Syariah VS Konvensional
Pada dasarnya, bank yang ada saat ini mengekor sistem kapitalis. Ekonom menyebutnya bank konvensional. Namun, karena Indonesia adalah negara muslim, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menggagas berdirinya bank syariah pada tahun 1992. Dua tipe bank ini berbanding lurus dengan konsep hubungan yang difikirkan oleh lelaki, ada yang berhaluan konvensional (pacaran), dan ada yang berhaluan syariah (menikah). Aku tidak tahu mana yang lebih baik. Tapi setahuku, bunga bank konvensional itu, menyiksa.
***
“Awan!” Panggil Reza.
“Eh, Iya kak? Tumben lo disini, ada perlu apa?.” Awan lantas menjabat tangan Reza yang terulur, kemudian menyatukan bahunya dengan bahu Reza. Biasa, salam laki-laki.
“Loh, memangnya Savira belum cerita? Gue kan kesini buat nganter sample yang kalian minta.”
“Serius lo kak? Dia ngga bilang apa-apa tuh.”
Iyalah, secara dia sedang ngehindarin gue kak, batin Awan.
“Ya udah, biar ngga berduaan, nanti lo ikut juga ya.?”
“Sip lah.”
“Lo berdua lagi ada masalah ya?”
Sejenak, Awan mengernyitkan dahi, “Masalah?”
“Iya, kalian seperti lagi ada masalah.” Kali ini Reza sedikit tertawa.
“Iya nih kak, masalah yang harus diselesaikan dengan 5 bab.”
“Hahah, skripsi ya?”
“Bener. Gue suka heran gitu lho kak, kita kan cinta damai, ngapain gitu dosen-dosen pada nyuruh nyari masalah. Penyelesaiannya harus 5 bab lagi.. Kenapa gak diselesaikan dengan cara kekeluargaan gitu..”
“Hahah, lucu banget sih lo. Tapi mirip sama Savira ya? Dia juga lagi uring-uringan kayak lo nih, malahan sekarang dia lagi bimbingan.”
“Sama Prof Ari maksud lo?”
“Iya.”
“Hm, kak, gue permisi dulu ya, nanti gue balik lagi.”
“Oke sip, gue tunggu di kantin ya.” Setelah itu Awan hanya memberikan ibu jarinya, kemudian menghilang dari pandangan Reza perlahan. Ternyata Awan melangkahkan kakinya lurus menuju kantor dosen ekonomi. Ingin sekali ia melihat gadis itu, tapi masuk kantor tanpa alasan yang jelas tentu dianggap maling, bukan?
“Eh, eh, eh, lo mau kemana?” Tanya Awan pada seorang mahasiswi yang membawa tumpukan tugas.
“Mau ngumpulin tugas Kak, kenapa?”
“Mau gue bantuin gak?” Kali ini Awan memperlihatkan seulas senyum yang hangat dan teduh.
Gadis itupun tersipu dan menjawabnya dengan malu, “Hm.. Boleh kak” Jawabnya, sambil memperbaiki letak anak rambut yang tercecer.
“Lo semester berapa?”
“Semester 3 kak, dulu kita pernah satu kelompok pas OSPEK, kakak panitianya.”
Awan kini menerima tumpukan tugas itu, ia kembali mengingat perkataan Galih. Apa ini maksudnya, sebuah bantuan dapat berujung perasaaan? “Hehe, sorry ya, gue ngga inget. Jadi ini harus dikumpulin ke meja siapa ya?”
“Ngga apa-apa kak. Tugasnya bisa dikumpulin ke mejanya Bu Nani.”
“Oh, oke.. see you.. em?”
“Miranda Kak.”
“See you Miranda” Awan berlalu sembari melambaikan tangan, bergegas memasuki kantor dosen. Lalu ia melihat Savira-nya sedang bimbingan. Savira yang selalu ia rindu, sekaligus ia benci. Benci karna menurut Awan, mencintainya merupakan tugas sulit yang patut diselesaikan dengan cumlaude. Dia perempuan yang langka.