EQUILIBRIUM

fiula nafiah
Chapter #6

Fiscal Policy


Fiscal Policy : Kebijakan Fiskal

Ada kalanya ekonomi suatu negara menurun, sedangkan angka kemiskinannya meningkat. Saat itulah pemerintah sering mengambil kebijakan fiskal untuk memperbaiki keadaan. Dalam dunia bernama keluarga, peran pemerintah biasanya diambil alih orang tua. Sayangnya, banyak kebijakan mereka yang sering mengorbankan kebahagiaan seorang anak. Mereka berdalih, “Demi kepentingan kamu”. 

***

Meski enggan mengakui, namun ‘Savira’ itu memang benar dirinya, tidak bisa memasak. Selanjutnya kalimat itu diikuti oleh gelak tawa Naufal yang sama sekali tak terjeda. Puas sekali ia mengolok-olok adiknya dengan seseorang di sebrang telfon sana. Kakinya terus melangkah ke arah kamar. Savira masih membuntutinya di belakang.

 “Gue ini adik tiri apa kandung sih? Punya kakak gini amat” Lirihnya.

“Blarrr” Savira terkejut, mendengar riuh pintu kamar Naufal ditutup. Setelah itu Savira tidak dapat lagi mengetahui isi pembicaraan Naufal yang menyita nama dan perhatiannya itu. Apa sesungguhnya yang direncanakan kakaknya?

“Dek!” Panggil seseorang dibelakangnya. Savira terkejut untuk kedua kalinya.

“Eh?! Iya Bun?” Jawab Savira tergagap. Ia melihat sang Bunda sudah berdiri di belakangnya, entah sejak kapan. Bunda membawa dua cangkir teh hangat, Savira langsung menggantikan Bunda untuk membawanya.

“Ikut Bunda, yuk!” Tutur sang Bunda, sembari melambaikan tangan ke tempat yang dimaksud. Savira tak menjawab, hanya sebuah anggukan kecil beserta senyum manis yang dimilikinya sejak lahir. Tak pernah sekalipun ia membantah titah Ayah atau Bundanya.

           Kini mereka duduk di depan kolam ikan yang sengaja dibuat sang Ayah di taman belakang. Tempat yang Asri, sejuk dan damai. Banyak keputusan yang sudah lahir di tempat ini. Banyak ayat yang sudah dihafal Savira di tempat ini. Banyak canda yang sudah melekat di setiap senti tempat ini. Banyak nasihat yang diperdengarkan di tempat ini. Kali ini Savira tidak tahu, mana dari salah satu alasan di atas, yang membuat sang Bunda mengajaknya kesini.

“Gimana skripsimu?” Tanya Bunda, basa-basi. Kemudian menyeruput pelan teh hangat dalam cangkir.

“Proposalnya masih ada revisi, Bun. Insya Allah secepatnya Sidang Proposal, doain Savira ya..” Ia memeluk Bundanya manja.

“Oh Tentu dong.” Jawab Bunda. Kemudian hening menerpa beberapa saat, keduanya tenggelam dalam damai gemercik air kolam ikan yang dipadu dengan lampu temaram. Savira menatap Bunda yang pandangannya sedikit kosong.

“Bun, lagi mikirin apa? Kok sedih gitu?” Savira membelai lembut tangan Bunda yang tak lagi muda.

Bunda menoleh padanya, kemudian tersenyum, seperti biasanya. Senyum yang mirip dengan Savira, kala usia Bunda masih muda. “Nggak. Bunda gak nyangka aja, kalian semua udah besar. Malahan kak Rosa sudah menikah.”

“Bunda nyuruh aku nikah juga?” Tanya Savira spontan. Hidungnya langsung merasakan cubitan kecil dari Bunda.

“Aww.” Jerit Savira, seraya mengusap-usap hidung mancungnya.

“Bukan begitu maksudnya adek.. Kamu tuh walaupun sudah semester tujuh, masih aja kayak dulu umurmu tujuh. Apa memang bungsu selalu begini ya?” Bunda tertawa.

“Ah, Bunda bisa saja.”

“Sebentar lagi, kamu lulus. Harus sudah tau arah selanjutnya kemana.” Kali ini Bunda menasehati, sekaligus membuka diskusi. Tetapi sejak dimulaipun, Savira cukup tahu keputusan akhirnya sudah ditetapkan, dan Bunda hanya bertugas menyampaikan.

Lihat selengkapnya