Marketing Mix : Bauran Pemasaran
Dalam mempromosikan produknya, perusahaan biasa menggunakan strategi marketing mix. Konsep ini diperkenalkan Neil Borden yang terinspirasi dari gagasan James Cullington. Seiring berkembangnya waktu, marketing mix berubah dari 4P menjadi 7P, yaitu : product, price, place, promotion, people, process, dan physical evidence. Strategi ini ternyata juga digunakan seseorang yang sedang jatuh hati, untuk memikat orang yang ia suka. Bedanya, variabel itu diganti menjadi sesuatu yang lebih manusiawi, seperti wajah, status sosial, attitude, keluarga, pendidikan, kepribadian, dan masih banyak lagi. Tapi, dari semua variabel, ada satu variabel yang terpenting, agama.
***
“Assalamualaikum Darell... Gue lagi marah ke elo, jangan tanya kenapa! Sudah pasti karena lo jarang angkat telpon gue akhir-akhir ini. Padahal sesibuk-sibuknya, pasti setelah kelar, lo akan langsung ngabarin gue. Lo kenapa deh Darell? Ngga biasanya banget.. kalau gue pernah singgung sesuatu yang lo ngga suka, gue minta maaf.. ah, kalaupun gue salah, lo juga ngga pernah sekejam ini. Galau banget gue disini, ngga ada tempat curhat seempuk dan seenak elo, sumpah. Gue mau cerita tentang Awan, juga seorang lainnya. Namanya nanti aja gue kabarin kalau kita udah telponan, yang jelas dia sekomplit-komplitnya paket suami idaman. Oh iya, PREDIKSI sudah h-3, lo wajib banget kirim doa buat acara ini. Pokonya, bales email ini secepatnya setelah lo baca, oke? Wassalamualaikum.”
Savira mengarahkan kursornya ke arah tulisan send dengan hati dongkol, juga secercah harapan atas balasan dari Darell. Bagaimana bisa anak itu menghilang saat Awan semakin menjadi-jadi. Belum lagi kak Reza yang membuat hatinya semakin jatuh. Sudah beberapa hari ini, Darell sulit dihubungi. Ditelpon tidak tersambung, dichat juga delay. Seperti nomor hp nya tidak pernah ada di dunia ini. Tak lama, bola mata Savira menangkap pesan masuk di kotak inboxnya. Bukan dari Darell, tapi.. Awan? Ada apa lagi bocah satu ini, batinnya.
Beberapa menit setelahnya, alis Savira bertaut, matanya membulat. Tangannya sibuk menggerakkan mouse, mengikuti arah penasaran hatinya. Pesan yang sebetulnya tidak asing di memori Savira. Sebuah draft proposal skripsi, miliknya. Namun isinya sudah banyak berubah, perbaikan yang diminta Prof. Ari sudah terpenuhi semua, benar-benar tidak ada cacat. Savira menyelesaikan telaah proposal skripsi di depan matanya. Dan hasilnya.. perfecto. Proposal Savira seperti masuk dalam ketok magic skripsi. Ia bahkan belum menyentuh kembali skripsinya karena tenggat PREDIKSI yang semakin dekat. Namun Awan, ia bukan meminta draft proposanya sebagai referensi, tapi untuk diperbaiki sesuai permintaan Prof. Ari. Sepertinya Savira lupa bahwa Awan adalah salah satu kandidat PILMAPRES tahun lalu. Tentu penelitian seperti ini adalah hal sepele baginya, bukan? Tidak seperti Savira yang menganggap skripsi ini segalanya.
Tunggu, mungkin proposal Savira memang sangat sepele bagi Awan, bukan?. Tak perlu terbang terlalu tinggi atas hal ini, Savira. Pesannya pada diri sendiri. Namun sebagian hatinya mengatakan bahwa sesepelenya proposal skripsi, perlu proses panjang untuk hasil sesempurna ini. Mulai dari mencari jurnal yang relevan dari sumber kredibel, membaca, mengutip, menulis, menemukan alur penelitian, semua ini sungguh tidak ada yang sepele. Kecuali Awan pakai joki skripsi, tapi rasanya tidak mungkin sekali.
Sebenarnya ada satu hal yang paling membuatnya penasaran. Rasa penasaran itu mendesak untuk disampaikan pada empunya. Tentang Awan tentunya. Mengapa anak itu begitu repot membetulkan proposal skripsi Savira, sedang ia juga memiliki tuntutan yang sama. Savira masih merasa bahwa pengorbanan Awan tidak ditujukan ke orang yang tepat. Awan boleh seperti itu. Awan boleh mengorbankan waktunya. Awan boleh membantu seseorang untuk merevisi proposal skripsinya. Tapi, bukankah masih banyak mahasiswi yang perlu menerima kebaikan Awan? Dan rasanya, Savira bukanlah salah satunya yang paling membutuhkan. Awan salah orang. Dan Savira harus membuat Awan mengembalikan kembali hatinya yang sudah dicuri.
Dering telpon tiba-tiba menerbangkan seluruh tanda tanya tentang Awan. Rasa penasaran itu bertemu dengan rasa grogi saat Savira membaca nama penelfonnya, Awan. Savira berdehem sebelum mengangkat telfon, tak tahu harus berkata apa.
“Assalamualaikum?” Savira menjawab salam, lembut. Ia tak tahu bahwa gelombang suaranya mampu membuat badai pada hati seseorang di seberang sana.
“Wa-walaikumsalam.” Betul kan? Suara Awan terdengar gugup sekali. Namun, tak ada pembicaraan setelah beberapa detik kemudian, hingga Savira berinisiatif memulai tanya terlebih dahulu.
“Hm.. Wan?”
“Eh. Iya? Kenapa?” Tanya Awan kemudian. Tanya yang kemudian justru mengundang gelak tawa Savira.
“Wan, ini elo yang nelpon loh..” Sungguh Savira sedang menahan tawanya supaya tidak terdengar lagi.
Sejenak, Awan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan menertawakan dirinya sendiri. “Ehm.. lo udah terima inbox dari gue?” Nah, pertanyaan ini yang sebetulnya Savira hindari. Tapi, ia sudah sepakat dengan hatinya bukan? Bahwa kebaikan Awan sebetulnya menyasar pada orang yang salah.
“Udah. Tapi Wan, boleh kita ketemu?”
“Oh tentu.” Jawab Awan antusias. Sepertinya terlalu antusias “Eh, maksudku, kapan kita bisa bertemu?”
“Hm.. gue masih harus mendampingi pemasangan panggung PREDIKSI setelah ini. Lo juga masih mengecek sound systemnya bukan?”
“Iya. Gimana kalau setelahnya?”