Dunia ini sudah terlalu ramai dengan ambisi manusia yang tak pernah ada habisnya. Mereka bagai tidak pernah bisa merasakan cukup atas anugerah yang telah Tuhan limpahkan. Percaya atau tidak, mereka perlahan menjelma sebagai puing-puing yang akan menghancurkan bangsa.
Lelaki itu menghentak-hentakan kakinya dengan gerakan pelan di lantai berbahan marmer. Sangat berbeda dengan rumahnya dulu yang kini tidak berbentuk lagi. Perasaan gejolak di hatinya tak bisa ia semayamkan sendiri. Di kepalanya penuh dengan pradugaan yang terus menganggunya. Ini bukan lagi tentang dirinya yang kehilangan segalanya, tetapi tentang keadilan bagi setiap kaum yang tertindas.
Apartemen Ara kini menjadi basecamp mereka setelah ruang belajar di rusun telah habis tak tersisa. Pak Jusuf mengumpulkan para mahasiswa yang sudah sangat akrab dengannya. Lelaki itu tak ingin menyimpan isi pikirannya sendiri. Ada beberapa hal ganjil yang berkaitan dengan peristiwa yang telah terjadi.
Pak Jusuf menarik napas pelan, membuka obrolan yang hening di antara mereka. “Saya merasa ada yang janggal dari semua kejadian ini.”
Riza menaikkan alisnya, masih belum paham dengan maksud ucapan guru itu. “Maksudnya janggal Pak?”
Pria itu mencoba berbicara dengan tenang, agar semua isi pikirannya bisa tertangkap dengan jelas oleh mereka. “Mengapa peristiwa ini terjadi bertepatan dengan masalah pemindahan rusun yang sedang ramai-ramainya diperdebatkan? Semua terlalu sulit dipercaya jika hanyalah sebuah kebetulan belaka.”
Indah bersama Putri datang dari dapur membawakan satu teko penuh sirup rasa mocca. Ia bertanya sambil menuangkan sirup ke masing-masing gelas kosong yang sebelumnya sudah disiapkan di atas meja. “Maksud Pak Jusuf kebakaran ini ada unsur kesengajaan?”
Pak Jusuf menggerakkan jarinya, mengetuk pelan dahinya, “Sekarang saya minta, gunakan pikiran kalian, seolah-olah menjadi pengelola rusun. Apa cara terbaik untuk menangani kasus ini dengan cepat, tepat, tanpa ada perlawanan dari warga rusun yang berkepanjangan?”
Ara mengangkat tangannya. Dahinya berkerut mencoba mengingat informasi yang dulu didapat dari ayahnya. “Tujuan awal pemindahan rusun, dikarenakan kawasan itu akan dijadikan tower baru apartemen ini. Jika semua sudah habis terbakar, bukannya mereka yang diuntungkan?”
“Betul sekali Ara. Mereka semacam dibuat tunduk dan menerima keputusan. Mau tidak mau, terima tidak terima, mereka harus pindah karena di tempat ini pun sudah nggak ada yang tak tersisa.”
Riza berujar, bergantian mengeluarkan pendapatnya. “Lagipula ini nggak masuk akal. Masa cuma lupa matiin kompor bisa ngebakar satu rusun?”
Dengan lugas, Indah mencoba menjelaskan kondisi rusun pada Riza. “Sebenarnya pusat kontrol listrik itu dekat warung Pak Pram, Za. Apalagi kalau api mengenai kabel ruwet yang menjuntai di rusun. Bisa bikin api semakin melebar karena bakal terjadi konsleting listrik. Mungkin itu salah satu pemicunya. Belum lagi situasi jalanan saat itu lagi ramai karena ada festival. Mobil damkar kesulitan menuju kemari.”
“Harusnya pengelola rusun bisa disalahin dong! Kabel yang ruwet itu harusnya jadi perhatian khusus sebagai langkah preventif kalau hal-hal kayak gini terjadi. Kalau bicara masalah kelalaian, bukan Pak Pram doang yang salah.” Ara mendengkus keras, selalu kesal jika mengingat Pak Pram yang dituduh penyebab dari kebakaran ini.
“Sebentar. Ra, lo tahu pemilik apartemen ini nggak? Atau ada informasi pas lu beli apartemen ini?” tanya Riza sambil menunjuk Ara menggunakan pulpen birunya.
