Eye-Catching
Salah satu cara memikat konsumen, adalah dengan kemasan produk yang menarik. Ekonom menyebutnya Eye-Catching. Ternyata, dari ribuan mahasiswa di kampus ini, ada seorang lelaki yang tercipta seperti itu. Sekali kamu melihatnya, jangan bohong kalau kamu tidak tertarik!
***
“Siapkan semua berkas dan dokumen terkait PREDIKSI. Kita rapat kembali esok hari, jam sembilan, tidak lebih!” sambungnya kemudian.
“Wawan?” Panggil gadis itu pada lelaki yang duduk di sisinya.
“Ciyeee.” Anggota DIKSI kompak menyoraki mereka.
“Awan..”Ujar lelaki bermata teduh itu, mengoreksi panggilan untuknya.
“Udah Wan.. terima aja! Panggilan sayang itu namanya..” Andin menggoda mereka berdua. Mengundang sorak-sorai kembali dari ruangan bernuansa minimalis itu.
Nama aslinya Muhammad Setiawan. Rekannya biasa memanggil Awan, karena memang dia ingin dipanggil seperti itu. Biar keren, ujarnya bila disinggung. Namun gadis itu terang-terangan tak mau memanggil Awan dengan panggilan tersebut. Ia lebih suka memanggilnya Wawan atau Setiawan sekalian. Kata gadis itu, si wakil ketua DIKSI akan menjadi semakin tengil bila disapa sebagai Awan.
Sebenarnya, Awan tidak perlu berusaha untuk terlihat keren. Dari sudut manapun, orang akan mampu untuk menyimpulkan bahwa dirinya keren. Meski tidak berkarisma seperti Reza ataupun tidak setampan Rama (ketua MELODI), namun Awan memiliki daya pikat tersendiri. Kulitnya kecoklatan khas kulit orang Indonesia. Tingginya semampai. Tatapannya selalu meneduhkan. Bila tersenyum, deretan giginya akan berbaris rapi, dengan lesung pipi di sisi kiri. Rambutnya diikat ke belakang, meski tidak terlalu panjang. Sisanya dibiarkan tergerai berantakan. Ia selalu memakai kemeja dengan kancing terbuka, hingga terlihat kaus putih didalamnya. Di pergelangan tangannya tersemat gelang hitam, entah pemberian siapa. Tak lupa ia selalu membawa ransel coklat yang tak kalah kusut dari candaannya. Anehnya, dengan penampilan seperti itu, banyak mahasiswi kampus yang terpikat.
Mungkin, itu semua berkat perangai baik Awan, hingga ia dipercaya mendampingi gadis itu menjadi ketua DIKSI. Ia tak sungkan membantu siapapun, jika ada yang memerlukan. Ia tak sungkan menebar senyum bahkan pada tukang sapu yang tak ia kenal. Jadi, bisa dibayangkan, bila ada seorang mahasiswa sekelas Awan tersenyum padamu, percayalah, itu bukan cinta, tapi fatamorgana. Seperti yang dirasakan gadis itu.
Ngomong-ngomong, nama gadis itu bernama Savira Setiawati. Ya, nama mereka nyaris sama, Setiawan dan Setiawati. Mereka memiliki panggilan sendiri satu sama lain. Awan biasa memanggil Savira dengan panggilan, Titi, Wawat, ataupun sekedar Wat. Meski awalnya Savira agak keberatan. Tapi akhirnya ia menjadi acuh tak acuh, setelah melakukan hal yang sama. Memanggil Awan dengan panggilan Wawan ataupun Setiawan.
Pertemuan perdana mereka, terjadi saat interview jurusan. Saat itu mereka mendapat giliran interview yang sama dengan dua peserta lainnya. Saat itu pula mereka mengetahui bahwa nama mereka nyaris sama. Dosen interviewer bahkan sampai terkekeh saat membaca nama mereka berdua yang saling berurutan. Terheran, mengapa di zaman modern ini masih ada nama seperti itu.
Saat ditanya dosen mengenai alasannya memilih jurusan ekonomi, Savira mengatakan bahwa tujuannya memilih jurusan ini, murni karna keinginan orang tua. Kala itu Awan terkekeh, terdengar sedikit naif, gumamnya. Namun, saat Savira mendengarkan alasan Awan, ia lebih terkekeh lagi. Katanya, Awan ingin menafkahi anak dan istrinya dengan baik dan benar di masa mendatang. Sontak peserta interview memandangnya, kemudian terbahak, tak terkecuali Savira. Dosen itu menurunkan kacamatanya, menghela nafas, kemudian ikut tertawa. Sungguh jawaban yang tak pernah ia dengar selama wawancara jurusan.
