Complementary VS Substitution
Ada barang yang ditakdirkan untuk saling melengkapi, seperti bensin dengan mobil. Ekonom menyebutnya barang komplementer. Namun ada juga barang yang ditakdirkan untuk saling menggantikan, seperti jagung dengan beras. Kisah cinta anak manusia, tak jauh berbeda dari keduanya. Inginnya berakhir untuk saling melengkapi, namun seringnya justru harus terganti.
***
Savira tiba pada alamat yang dikabarkan Awan. Tempat itu penuh meja dan bangku dengan dekorasi aestethic. Alunan shalawat mendayu menghiasi langit-langitnya. Para pelayan lalu lalang menghidangkan makanan. Aromanya sontak membangkitkan rasa lapar Savira. Ya, sebuah kafe. Ia mencari sosok yang mengantarkannya pada tempat ini.
Setelah mengedarkan pandang, ia menemukan sosok tersebut sedang asyik menyeruput minumnya. Terlihat raut wajah yang sudah mengisyaratkan tunggu yang lama. Saat Savira tertangkap matanya, Awan melambaikan tangan. Isyarat untuk segera ikut bergabung.
“Lama amat Wat? Nyasar ya?” Awan tampak selesai menghabiskan segelas es Jeruk di depannya. Jelas ia sudah lama menunggu.
“Hehe, maaf.” Savira hanya bisa tersenyum. Sambil mencari sosok yang diceritakan Awan.
“Sabar..duduk dulu. Orangnya lagi otw.” Awan yang menangkap rasa penasaran Savira langsung memintanya untuk duduk.
“Katanya kita ke tempat temen lo, kok malah ke kafe, Wan?”
“Iya, karna ini juga usaha dia.”
“Keren ya temen lo.” Puji Savira.
“Biasa aja ah.”
“Kok gitu?”
“Masih kerenan gue.”
“Idih, dari mananya?”
“Dari sini.” Awan menepuk dadanya dengan telapak tangannya, diikuti helaan nafas dari Savira, kapan dia tidak tengil, sekali saja?
“Eh, itu dia! Kak Reza!” Awan melambaikan tangan pada sosok yang baru saja memasuki.
Awalnya, mendengar nama itu disebut, Savira tampak baik-baik saja. Ia mengira Reza yang dimaksud adalah orang asing yang tak ia kenal. Namun, melihat sosok yang dikenalinya berjalan ke arah meja mereka, Savira ciut nyali. Reza yang dipanggil Awan, ternyata adalah Reza yang ia kenal. Reza teman seangkatan kakaknya, yang membuatnya semakin cinta dengan sastra. Reza yang suaranya sering menggema pada langit-langit Masjid Mukhlisin, masjid kampus. Reza yang tidak jarang mengisi khutbah Jum’at, saat kedapatan kuliah di hari tersebut. Reza yang sering tak sengaja bertemu dengan Savira saat pulang pergi shalat di Masjid Mukhlisin. Reza yang dapat menjaga sikap, ditengah piranti dunia yang mengarahkan pemuda ke arah zina. Reza yang pada dirinya, berlabuh sebuah karunia Allah bernama cinta.
Mengapa Savira memantapkan cintanya untuk Reza? Jawabannya sederhana, karena pada seorang Reza terletak sesuatu bernama kepastian. Reza tidak banyak dekat dengan wanita, bahkan nyaris tidak ada. Jadi, arti sikapnya sangat mudah didefinisikan. Jika dia suka, akan terlihat. Jika dia tidak suka, juga akan terlihat. Kata-katanya selalu padat makna, tidak sekosong kalimat canda. Singkatnya, ia adalah panutan.Sst, jangan beritahu Reza, Savira memilih untuk mencintainya dalam diam. Takut kalau saja Syaithon bermain dalam angan-angannya. Ia pasrahkan sepenuhnya jalan cintanya pada Maha Cinta.
Sungguh, cintanya pada Reza terdengar tulus. Savira tidak berharap cinta itu akan terbalas nantinya. Ia hanya menghargai anugrah yang diberikan Allah pada seorang hamba, perasaan cinta. Ia hanya mencoba mencintai mahkluk yang juga mencintai Rabb-nya. Ia akan belajar banyak dari perasaan itu. walaupun Savira tidak dapat menebak, pelajaran apa yang akan diajarkan Allah untuknya. Apakah itu tentang penantian, mengikhlaskan, kesabaran, atau mungkin kepatuhan?
Berbeda dengan Awan, terlalu banyak wanita yang ia dekati. Sekadar terbuai sikap manis atau gurauannya, akan berakhir menyakitkan. Karena pada dasarnya, ia berlaku seperti itu pada semua orang. Tolong ingat poin itu. Awan juga tidak terlalu menonjol dalam kegiatan keagamaan yang diselenggarakan kampus. Sejujurnya Savira tidak menyukai rambut panjang Awan. Termasuk juga kebiasaannya merokok. Sekalipun jantungnya sering berdegup tak karuan kala lelaki itu dekat dengannya. Maklum, syaiton kerja keras habis-habisan dalam hal ini.
“Eh Wan, assalamualaikum” Reza menyapa, sembari menarik kursi kafe.
“Waalaikumsalam.” Jawab mereka serempak. Reza melihat Savira sejenak. Kemudian berbicara kembali.
“Ini, adeknya Nopal bukan?”