“Nggak tahu Za kalau soal itu. Apartemen ini pemberian dari Yang Kung. Ara kurang paham pas akad-jual belinya. Kalau masalah pemiliknya, Ara coba cari di internet ya.” Riza menggangguk paham, kemudian jarinya bergerak membantu Ara mencari informasi mengenai apartemen ini.
Ara membuka website resmi apartemen tempatnya tinggal. Tertulis jelas perusahaan development apartemen ini bernama PT. Antara Urban Property. Nama yang tak asing di telinga gadis itu. Kemudian ia bergerak mencari informasi pemilik saham perusahaan ini. Mata Ara terbelalak melihat siapa pemegang saham terbesar apartemen ini. Tak hanya kenal, tetapi orang inilah yang membuat hubungannya bersama Hamzah berakhir. Ialah jurang pemisah itu.
“Tertera Abisatya Biantara pemilik saham terbesar apartemen ini. Lalu ada beberapa pemilik saham yang lainnya juga,” ucapnya berusaha santai dan tidak peduli padahal hatinya kesal setengah mati.
Indah berbicara dengan mata yang melirik ke atas, berusaha berpikir dan mengingat siapa orang yang disebut Ara. “Abisatya itu bukannya yang punya yayasan beasiswa terkenal itu ya? Sekolahin anak-anak berprestasi terus nanti ia rekrut di perusahaannya. Salah satu keturunan sembilan naga di negeri ini.”
Pak Jusuf menjentikkan jarinya. “Yap, itu branding dia saat ini. Selain itu, dia pengusaha yang terjun ke politik dengan bergabung ke dalam Partai Suara Rakyat yang dominasi kadernya tuh para pengusaha. Partai ini sekarang elektabilitasnya lagi di atas angin. Hampir seluruh kadernya menguasai titik-titik daerah baik kota besar ataupun kecil. Tapi yang namanya politik itu dinamis dan tidak bisa ketebak. Saat ini mereka emang elektabilitasnya tinggi. Bisa jadi akan muncul partai yang lebih kuat dari mereka.” Mereka saling berpandangan satu sama lain terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Pak Jusuf.
Indah kembali melakukan pencarian profil Abisatya lebih lengkap di internet, masih penasaran dengan pengusaha sukses itu. Jarinya menari-nari di atas keyboard laptop Ara, mencari berita-berita tentangnya dibantu oleh Putri. Semua yang berkenaan dengannya, tak ada yang negatif, malah cenderung positif. Semua statement yang selalu dikeluarkan dari mulutnya, seolah terjaring dengan rapi. Siapa sebenarnya Abisatya? Apakah ia politisi yang sesempurna itu?
“Coba lu buka profil Linkedln die Ndah!”
Indah menuruti saran dari Putri. Dengan mudah, gadis itu berhasil menemukan profil Abisatya yang terkoneksi lebih dari 500 akun. Seluruh kegiatannya, baik berkenaan dengan politik ataupun perusahaan, ia posting seluruhnya di platform tersebut, bahkan beberapa kegiatan di situ tak diposting di Instagramnya yang diikuti oleh 2,5 juta followers.
Tangannya gemetar, mulutnya kelu, melihat suatu postingannya yang berada di lembaga sosial yang menaungi program pengabdiannya. Indah lupa jika salah satu perusahaan pria itu menjadi salah satu investor di kegiatan itu.
“Guys, lihat ini!! Perusahaan Abisatya ternyata salah satu yang mendanai program pengabdian kita!” Indah mengirim link postingan tersebut kepada mereka, agar masing-masing dapat melihatnya lebih detail dan jeli.
“Benar Ndah! Ini perusahaan foundation beasiswa yang menaungi ribuan mahasiswa ke luar negeri. Kenapa kita nggak sadar selama ini??” Ara menggenggam erat tangannya, memukul pelan ke meja, mengapa ia begitu lalai dan tak mempelajari sedari awal, siapa saja yang berpartisipasi dalam program yang ia ikuti.
“Jangan-jangan program kita…”
Mereka saling berpandangan satu sama lain, memikirkan hal yang sama. Money Laundry.
Riza mengacak rambutnya dengan kasar, begitu pusing dengan dugaan-dugaan yang bisa saja terjadi. ”Ini gila sih!!! Pantes aja, kenapa dana tunjangan buat program kok kecil banget, tahunya…” pria itu tak melanjutkan kata-katanya. Ia sudah tak tahu lagi harus bagaimana.