Akad
Yang berbeda dari ekonomi konvensional dan syariah adalah akadnya. Sistem kredit, boleh jadi mirip dengan al-ijarah muntahiyah bittamlik. Tapi, akad dan konsep kepemilikannya, membuat keduanya menjadi berbeda. Sama halnya dengan pacaran ataupun menikah, mungkin memiliki kegiatan yang hampir sama. Tapi, karena akad dan konsep kepemilikannya berbeda, pahalanya pun juga berbeda. Jadi, kamu tim yang mana?
***
Prof Ari meminting kumisnya yang bergoyang usil. Satu tangan lainnya sedang sibuk mengkaji proposal Savira halaman demi halaman. Gadis itu menatap cemas, berharap kali ini dosennya tidak meminta melakukan hal-hal sulit serupa meracik secangkir kopi.
“Hm..” Ujar Prof Ari mengawali bimbingan. Dengan cekatan Savira mengarahkan ujung bolpoin pada lembaran kosong buku catatannya, bersiap menulis arahan dosennnya itu.
Saat Savira hendak menulis, Prof Ari kembali bersuara “Hm..”. Savira menghela nafas, menjauhkan bolpoin yang digenggam dari pasangannya (buku catatan). Sepertinya bukan pertanda baik.
“Proposal apa.. ini, Savira?” Prof Ari kembali menahan kalimatnya, kemudian melanjutkan kegiatan meminting kumisnya.
“Proposal skripsi, Prof.” Tutur Savira, polos. Sekilas, ia mendengar pintu kantor dibuka perlahan. Dari ekor matanya, Savira melihat seorang mahasiswa tampak membawa setumpuk tugas.
“Iya, Saya tahu, bodoh. Kamu kan ketua DIKSI, bisa dibilang lebih cinta sama kata-kata daripada sama cowok. Masa nulis proposal aja gak bisa?”
“Nulis proposal kan gak bisa mengarang bebas seperti bikin novel, Prof” Keluh Savira.
“Maka dari itu, sekarang kamu harus perbanyak baca jurnal, jangan baca novel. Masa satu halaman isinya ibad-ibid-ibad-ibid-ibad-ibid-ibad-ibid.” Savira menjauhkan tubuhnya dari Prof Ari yang melafalkan ibad-ibid layaknya mantra mbah dukun pada pasiennya. Ia mengakhiri mantra Prof Ari dengan sunggingan senyum tak berdosa.
“Nanti Saya perbaiki, Prof.”
“Iya harus dong, secepatnya. Saya mau bimbingan Saya wisuda lebih cepat dari yang lain” Nah, ini yang disukai Savira. Ia merasa punya dosen yang mendukungnya untuk cepat selesai skripsi, walaupun jalan terjal memang perlu dihantam.
“Do’anya Prof.”
“Tentu Saya do’akan.”
“Ada lagi yang harus Saya perbaiki, Prof?”
“Sabar,” Katanya, dengan penekanan pada huruf B, khas orang Jawa. “Kamu itu ngga sabaran banget.”
“Maaf, Prof. Saya sangat semangat untuk revisi.” Savira berkelakar.
“Oh, begitu.. ya sudah, ganti proposal kamu dari awal sampai akhir!”
“Lah, semuanya banget Prof?” Kali ini Savira merasa salah bicara.
“Iya, kamu bilang kamu semangat? Ya sudah, saya bantu kamu untuk punya revisian. Masa sudah semangat, revisinya cuma sedikit?”
Duh, duh, duh, salah ngomong, emang salah ngomong, Savira..
“Semangat makan bukan berarti Saya harus melahap semua nasi yang ada di Kantin kan, Pak?”