lagi peristiwa semalam yang sangat menghancurkan batinnya. Lebih baik ia tertidur seperti tadi, memorinya tak akan memutar kembali kejadian yang akan selalu bersemayam di relung ingatannya. Batin Indah merasakan sesak ketika mengingat kembali piano putih tersayangnya yang sama sekali tak bisa terselamatkan. Terlalu banyak kenangan bersamanya. Luruh. Semuanya telah luruh.
Ia harus kuat. Tidak boleh seperti ini. Biarkan dirinya dihancurkan berkali-kali dan ia akan bangkit satu juta kali. Indah mencoba duduk, mengambil semangkuk bubur yang ditawarkan Ara. Ia menolak tawaran sahabatnya yang berkenan untuk menyuapi. “Gue makan sendiri aja,” ucapnya yang terdengar begitu berat.
“Dihabisin ya, Ndah.”
Indah mengalun pelan, menikmati buburnya secara sedikit demi sedikit. “Gue semalam syok aja. Kok bisa ini kejadian di gue. Biasanya cuma lihat diberita atau film-film doang. Sekarang gue udah nggak punya apa-apa lagi. Piano gue…” Indah tak bisa melanjutkan ucapannya. Lagi, Ara dan Putri memberikannya satu pelukan yang hangat di bahu gadis itu.
“Udah ya, Ndah. Nggak usah diingat-ingat lagi,” kata Ara terdengar lirih, seperti menahan tangis. Dirinya tak boleh mengeluarkan air matanya di depan Indah. Ia harus membantu sahabatnya untuk tegar menghadapi yang telah terjadi.
“Gue semalem langsung tidur sehabis pulang dari kebun binatang. Gue syok saat bangun sudah ada api dimana-mana. Apalagi di rumah posisinya cuma berdua sama Ibu. Ayah masih ngojek.” Indah menghentikan kalimatnya. “Gue hampir mati kemarin...” Indah menunduk, menjatuhkan air matanya yang sudah kesekian kali hadir kembali. Kedua sahabatnya semakin merekatkan pelukannya. Hatinya terasa sedikit damai dan merasa beruntung memiliki sahabat seperti mereka.
“Lo nggak kehilangan semuanya, Ndah. Masih ada kita, Tante Melissa, Pak Ghani, bahkan Om Shaka.” Ara mengangguk sepaham dengan perkataan Putri. “Kita bakal terus ada di samping Indah. Bagi Ara, Indah sudah lebih dari sekedar sahabat. Terlalu banyak kenangan yang kita lalui bareng-bareng.”
Hati Indah menjadi lebih tenang. Ia tidak merasa sendiri menghadapi hidup yang tak sejalan dengan tuju dan harapnya.
Ara gagal menahan tangisnya. Air matanya kembali pecah ketika mengingat semua yang telah mereka lalui bersama. Tak sekalipun ia menyesal memiliki sahabat seperti Indah dan Putri, walaupun berasal dari kalangan yang berbeda. Semua manusia sama di mata gadis itu. Tak pantas kita membeda-bedakan, toh Tuhan saja menganggap manusia dengan status dan kedudukan yang sama.
Indah melirik kanan-kiri, mencari sosok lelaki yang semalam menemuinya pertama kali, bahkan rela menerjang riuhnya peristiwa itu, hanya untuk mencarinya. “Kalian lihat Riza? Semalam dia izin ke gue mau bantu yang lain.”
“Tadi Riza sempat kesini kok. Dia nggak tega mau bangunin Indah. Riza katanya hari ini ada bimbingan skripsi sama dosen pembimbingnya. Habis urusan kampus beres mau kesini.” Seketika Indah mengingat laptop dan tugas-tugas kuliahnya. Untungnya semua itu masih bisa ia selamatkan beserta beberapa stel pakaian yang mungkin masih cukup untuk bertahan untuk satu minggu kedepan. Selanjutnya, akan ia pikirkan pelan-pelan.
Suara ponsel Ara berdering, menunjukkan panggilan yang datang dari Pak Ghani. Ara mengangkat telepon itu kemudian menyalakan loudspeaker agar Indah bisa mendengarnya. “Halo Assalamualaikum Ara. Maaf om mau tanya, bagaimana keadaan Indah? Masih tidur?”
Indah mengambil ponsel Ara yang di taruh di atas bed cover yang menyelimuti tubuhnya. “Ini Indah Yah. Aku baik-baik saja.”
Terdengar suara helaan napas melalui telepon. Seperti kelegaan. Indah dapat merasakan kekhawatiran ayahnya. Padahal pria itu juga patut dikhawatiri. Dari semalam, sepulang mengojek pasti belum tidur.
“Alhamdulillah kamu baik-baik saja.”
“Ayah sama Ibu di mana?”
“Masih di posko, Ndah. Terlalu banyak korban yang luka-luka.” Sebagian dari dirinya merasa dibutuhkan di sana. Tubuhnya mungkin akan baik-baik saja setelah meminum sebutir paracetamol yang diberikan Ara. “Aku ke posko aja ya, bantu-bantu di sana.”
Tanpa jeda Ayahnya menjawab tegas, “Nggak usah!! Kamu di apartemen Ara saja. Ada Om Shaka juga bantu-bantu di sini. Tubuhmu biar pulih dulu!”
Sebenarnya tubuhnya masih belum bisa diajak berkompromi. Indah mencoba membohongi dirinya sendiri, namun kenyataan raganya masih cukup lelah untuk kembali memberikan bakti pada tempat yang sudah menemaninya selama dua puluh tahun lebih ia tinggali. Hatinya juga sedikit melega mendengar Omnya ikut datang membantu.
*****
Mereka memandangi kembali rusun yang telah hancur lebur, tak tersisakan apa-apa lagi, hanya puing-puing bermemori yang tak lagi nyata. Air matanya sudah terlalu mengering menangisi apa yang telah terjadi. Sekarang yang mereka lakukan hanyalah pasrah dan ikhlas. Memikirkan langkah yang akan dikehendaki selanjutnya.
“Gue masih ngerasa ini mimpi.” Tangan Indah mengelus kaca jendela apartemen Ara, seolah meraba rusunnya yang sudah benar-benar hancur. Benaknya masih meragu, apakah ini mimpi, atau dirinya tengah dibawa ke dunia lain yang tak ia kenali.