EQUILIBRIUM

fiula nafiah
Chapter #7

Profit and Loss


Profit and Loss

Tidak ada bisnis yang selamanya untung, pun tidak ada bisnis yang selamanya merugi. Keduanya adalah hal yang tak terpisahkan, saat kamu memulai bisnis. Begitu pula dengan hidup. Tak ada manusia yang selamanya dalam kebahagiaan, pun tak ada manusia yang selamanya dikontrak kesedihan. Tetapi keduanya memiliki satu persamaan. Bahwa manusia harus mengahadapinya, bukan menghindarinya.

***

Senja dan pagi silih berganti menyapa manusia. Seperti butiran tasbih yang dijamah seiring dzikir yang dirapal. Seminar demi seminar berjalan lebih dari lancar. Bermodal dana iuran wajib yang kurang dari pas-pasan, acara itu terus bergulir seiring jadwal yang digilir.

Poster dan selebaran yang tersebar melalui media cetak dan online juga sedikit banyak membuahkan hasil. Nyatanya gurat simetris rupa Awan mampu menghipnotis penghuni kampus –khususnya mahasiswi- untuk membelanjakan uangnya, guna membeli merchandise beratributkan logo kampus.

Jumlah pesanan terus meningkat, seiring kampanye yang terbakar semangat. Seluruh anggota DIKSI terlihat begitu berapi menjajakan ‘merchandise’ itu. Tak luput mereka membicarakannya di tengah penjelasan dosen, di antara langkah kaki yang menapak jalanan kampus, bahkan di sela-sela suapan bakso di kantin. Kala ibu jari mengusap layar ponsel, yang mereka ingat hanya re-post poster-poster yang menampilkan barang dagangannya itu.

Hari ini, tepat seminggu setelah rapat tersebut berlalu. Melalui pesan singkat, Reza mengirim sinyal untuk bertemu. Katanya, masing-masing sample yang diminta Savira, sudah siap untuk ditelaah kualitasnya. Menunggu respon, kritik, dan masukan dari konsumen, untuk selanjutnya diproduksi secara masal.


Reza : Assalamualaikum, sample yang kamu minta insya Allah sudah siap. Apakah bisa kalian review dahulu sebelum dicetak lebih banyak.

Savira : Waalaikumsalam. Tentu bisa, Kak.

Reza : Baik, kapan bisa bertemu?


Pertanyaan Reza terasa sulit dijawab. Pembicaraan Naufal ditelfon kala itu, terus menggelayuti fikirannya. Menerka-nerka apa yang disiapkan oleh takdir untuknya. Terkadang, cinta tak ubahnya sebuah jalan. Kamu tak akan bisa mengira apa yang ada di depanmu, terutama setelah tikungan. Namun mungkin saja, dia yang nanti menjadi jodohmu, tak ubahnya ujung jalan arteri. Meski sudah berlalu, namun akan bertemu lagi, di lain waktu.

Savira : Hm, hari ini?

Reza : Oke. Kebetulan saya free. Jam berapa?


Savira menengok alrojinya, pukul 10.30 pagi. Hari itu kelas pertama baru saja usai, sedangkan jadwal bimbingannya dengan Prof Ari baru akan dimulai pukul 2 siang.


Savira : Jam sebelas?

Reza : Sebenarnya bisa saja. Tapi terlalu mepet dengan Jum’atan. Bagaimana kalau setelah Jum’atan?


Sejenak, Savira menertawakan kebodohannya. Bagaimana bisa dia melupakan bahwa hari ini adalah Jum’at?

Lihat selengkapnya