Sempurna. Itulah yang manusia inginkan dalam hidupnya, hingga lupa dengan tujuan awal kita tercipta itu untuk apa. Walaupun sebenarnya, hampir delapan puluh persen manusiapun tidak mengetahui apa tujuan kita tercipta di dunia ini.
Dengan gusar, Ara mengambil duduk di depan teman-temannya yang sedang terfokus menatap layar laptop Riza, entah apa yang mereka bahas. Ara tak cukup energi untuk bertanya lebih lanjut. Ia hanya diam, menegur mereka satu persatu, kemudian kembali berkutat pada ponselnya, membalas pesan dari Bunda untuk pulang tidak lebih dari jam tujuh malam, khawatir dengan masalah yang kemarin menimpanya karena video kontroversial itu.
“Gimana Ra dosen lo?”
Ara hanya menggariskan senyum tipis di bibir kirinya. Itupun dengan setengah tak ikhlas. Kepalanya terasa sangat berat memikirkan ini semua. “Ya gitu deh.”
“Gitu gimane Ra?” ujar Putri yang mendekatkan kursinya padanya.
“Ara masih dikasih satu kesempatan terakhir untuk menyelesaikan mata kuliah.”
Jantung mereka semua hampir mencelos, mengira bahwa takdir tak memihak pada Ara. Gadis itu hanya ingin menyuarakan suaranya. Itu saja, tak lebih, walaupun caranya terlalu berani dan tak memikirkan dampak kedepannya.
“Alhamdulillah kalau begitu, Ra. Selanjutnya kalau lo mau berbuat sesuatu, baiknya minta saran dan masukan dulu dari kita-kita. Jangan pernah anggep kita orang lain,” kata Riza yang terdengar begitu lembut dan penuh perhatian padanya. Tangannya sempat ingin menyentuh jarinya, tetapi sepertinya ia urungkan. Ara bisa menangkap kekikukan dalam diri Riza saat itu. Entah apakah ini perasaannya saja, atau kedua sahabatnya dapat membacanya juga.
“Makasih Riza.”
“Ceritain lengkapnya dong, Ra!” pinta Indah yang penasaran dengan detail pertemuannya dengan dosen.
“Ara nggak sangka, permasalahan ini bakal seruntut ini. Tadi Ara disidang. Ada seluruh dosen prodi, dekan, rektor, perwakilan pihak yang menggugat, bahkan tadi sempat Ayah dihubungi lewat Zoom juga. Ara tadi ke ruang rektorat, bukan ruang prodi.”
Seketika mata seluruh teman-temannya terbelalak, terkejut dengan pengakuan Ara yang sebelumnya gadis itu memang izinnya ke ruang prodi dan hanya bertemu dengan dosen yang bersangkutan saja. Jika seperti itu, lebih baik mereka menunggu di kantor rektorat saja, daripada di perpustakaan yang hanya meracau tidak jelas, membicarakan nasib yang sudah tak bisa ia tetapkan ulang kembali.
“Kok lo nggak ngomong ke kita Ra? Ini lo dijebak Ra!!”
Gadis itu menunduk pelan, terlihat raut kesedihan di rupanya. “Ara hanya ingin masalahnya cepat selesai aja. Di pertemuan itu juga Ara lebih banyak diam dan setuju. Apapun yang akan mereka putuskan, Ara sudah terima, bahkan jika harus keluar dari kampus ini.”
Teman-temannya hanya diam, tak ingin merespon Ara terlebih dahulu. Biarkan ia cerita saja dulu selengkap-lengkapnya, baru membuka pembicaraan mengenai hal ini.
“Mereka interogasi tujuan dan motif dari video itu. Ara berbicara jujur semua tentang rusun kepada mereka, tidak ada yang ditutup-tutupi. Kampus kita berurusan dengan beragam media dan mendapat teguran dari pihak terkait, karena video itu sudah masuk dalam pelanggaran UU ITE. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam, Ara harus buat video permintaan maaf, diposting di sosial media, kalau mau tetap bisa lanjut mata kuliah ini.”
Mereka saling berpandangan satu sama lain, benar-benar tak menduga jika permasalahan ini bisa sepanjang ini. Pantas saja Ara terlihat lesu dan lemas sekali. Tak bisa mereka membayangkan hidup Ara selepas ini, yang dibayang-bayangi stigma buruk seorang pengujar kebencian di sosial media.
“Terus lo gimana Ra?”
“Ara mutusin buat terima permintaan mereka. Membuat video permintaan maaf.”
Dua kalimat yang membuat rekan-rekannya lega. Untungnya gadis itu tak ingin memperpanjang masalahnya, dan lebih menuruti ego, menganggap dirinya tetap benar. Mereka hanya mahasiswa, tak punya kuasa apa-apa seperti mereka.
Ara menggariskan senyum di wajah cantiknya, berusaha ikhlas dengan apa yang telah terjadi. Putri dan Indah memberikan peluk, mengirimkan semangat untuknya. Terasa hangat dan melegakan karena ia tak pernah sendiri.
“Gue sama Putri bangga sama lo,” ucap Indah semakin erat memberikan peluknya.
Dari semua yang telah terjadi, Ara belajar kata ikhlas yang sesungguhnya. Terkadang memang hidup tak sesuai rencana dan kita harus menerimanya dengan lapang dada. Bagi mereka, keputusan untuk membuat video permintaan maaf mungkin sebagai definisi kata menyerah. Tidak. Ara belum kalah. Ia hanya melangkah mundur sejenak untuk berjalan lebih jauh lagi. Pak Pram memberikan makna yang tak pernah terlupakan, dan akan tersimpan menjadi pegangan hidup kedepannya.
Ara tiba-tiba tersadar dengan tujuan Riza tadi meneleponnya dan menyuruh untuk secepatnya datang ke kampus. “Tadi apa yang mau Riza omongin?”
Pria itu kelimpungan harus menjelaskan bagaimana pada gadis itu, bahwasanya ada masalah dengan lembaga yang mendanai proyek pengabdiannya. Riza menggaruk kepalanya yang tidak gatal, memberikan satu kedipan mata pada Indah, memintanya gadis itu saja yang menjelaskan kepada Ara.
“Sebelum gue kasih tahu kabar mengenai proyek pengabdian kita, gue mau minta lo tenangin diri dulu Ra. Kita bahas di kantin aja gimana?”
Ara menggeleng tegas, menolaknya. “Ara nggak apa-apa Ndah. Ceritain aja.”
“Benar nih?” ucap Indah seperti meragukan pernyataan Ara.
“Iya Ndah.”
“Riza tadi habis datang ke lembaga sosial. Kita didiskualifikasi dari proyek Ra.”
Tubuh Ara membeku. Jari-jarinya mengepal. Wajahnya menunduk sejenak, mata beralih menatap langit-langit perpustakaan dengan pandangan kosong. Baru saja satu permasalahan selesai, kini harus kembali lagi berhadapan dengan permasalahan baru. Seperti lingkaran yang tak memiliki ujung sisi.
“Ini gara-gara Ara ya?”