Lihat? Betapa tengilnya Setiawan.. Batin Savira. Namun bodohnya, ia suka. Ia menyukai gaya Awan yang terlalu percaya diri. Ia menyukai Awan yang tengil. Ia menyukai candaan Awan yang acap membuat perutnya sakit. Bahkan ia menyukai Awan yang memanggilnya dengan panggilan lain itu. Tapi semuanya tak bertahan lama. Savira buru-buru menyingkirkan perasaannya. Karena, bila ia menyimpannya, ia akan beradu dengan banyak mahasiswi dari berbagai semester. Dalam arti lain, ia harus siap patah hati.
Sejak mereka berada dalam jurusan yang sama, juga UKM yang sama, banyak mahasiswi mendatangi Savira. Tak peduli kakak tingkat, adik tingkat, atau mungkin teman seangkatannya di lain jurusan. Tentu mereka tidak menanyakan kabarnya, tetapi menanyakan Awan. Beberapa menanyakan makanan favoritnya, buku favoritnya, atau kesukaannya saat ini, yang bahkan Savira pun tak tahu menahu. Namun, beberapa lainnya juga menanyakan arti dari sikap Awan. Maklum, seperti yang sudah dijelaskan, dia memikat, berperangai baik, dan tengil. Banyak mahasiswi menyalahartikan sikap atau bantuan darinya. Biasanya, mereka akan curhat pada Savira. Jadilah ia membuang perasaan itu jauh-jauh. Ia hanya bisa mengatakan pada mahasiswi-mahasiswi itu “Selamat terjebak di dunia cowok yang baik ke semua orang.”. Dan biasanya kalimat itu sukses membuat decak dan helaan nafas pada siapapun yang mendengarnya, termasuk dirinya.
Kembali ke ruangan rapat.
“Iya Setiawan. Tolong siapkan anggaran total untuk keseluruhan acara.” Kali ini gadis itu memanggilnya dengan nama asli.
“Oke Wawat.. Anggaran resepsi kita, sekalian nggak?” Awan bergurau. Namun, kembali berhasil menggetarkan rasa yang sudah dibuang Savira jauh-jauh.
“Uhuyyyy” Balas anggota DIKSI kemudian. Awan memang selalu berhasil memecah suasana tegang menjadi senggang.
“Baiklah, kita tutup rapat hari ini. Terimakasih atas kerja keras teman-teman sekalian.” Kali ini Savira memilih untuk tidak membalas gurauan Awan. Kalimat penutupnya itu sukses menimbulkan sorak-sorai anggota DIKSI dan tabuhan-tabuhan tak bernada di atas meja. Pertanda mereka masih ingin menggoda ketua dan wakilnya itu.
***
Savira mengendarai motornya dengan tatapan kosong. Pikirannya masih menerawang menit itu. Menit saat pihak TU memanggilnya ke kantor. Savira berfikir, mereka akan memberitahu nominal anggaran untuk PREDIKSI tahun ini. Tapi meleset jauh. Pihak TU justru membakar habis semua angannya. Awan yang saat itu menemaninya, mencoba menanyakan alasan tiadanya dana tersebut, ia bahkan mendesak. Namun Savira memilih untuk mengajaknya pergi, percuma menggugat keputusan yang mutlak. Lebih baik mencari jalan lain yang masih bisa ditapaki, batinnya.
Tetapi Savira bohong. Hati kecilnya masih bertanya ‘mengapa?’. Ia jelas berada dalam tanya yang sama dengan Awan. Bedanya, Savira tidak sejujur itu. Beragam hipotesa disusunnya, mencoba mencari alasan selogis mungkin. Berulang kali ia singkirkan curiga yang menghardiknya sejak kabar itu sampai di telinga. Namun gagal. Tak ada jawaban yang diterima logikanya. Menurutnya, semua yang ada pada tahun ini cukup mirip dengan tahun lalu (khususnya terkait administrasi) tetapi mengapa yang satu ini berbeda? Mengapa dana itu tiada?
“Tiiinnnn” Suara klakson itu membangunkan Savira dari lamunan. Saking memikirkannya, Savira tak kunjung melajukan motornya, setelah lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Ia lantas menoleh ke belakang, meminta maaf. Kemudian melajukan motornya.Ia teringat harus bergegas ke suatu tempat.
***
Beberapa saat sebelum Savira melajukan motornya.
Sesungguhnya wajah gadis itu bersemu kemerahan saat rekannya mengolokinya dengan Awan. Mungkin itu pengaruh dari perasaannya yang sempat hinggap untuk Awan, tapi ditepis mentah-mentah. Ia memilih untuk tidak jatuh terlalu dalam, karena biasanya menu jatuh cinta akan dihidangkan sepaket dengan sakit hati, bila belum terikat oleh pernikahan. Tapi Awan berbeda.
“Wawat..” panggil seseorang dari belakang. Namun gadis itu memilih untuk terus melangkah menuju motornya di parkiran.